Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Kecelakaan
Fukushima Daiichi terjadi pada tahun 2011. Sudah lewat satu dekade lebih. Tapi masih
ada hal yang kelihatannya mengusik banyak orang dalam penanggulangan
kecelakaannya, yakni pembuangan air radioaktif ke laut.
Apa?
Ya. Pemerintah
Jepang memutuskan untuk membuang air terkontaminasi bahan radioaktif dari PLTN
Fukushima Daiichi ke lautan Pasifik. Tokyo Electric Power Company (TEPCO),
selaku operator Fukushima Daiichi (dan yang bertanggung jawab dalam membangun
dinding laut di bawah standar), akan membuang air yang tersimpan di penampungan
pengolahan limbah radioaktif secara bertahap mulai tahun 2023 lalu, dan masih
berlangsung sampai sekarang. Keputusan ini diambil walau terdapat penentangan
dari para nelayan dan negara tetangga seperti Cina dan Korea Selatan.
Apakah keputusan
ini merupakan keputusan yang bijak? Kan, itu, airnya radioaktif? Gimana, tuh? Pasti
bahaya, kan? Iya, kan?
Oke, pertama mesti
diluruskan dulu bahwa radiasi nuklir tidak selalu bahaya. Tingkat bahaya
radiasi nuklir ditentukan utamanya oleh dosis radiasi yang diterima. Selama dosis
radiasinya jauh di bawah standar ketahanan tubuh manusia, tidak ada yang mesti
dipikirkan.
Kedua, keputusan
untuk membuang air radioaktif ke laut ini seharusnya sudah diambil sejak lama.
Diskusi dan dialog berlarut-larut tidak akan membuat air radioaktif Fukushima
Daiichi somehow lebih selamat atau lebih bersih. Karena membuatnya
benar-benar bersih dan murni itu tidak diperlukan sama sekali.
Kenapa?
Air
terkontaminasi yang hingga saat ini tersimpan di bekas unit PLTN Fukushima
Daiichi secara praktis terbebas dari elemen radioaktif kecuali tritium. Elemen
radioaktif lain yang relatif lebih memiliki potensi bahaya, seperti caesium-137
dan strontium-90, sudah disaring duluan menggunakan yang namanya advanced
liquid processing system. Sistem ini bisa menyaring mayoritas material
pengotor di dalam air, kecuali tritium.
Kenapa tidak
bisa memisahkan tritium?
Sebelumnya,
sudah dibahas bahwa tritium adalah salah satu bahan baku untuk reaksi fusi
nuklir, yang waktu itu kita sebut sebagai hidrogen-3. Jadi, tritium adalah isotop
radioaktif dari hidrogen, yang inti atomnya tersusun dari dua netron dan satu
proton. Dalam reaktor nuklir, tritium terbentuk dari tangkapan netron
berturut-turut oleh atom hidrogen. Pertama, hidrogen menangkap netron untuk
kemudian bertransmutasi menjadi deuterium, yang kalau direaksikan dengan oksigen
akan menjadi air berat. Berikutnya, ketika atom deuterium menangkap netron lagi,
ia akan bertransmutasi menjadi tritium. Hidrogen dalam reaktor nuklir adanya di
mana? Air, yang notabene jadi material pendingin dan moderator.
Berbeda dengan
hidrogen dan deuterium, tritium bersifat radioaktif dan meluruh dengan waktu
paruh 12 tahun. Artinya, kalau radioaktivitas tritium pada suatu waktu bernilai
10, maka 12 tahun kemudian, aktivitasnya turun jadi bernilai 5. Paham sampai
sini?
Sifat radioaktif
tritium tidak serta merta menjelaskan bahwa tritium itu berbahaya, sebagaimana
ditekankan sebelumnya. Maka, perlu dipahami dulu karakter tritium.
Sebagaimana
telah disebutkan, tritium meluruh dengan waktu paruh 12 tahun. Peluruhan
tritium adalah peluruhan beta-negatif menjadi helium-3, dengan energi beta
sebesar 5,7 keV. Sebagai perbandingan, isotop cesium-137 yang ditemukan nyasar
di Perumahan Batan Indah awal tahun 2020 lalu, sebelum pandemi Covid-19
mengacak-acak dunia, merupakan pemancar radiasi gamma dengan energi 662 keV. Kira-kira
116 kali lebih kuat.
Dijelaskan sebelumnya
pada pembahasan tentang radiasi nuklir, bahwa radiasi beta memiliki daya tembus
jauh lebih lemah daripada radiasi gamma. Pakai aluminium foil sudah cukup. Ditambah
dengan energi yang sangat rendah, radiasi beta tritium hanya mampu menjangkau
jarak 6 mm di udara. Sangat pendek, meski lebih panjang daripada nalar pembela
entitas ilegal penjajah maniak genosida yang menyebut diri mereka sebagai Israel.
Dalam jaringan tubuh, jarak jangkaunya lebih rendah lagi.
Radiasi beta
yang dipancarkan tritium tidak cukup kuat untuk menyebabkan dampak kesehatan
apapun. Tidak ada hubungannya kontaminasi tritium pada air dengan kanker atau
defek genetik lain pada manusia atau biota apapun. Tidak ada bukti ilmiahnya,
hanya hipotesis yang tidak memiliki landasan saintifik apapun. Kenapa? Ya karena
energi radiasinya sangat rendah dan tidak mengalami bioakumulasi.
Sebagai bukti,
limit klirens tritium di berbagai negara tidak ada yang sama. Di Amerika
Serikat, limit klirens tritium hanya 740 Beqcuerel (Bq) per liter. Namun, di
Kanada, limit klirens tritium lebih tinggi, 7000 Bq per liter. Finlandia
menetapkan hingga 30.000 Bq per liter, bahkan Australia hingga 76.103 Bq per liter.
WHO sendiri menetapkan limit klirens 10.000 Bq per liter.
Sebagai perbandingan,
air buangan Fukushima Daiichi itu memiliki konsentrasi tritium sebesar 1.500 Bq
per liter.
Pertanyaannya,
apakah angka-angka tersebut ada landasan ilmiahnya?
Jawabannya
adalah tidak ada. Angka-angka tersebut dipilih hanya karena mudah dicapai saja
dengan teknologi yang ada. Bukan karena kandungan tritium di atas angka-angka
tersebut kemudian jadi berbahaya. Karena kalau ada landasan ilmiah khusus soal
itu, tidak mungkin perbedaannya bisa sampai berkali lipat.
Jadi, dengan kadar
tritium hanya 1.500 Bq per liter, itu sudah jauh di bawah batasan limit WHO dan
tidak ada masalah dilepas ke lautan. IAEA sudah menyetujui juga, dan mind
you, IAEA itu sangat konservatif (baca: rewel) soal keselamatan radiasi. Jika
IAEA yang super konservatif itu sudah menyetujui, apa pula alasannya menganggap
lepasan air radioaktif itu berbahaya.
Lagipula, beberapa
PLTN di Cina dan Korea Selatan juga melepaskan air tritium ke laut dengan kadar
lepasan jauh lebih besar daripada Fukushima Daiichi, jadi tidak jelas kenapa
mereka harus rewel soal Fukushima Daiichi. Kecuali masalah persaingan geopolitik
di Asia Timur.
Ketika menjadi
bagian dari air, maka sifat biologis tritium juga sama dengan air. Waktu paruh
tritium mungkin 12 tahun, tetapi waktu paruh biologisnya sama dengan air, yakni
10 hari. Artinya, dalam waktu sekitar 2 bulan, tritium yang diminum oleh
seseorang secara praktis sudah dibuang semua dari dalam tubuh. Potensi
kerusakan yang dapat disebabkan, jikalau memang ada (fun fact: tidak ada),
dapat dihilangkan dengan cepat.
Mungkinkah
tritium terkonsentrasi lagi di lautan setelah mengalami pengenceran? Sebagai
isotop hidrogen, tritium sangat “lengket” dengan molekul air, lebih lengket
daripada muda-mudi baru nikah. Ketika tritium dicampur dengan air biasa, maka
tritium akan sangat mudah diencerkan. Artinya, konsentrasinya akan turun
drastis. Ibarat kata meneteskan tiga tetes pewarna di sepanci besar es boba pemicu
diabetes, pasti pewarna itu akan jadi encer, kan? Sama, air tritium juga.
Mustahil untuk
membuat konsentrasi tritium meningkat secara alami di lautan, karena itu
membutuhkan teknologi separasi isotop. Suatu hil yang mustahal untuk terjadi
secara alami. Jadi, tidak ada peluang tritium akan entah bagaimana meningkat
lagi konsentrasinya di lautan lalu membahayakan biota.
Tapi bagaimana
kalau tritiumnya mengendap di hewan laut? Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
tritium tidak mengalami bioakumulasi. Jadi tidak akan mengendap terus di dalam
tubuh hewan laut. Sekalipun mengendap, lantas apa dosis radiasi yang lebih rendah
daripada makan pisang goreng itu berbahaya?
Ikan-ikan dan
hewan laut yang ditangkap dari perairan Pasifik tempat dibuangnya air
radioaktif Fukushima Daiichi bisa dikatakan tidak akan mengalami bioakumulasi
tritium dalam jaringan tubuhnya. Kontaminasi merkuri dan logam berat lainnya
jauh lebih mungkin mengalami bioakumulasi daripada tritium. Seseorang harus
lebih takut terjadi pencemaran sejenis Minamata daripada air tritium Fukushima.
Lagipula, air
laut itu sudah radioaktif. Secara alami, air laut sudah mengandung uranium,
kalium-40, rubidium-87, dan tentu saja tritium yang dihasilkan dari iradiasi
sinar kosmik di atmosfer (ingat, matahari dan bintang-bintang lainnya nyumbang
radiasi gamma ke permukaan bumi). Air radioaktif yang akan dilepaskan dari
tangki penampungan Fukushima Daiichi tidak ada apa-apanya dibandingkan
kelimpahan radioaktivitas laut.
Kesimpulannya,
tidak ada potensi bahaya dari membuang air terkontaminasi radioaktif Fukushima
Daiichi ke laut Pasifik. Kontaminan pada air radioaktif Fukushima Daiichi hanya
tinggal tritium, isotop hidrogen yang merupakan radionuklida lemah. Radiasi
beta yang dipancarkan tritium lemah dan isotop ini sangat mudah diencerkan di
dalam air, tidak mengalami bioakumulasi.
Konsentrasi
tritium di air radioaktif Fukushima Daichi pun lebih rendah dibandingkan limit
klirens di berbagai negara. PLTN yang beroperasi normal di Kanada bisa
melepaskan tritium dengan konsentrasi lebih tinggi daripada air radioaktif
Fukushima Daiichi. Tidak ada masalah, tuh. Penduduk Kanada baik-baik saja. Tidak
ada yang jadi sakit karena makan ikan yang dipancing di dekat PLTN Bruce, misalnya.
Maka, siapapun
yang berusaha menakut-nakuti publik tentang bahaya air radioaktif Fukushima
Daiichi, pada hakikatnya mereka tidak paham fisika nuklir dan punya agenda
tertentu di belakangnya.
0 komentar:
Posting Komentar