Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Kalau ada satu
isu yang membuat banyak orang, khususnya di Indonesia, yang takut pada energi
nuklir, maka kondisi tersebut adalah kerawanan gempa bumi.
Isu risiko gempa
bumi yang dikaitkan dengan keselamatan reaktor nuklir bukan berita baru. Terbaru,
sampai selevel menteri (Anda-tahu-siapa) mengkhawatirkan aspek gempa bumi
ketika Indonesia ingin mengembangkan energi nuklir, mempertanyakan kesiapan
terkait risiko tersebut. Namun, tentu saja, tidak dijelaskan kaitannya antara
gempa bumi dan keselamatan PLTN. Menteri tersebut malah mengaitkannya dengan
Fukushima Daiichi di Jepang, walau realitanya kecelakaan tersebut disebabkan
oleh tsunami, bukan oleh gempa, yang menunjukkan literasi nuklir para pejabat
itu agak-agak... gimana, ya…
Kembali ke
topik.
Kerawanan
Indonesia akan bencana alam disebabkan oleh lokasi geografis Indonesia yang
terletak di Cincin Api Pasifik. Sejumlah 127 gunung berapi aktif tersebar mulai
dari ujung Pulau Sumatera hingga Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara. Selain
itu, Indonesia juga merupakan pertemuan dari tiga lempeng tektonik, yakni
lempeng India-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Imbasnya, Indonesia menjadi
rawan gempa. Bahkan sesar lokal saja bisa memicu gempa dengan magnitudo cukup
tinggi.
Kerawanan gempa
ini sering dikutip menjadi alasan untuk menghambat hingga menolak pembangunan PLTN
di Indonesia. Mereka khawatir, kalau terjadi gempa besar, maka akan terjadi
kecelakaan nuklir yang mengerikan. Barangkali mengubah Pulau Jawa jadi nuclear
wasteland atau apalah. Walau demikian, pihak yang sama tidak pernah
menjelaskan kecelakaan nuklir semacam apa yang mungkin terjadi dengan
terjadinya gempa yang menghantam PLTN.
Tidak heran,
karena propaganda ini dalam mayoritas kasus memang hanya dongeng belaka.
Dongeng yang diulang-ulang seolah-olah adalah sesuatu yang nyata, seperti
dongeng bahwa teori evolusi membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Lantas,
bagaimana hubungan antara gempa dan PLTN? Apakah pembangunan PLTN tidak pernah
memerhatikan aspek kegempaan?
Dalam kajian
tapak PLTN, yang tercakup di dalam proses pembuatan Laporan Analisis
Keselamatan (LAK) PLTN, aspek kegempaan pasti dimasukkan, mengingat hal
ini diatur dalam regulasi, yakni Perka Bapeten No. 8 Tahun 2013 tentang
Evaluasi Tapak Instalasi Nuklir Untuk Aspek Kegempaan. Secara umum, kriteria
penerimaan tapak reaktor daya berdasarkan Perka Bapeten tersebut dapat
diringkas menjadi dua:
1.
Tidak ada
patahan aktif pada jarak 5 km dari tapak
reaktor daya;
2.
Percepatan
tanah maksimum (peak ground acceleration/PGA) dengan periode siklus
10.000 tahun kurang dari 0,6 g.
Lebih detail
bisa dibaca pada Perka Bapeten tersebut. Namun, pada dasarnya, dari sini jelas
bahwa aspek kegempaan sudah diatur secara regulasi. Mengingat regulasi
tersebut, bukan tanpa alasan kenapa Pulau Kalimantan menjadi calon lokasi tapak
paling sering diajukan, mengingat Kalimantan secara umum memenuhi kedua
kriteria penerimaan di atas. Di Pulau Jawa, calon lokasi tapak yang memenuhi
kriteria adalah di Semenanjung Muria.
Aspek kegempaan
ini tertuang secara detail dalam dokumen LAK, sehingga jika ada suatu tapak
yang dianggap layak dibangun PLTN, maka secara umum lokasi tersebut memang minim
risiko kebencanaan semacam gempa bumi. Dengan kata lain, pemilihan tapak PLTN
sejak awal menganut prinsip pencegahan.
Dengan demikian,
jika suatu tapak dinyatakan layak untuk dibangun PLTN, maka lokasi tapak PLTN
tersebut pada dasanya sudah relatif selamat dari gangguan kegempaan. Sehingga,
risiko kecelakaan akibat kegempaan relatif bisa dihindari.
Pertanyaan
berikutnya, jika wilayahnya agak-agak rawan gempa, apakah kemudian jadi tidak
bisa dibangun PLTN?
Kalau mau bicara
realita, maka Jepang juga rawan gempa, mengingat geografinya merupakan
pertemuan dari empat lempeng tektonik alih-alih tiga. Jepang dilanda setidaknya
1500 gempa tiap tahun, walau mayoritas bukan gempa yang cukup membahayakan.
Profil bencana gempa dan tsunami Jepang dan Indonesia pun memiliki irisan.
Gempa skala besar di Jepang dan Indonesia pada periode 1900-2012 masing-masing
terjadi sejumlah 221 dan 246 kali. Namun, Jepang tetap menggunakan energi
nuklir. Bagaimana bisa?
Karena masalah
ketahanan terhadap gempa adalah masalah struktur bangunan. Pasca gempa Kobe
tahun 1995, Jepang merevolusi perancangan struktur bangunan, dengan menerapkan
sistem isolasi seismik dari kuil-kuil tradisional Jepang. Imbasnya, bangunan di
Jepang jadi lebih tahan gempa.
Saat ini,
sekitar 20% PLTN beroperasi di daerah rawan gempa, termasuk utamanya di Jepang.
Pada tapak-tapak rawan gempa ini, desain seismik PLTN diatur lebih tinggi
daripada normal. Jika normalnya PLTN didesain dengan PGA antara 0,2-0,3 g, maka
di Jepang bisa mencapai 0,5-1 g. PLTN Kashiwazaki-Kariwa, sebagai contoh,
memiliki desain seismik hingga 1,02 g.
PLTN Fukushima
Daiichi memiliki desain seismik hingga 0,61 g. Ketika terjadi gempa Tohoku
dengan skala 9.0M, desain seismik ini terlewati pada unit 2, 3, dan 5 kira-kira
20%. Namun, tidak ada kerusakan parah akibat gempa. Bangunan PLTN tetap sukses
bertahan dari gempa dan reaktornya padam dengan selamat. Sebaliknya, kecelakaan
justru diinisiasi oleh tsunami yang mematikan sistem pendinginan pasca padam.
Walau sering
disebut-sebut, faktanya gempa bukanlah penyebab kecelakaan PLTN
Fukushima Daiichi. Siapapun yang masih berpikir seperti itu, tolong diluruskan.
Pertanyaan
berikutnya, apa hubungan antara gempa dan bencana nuklir? Tanpa hubungan
sebab-akibat yang jelas, korelasi keduanya hanya akan menjadi dongeng belaka.
Jika percepatan
tanah ketika gempa melebihi desain seismik reaktor, tentu saja bangunan reaktor
bisa rusak. Tetapi apakah kerusakan itu berpengaruh terhadap reaktor nuklir?
Apakah terjadi patahan atau kerusakan struktur yang menyebabkan teras reaktor
hancur dan bahan bakarnya jadi rusak? Lalu entah bagaimana bahan radioaktif
‘bocor’ ke lingkungan?
Hal tersebut memang
mungkin terjadi. Khususnya jika PLTN tersebut dibangun di atas patahan
aktif yang bisa menghancurkan struktur bangunan, menyebabkan kerusakan pada
sistem pendingin primer maupun sekunder, sehingga terjadi inisiasi kejadian
kecelakaan parah. Hanya saja, peluang terjadinya sangat rendah karena sudah ada
pencegahan dari segi lokasi tapak (dijauhkan dari patahan) dan sistem
pertahanan berlapis dalam PLTN, sehingga satu butuh terjadi kerusakan berlapis
dalam keseluruhan sistem keselamatan agar kecelakaan parah dapat terjadi.
Sekalipun
terjadi kecelakaan parah dan terjadi lepasan radioaktif, jumlahnya tidak akan
sebesar kecelakaan Chernobyl, yang mana dampak kontaminasi radiasi di sekitar
kawasan PLTN tidak menunjukkan dampak negatif terhadap flora dan fauna di sana,
bahkan justru membuat populasi serigala menjadi tahan terhadap paparan radiasi.
PLTN Onagawa
dapat menjadi kisah menarik. PLTN tersebut berada paling dekat dengan
episentrum gempa Tohoku. Walau demikian, PLTN Onagawa dapat menahan guncangan
gempa tanpa kerusakan signifikan. Reaktor nuklir dapat padam dengan selamat,
dan menjadi tempat pengungsian bagi warga yang terkena dampak gempa. PLTN
Onagawa memiliki desain basis seismik sama dengan Kashiwazaki-Kariwa, dan nilai
beban percepatan tanah maksimum yang diterima kurang dari setengahnya.
Memperkuat
desain seismik adalah langkah logis dan cocok untuk menanggulangi potensi
bencana kegempaan di sebuah tapak PLTN.
Dari sini,
sebenarnya bisa dipahami bahwa, sekalipun risiko kegempaan terhadap PLTN memang
ada, bagaimana hal tersebut dinarasikan tidak lebih dari dongeng pengantar
tidur. Pasalnya, pemilihan tapak sejak awal sudah mempertimbangkan masalah
kegempaan, sehingga pemilihan tapak dicari yang tidak banyak mengalami gempa
atau punya kekuatan maksimum di bawah standar regulasi. Jikalau pun dibangun di
tempat yang agak lebih rawan gempa, maka mengubah desain seismik agar bangunan
lebih tahan gempa sudah terbukti sukses diterapkan di Jepang.
Kekhawatiran
terhadap keselamatan PLTN adalah wajar. Yang tidak wajar adalah membawa-bawa
narasi tertentu yang tidak jelas benang merahnya untuk menakut-nakuti
publik. Narasi seperti itu tidak ada
bedanya dengan dongeng Poseidon yang mampu menyebabkan bencana di lautan. Walau
terdengar menakutkan, tapi tidak lebih dari imajinasi belaka.
0 komentar:
Posting Komentar