Selasa, 19 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 9: Apakah PLTN Berbahaya?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Selain dianggap mahal, PLTN punya satu penyakit kronis lain yang membuat orang-orang yang paham agak kasihan melihatnya difitnah terus menerus terkait itu. PLTN dianggap bahaya. Bisa meledak. Radiasi. Nuclear wasteland. Chernobyl. Dan sebagainya. Kalau PLTN itu makhluk hidup, mungkin akan nangis dan nuntut para pemfitnah untuk diadili di yaumil hisab. Untungnya, PLTN itu benda mati, jadi tidak bisa menuntut atas fitnah.

Kenapa, kok, bisa muncul tuduhan bahwa PLTN itu berbahaya? Pada dasarnya dua hal: asosiasi dengan senjata nuklir dan bahaya radiasi. Energi nuklir, sebagaimana disebutkan sebelumnya, pertama digunakan untuk keperluan militer pada Perang Dunia II. Kengerian yang timbul di seluruh dunia akibat pemboman Hiroshima dan Nagasaki sudah keburu tertancap di benak sebagian masyarakat. Bahwa nuklir itu bom (salah) dan berbahaya (tidak selalu benar). Jadi ketika nuklir dipakai menghasilkan energi untuk keperluan sipil, orang-orang sudah salah paham duluan, mengira bahwa PLTN bisa meledak seperti senjata nuklir. Apalagi tahu-tahu ditambah kejadian kecelakaan Chernobyl, tambah paranoid saja.

Selain serba serbi “meledak,” radiasi menjadi momok lain bagi masyarakat umum. PLTN dianggap sebagai sebuah sistem rawan yang disenggol sedikit saja bisa “meledak,” dan ledakannya itu melepaskan radiasi dalam jumlah besar ke sekitarnya, bahkan hingga seantero negeri, dan memutasi masyarakat sehingga pada terkena kanker, mati muda (padahal masih jomblo), bahkan berubah menjadi zombie or something. Atau jadi Hulk, kalau lagi hoki.

Ah, imajinasi yang bagus untuk novel post-apocalyptic.

Tapi fisika nuklir dan rekayasa nuklir mau izin permisi untuk menunjukkan ketidaksetujuannya.

Sebelumnya sudah dibahas sistem yang bernama reaktor nuklir. Apa karakteristik utama yang membedakan senjata nuklir dengan reaktor nuklir? Reaksi fisi nuklir di reaktor nuklir bisa dikendalikan. Bagaimana mengendalikannya? Yakni dengan menggunakan bahan bakar dengan konten uranium-235 rendah (<20%, biasanya malah <5%), adanya pendingin, dan sistem kendali reaktivitas. Jadi, secara sistem, reaktor nuklir didesain agar tidak bisa mengalami ledakan seperti senjata nuklir. Simply impossible, hil yang mustahal. Membuat bahan bakar dan teras (inti) reaktor rusak, bisa saja, tapi tidak sampai meledak.

Reaksi fisi nuklir tidak terkendali membutuhkan faktor multiplikasi netron lebih dari 2. Artinya, dari satu reaksi fisi dihasilkan 2 netron yang semuanya dipakai untuk memicu reaksi fisi baru. Tapi di reaktor nuklir, faktor multiplikasi netron efektif hampir tidak pernah lebih dari 1,1. Angka ini jauh lebih rendah dari syarat minimal reaksi fisi tidak terkendali, dan tidak ada skenario logis untuk membuat faktor multiplikasinya naik jadi 2. Kenapa? Terlalu banyak serapan netron dari material struktur reaktor, moderator, bahan bakar fertil uranium-238, dan sistem kendali reaktivitas (baca: batang kendali). Apalagi kalau reaktor sudah beroperasi, akan terbentuk atom-atom baru yang kita sebut produk fisi. Nah, keberadaan produk fisi ini menambah daya sedot netron, karena mereka juga lumayan kemaruk. Maka, semakin lama reaktor nuklir beroperasi, semakin mustahil faktor multiplikasi netron bisa dinaikkan menjadi 2.

Ringkasnya, PLTN tidak bisa meledak seperti senjata nuklir. Kalaupun terjadi ledakan, itu bukan ledakan nuklir, tapi ledakan lain. Entah ledakan uap atau ledakan hidrogen. Kita bahas nanti.

Lalu bicara soal radiasi, kita sudah tahu bahwa radiasi dosis rendah itu tidak berbahaya. PLTN, ketika beroperasi, melepaskan radiasi gamma ke lingkungan sekitarnya dalam dosis rendah. Apakah kemudian radiasi itu berbahaya?

Tidak juga, karena kalau ditotal, orang yang makan sebiji pisang tiap hari dalam setahun akan menerima dosis radiasi dari kalium-40 lebih besar daripada radiasi nuklir dari PLTN tersebut. Nothing to worry about.

Kalau terjadi kecelakaan? Maka lepasan radiasi ini bergantung pada progresi kecelakaannya. Kejadian lepasan radiasi terburuk yang mungkin terjadi dalam sebuah sistem PLTN adalah apa yang terjadi di Chernobyl, dan dampaknya terlokalisir. Kita bahas itu kemudian. Tapi satu hal yang mesti diingat, radiasi nuklir tidak memutasi orang jadi seperti zombie. Bisa memicu kanker, tapi tidak membuat orang jadi zombie, atau Hulk. Itu biar jadi imajinasi di Hollywood saja, bukan untuk dianggap riil.

Sekarang, mari kita lihat realita.

Sepanjang ± 60 tahun sejarah pemanfaatan energi nuklir, hanya pernah terjadi tiga kecelakaan besar pada PLTN, yang oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dikategorikan dalam INES Level 5 ke atas, yakni Three Mile Island (Amerika Serikat), Chernobyl (Uni Soviet), dan Fukushima Daiichi (Jepang). Dari ketiganya, hanya Chernobyl yang menyebabkan korban jiwa. Three Mile Island maupun Fukushima Daiichi tidak menyebabkan korban jiwa sama sekali.

Kasus Three Mile Island terjadi pada tahun 1979. Terdapat dua unit reaktor nuklir di kompleks Three Mile Island, dan yang mengalami kecelakaan adalah Unit 2. PLTN ini mengalami malafungsi di sistem pendinginan, sehingga terjadi pelelehan parsial di bahan bakar dan terlepasnya material radioaktif krypton-85 dan yodium-131 ke lingkungan sekitar PLTN. Sebanyak kurang lebih 2 juta orang terpapar oleh material radioaktif ini. Walau demikian, tidak ada dampak kesehatan sama sekali pada mereka yang terpapar. Hal ini karena dosis radiasi yang mereka terima sangat rendah, rerata sekitar 14 μSv atau 0,014 mSv. Lebih banyak dosis radiasi yang diterima kalau lagi Rontgen tulang rusuk untuk mencari tulang rusuk yang hilang—maksudnya, patah.

PLTN Three Mile Island unit 1 masih beroperasi hingga tahun 2019, ketika sudah mencapai akhir usia pakai dan lisensi tidak diperpanjang.

Kecelakaan Chernobyl, terjadi tahun 1986, mungkin menjadi yang paling terkenal. Kompleks PLTN Chernobyl terdiri dari 4 unit reaktor, dan yang mengalami kecelakaan adalah unit 4. PLTN Chenobyl menggunakan reaktor desain asli Uni Soviet, yang namanya reaktor bolshoy moshchnosty kanalny (RBMK). Terjemahnya adalah high-power channel reactor/reaktor kanal berdaya tinggi. Reaktor ini unik dan hanya ada di Uni Soviet, karena digunakan untuk dua tujuan: pembangkitan listrik dan produksi plutonium untuk senjata nuklir. Aspek keselamatan reaktor ini bermasalah cukup berat, karena terjadinya penguapan pendingin (istilahnya void, kehampaan, sehampa hati milenial yang masih menjomblo) membuat daya reaktor naik. Di reaktor nuklir normal, harusnya void bikin daya reaktor turun, tapi di RBMK malah naik.

Nah, setelah operator dan supervisor di Chernobyl unit 4 secara bego mematikan seluruh fitur keselamatan untuk melakukan uji fitur baru, terjadilah kondisi berbahaya yang membuat daya reaktor akan naik mendadak. Sebenarnya sistem reaktor sudah mengeluarkan peringatan pada mereka, tapi entah kenapa diabaikan. Well, kita tidak akan pernah tahu kenapa, karena mereka berdua tewas dalam kecelakaan ini.

Reaktor RBMK ini mengalami kenaikan daya 10 kali lipat dalam sekejap, menguapkan seluruh pendingin air yang ada di sistem reaktor, dan karena tidak ada struktur pengungkung yang cukup kokoh, terjadilah ledakan uap (disusul ledakan hidrogen) yang menghancurkan reaktor dan menghamburkan 5% dari isi perutnya ke area di sekitarnya. Terjadi kebakaran yang membawa debu-debu grafit terkontamintasi partikel radioaktif ke seluruh daratan Eropa, yang membuat negara-negara lain sadar ada masalah besar karena detektor radiasi itu lebih sensitif daripada perasaan seorang gadis.

Korban jiwa dari kecelakaan ini sekitar 30 orang, dua di antaranya adalah supervisor dan operator sial yang bekerja di Unit 4 tadi. Sisanya karena paparan radiasi, termasuk karena meminum air dan susu terkontaminasi yodium-131 dosis tinggi dan gondoknya tidak berhasil diobati. Karena… yah, Soviet. Kapan negara komunis seperti mereka pernah sungguhan peduli terhadap keselamatan warganya?

Kecelakaan separah ini tidak mungkin terjadi di luar Uni Soviet karena reaktornya saja eksklusif hanya di sana, dan tentu saja tidak ada negara waras lain yang mau memberikan lisensi operasi pada reaktor RBMK.

Kecelakaan Fukushima Daiichi terjadi pada tahun 2011, berbarengan dengan terjadinya Gempa Tohoku yang memicu tsunami. Kompleks PLTN Fukushima Daiichi terdiri dari 6 reaktor, dan unit 4-6 sedang shutdown. Tsunami setinggi 15 meter menembus dinding laut Fukushima Daiichi yang hanya 5 meter, membanjiri basement, dan mematikan mesin Diesel untuk pendinginan pasca padam. Karena tidak ada pendinginan, panas sisa reaktor setelah padam tidak bisa dibuang, sehingga menaikkan temperatur bahan bakar dan membuatnya mengalami pelelehan parsial dan kerusakan teras. Pada temperatur tinggi, air bereaksi dengan kelongsong zirkonium dan membentuk hidrogen, yang akhirnya lepas dan menyebabkan ledakan hidrogen. Yodium-131 terlepas keluar dari gedung reaktor, sebagian besar terbawa angin ke Samudera Pasifik. Beberapa material volatil, seperti caesium-137, juga terlepas ke lautan.

Walau terjadi ledakan hidrogen dan kerusakan teras, tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan ini. Hanya saja, pemerintah Jepang secara panik mengevakuasi penduduk Prefektur Fukushima, yang justru malah menyebabkan 1600 kematian. Jika mereka diam saja di tempat, tidak dievakuasi, maka risiko kematian akibat radiasi jauh lebih rendah mendekati nol. Sayangnya, orang lebih takut pada radiasi daripada lokasi pengungsian yang jauh lebih tidak mengenakkan.

Selain dari tiga kecelakaan itu, kadang ada gangguan operasi baik minor maupun mayor pada berbagai PLTN di seluruh dunia, yang mana hal itu adalah sesuatu yang normal bagi pembangkit listrik termal. Sama saja seperti gangguan operasi di PLTU dan PLTG. Tapi tidak ada gangguan tersebut yang membahayakan pegawai maupun masyaakat umum.

Jadi, dari ketiga kecelakaan ini, total korban jiwa dari kecelakaan PLTN hanya 30 orang, semuanya dari kecelakaan Chernobyl. Klaim bahwa ada 4000 kematian tambahan akibat paparan radiasi dosis rendah dari Chernobyl tidak memiliki landasan kuat dan dianggap invalid oleh United Nations Scientific Committee on the Effect of Atomic Radiation (UNSCEAR), badan PBB yang mengurusi masalah dampak radiasi nuklir. Kawasan Chernobyl, yang katanya jadi kota mati, justru dipenuhi oleh tumbuhan dan hewan liar yang hidup baik-baik saja. Bahkan serigala-serigala yang hidup di Chernobyl jadi resisten terhadap kanker. Apakah ini bukti bahwa radiasi dosis rendah itu justru membuat makhluk hidup lebih kebal terhadap kanker alih-alih membuat makhluk hidup terkena kanker?

Sementara itu, polusi udara dari pembakaran energi fosil menyebabkan setidaknya 8,7 juta kematian prematur TIAP TAHUN di seluruh dunia. Jebolnya Bendungan Banqiao di Cina menyebabkan 240 ribu kematian dan menghancurkan hingga 6,8 juta rumah. Bahkan kecelakaan pabrik kimia di Bhopal, India, menyebabkan setidaknya 3700 korban jiwa, 1000 kali lebih banyak daripada Chernobyl. Entah kenapa, kecelakaan yang lebih parah ini mendapat perhatian jauh lebih kecil daripada Chernobyl.

Tidak ada energi yang 100% selamat, sebagaimana naik mobil pun tidak menjamin 100% bisa pulang dengan selamat ke rumah bertemu anak istri. Tapi selalu ada moda energi yang punya tingkat bahaya lebih rendah daripada yang lainnya. Melihat bahwa energi nuklir hanya pernah menyebabkan 30 korban jiwa selama 60 tahun lebih sejarah operasinya, sementara energi fosil menyebabkan jutaan kematian prematur tiap tahun. Jadi, apa PLTN lebih bahaya dari pembangkit lain?

 

0 komentar:

Posting Komentar