Sabtu, 16 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 6: Apakah Radiasi Nuklir Itu Berbahaya?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa radiasi nuklir itu termasuk radiasi pengion. Yakni, radiasi yang mampu melakukan ionisasi, alias menendang keluar elektron dari orbitnya, pada atom. Hasilnya adalah terbentuk ion yang sangat reaktif dan merusak. Kita juga tahu bahwa sumber radiasi nuklir ada yang alami dan ada yang buatan. Sumber radiasi buatan digunakan untuk berbagai kepentingan manusia, sementara radiasi alam… ya sekadar ada di sekitar kita.

Pertanyaannya, apakah kemudian radiasi itu bisa dikatakan sebagai berbahaya?

Sentimen umum publik terhadap radiasi biasanya memang tidak terlalu positif. Radiasi, sebagaimana sudah disinggung, dianggap bisa melakukan mutasi pada gen manusia. Jadi Hulk, misalnya. Meski tentu saja, itu cuma ada di imajinasi Stan Lee. Terpapar radiasi (dalam kasus Bruce Banner/Hulk, radiasi gamma), tidak bisa membuat seseorang jadi mutan berkekuatan super tiap kali dia marah. Tapi kalau dikatakan bisa menyebabkan mutasi genetik seseorang, maka jawabannya adalah, ya, bisa.

Tapi apakah semua radiasi bisa menyebabkan mutasi genetik tersebut?

Terlepas dari stigma negatif terhadap radiasi, dilihat dari sisi radiasi itu sendiri sebagai proses perpindahan energi, maka radiasi nuklir tidak bisa dikatakan berbahaya atau tidak. Karena berbahaya atau tidaknya radiasi nuklir itu tergantung pada dosis radiasi yang diterima manusia. Sama seperti obat, terlalu banyak dikonsumsi bukannya menyembuhkan malah mematikan. Persis seperti kata Paracelsus, the dose makes the poison. Dosis yang menentukan bahaya atau tidaknya.

Ketika diaplikasikan pada radiasi nuklir, terkait efeknya pada manusia, kita bisa sederhanakan menggunakan dosis ekivalen. Ada istilah dosis-dosis lain, tapi tidak terlalu relevan untuk dijabarkan di sini. Apa itu dosis ekivalen? Dosis radiasi yang diterima oleh tubuh manusia setelah dinormalisasi dengan tingkat energi radiasi dan jenis radiasi. Ekivalensi atau kesetaraan ini diperlukan karena energi radiasi berbeda menyebabkan tingkat kerusakan berbeda, sama seperti api lilin dengan api kebakaran rumah bandar judi tingkat kerusakannya juga berbeda. Tiap jenis radiasi (α, β, γ) memiliki daya ionisasi berbeda, maka tingkat kerusakannya juga tidak bisa disamakan.

Sebagai perbandingan, faktor bobot radiasi beta dan gamma itu 1, sementara alfa itu 20. Karena alfa jauh lebih kuat dan merusak daripada gamma, walau daya tembusnya jauh lebih rendah.

Dari segi jumlahnya, dosis radiasi bisa dibagi menjadi dua, yakni dosis radiasi rendah dan dosis radiasi tinggi. Ada perdebatan tentang berapa batasan dosis radiasi rendah dan tinggi, tetapi untuk keperluan di sini, kita bisa ambil angka 100 miliSievert (mSv) sebagai batas dosis rendah. Jika seseorang terpapar 100 mSv dalam waktu setahun, maka itu masih dianggap sebagai dosis radiasi rendah. Lebih dari itu, masuknya dosis radiasi tinggi.

Dari segi efeknya, dampak radiasi bisa dibagi menjadi deterministik dan stokastik. Efek deterministik itu terjadi kalau efek dari paparan radiasi bisa terlihat saat itu juga atau dalam waktu yang dekat. Sementara, efek stokastik itu dipostulasikan baru akan terlihat dalam belasan hingga puluhan tahun ke depan. Dari kedua efek ini, efek stokastik biasanya yang paling ditakuti masyarakat, karena apa yang terjadi sekarang bisa jadi baru muncul bertahun-tahun setelahnya. Namun, efek stokastik ini sebenarnya agak kontroversial, karena dasar hipotesisnya agak-agak problematik.

Seberapa besar dosis radiasi nuklir alami?

Tiap daerah berbeda-beda dosis radiasi alamnya, tergantung pada elevasi tanah dan kandungan uranium serta thorium di dalam tanahnya. Sebagai nilai rerata, tiap tahun manusia menerima dosis radiasi sebesar 2,4 mSv per tahun. Dalam berbagai kasus, penduduk lokal berbagai negara menerima dosis yang lebih tinggi. Misalkan di Kerala, India, yang mana pasir pantainya mengandung banyak sekali thorium. Penduduk di sana bisa menerima dosis radiasi hingga 70 mSv per tahun. Di Mamuju, Sulawesi Tengah, penduduknya bisa menerima dosis radiasi alam hingga 18 mSv per tahun. Dugaannya, di Mamuju ada sumber daya uranium, meski belum benar-benar terverifikasi.

Di tempat lain, seperti Ramsar, Iran, dosis radiasi alamnya bahkan mencapai 300 mSv per tahun. Kalau mengambil batas dosis rendah 100 mSv per tahun, harusnya Ramsar masuk ke daerah dengan dosis radiasi tinggi. Apakah kemudian penduduk Ramsar jadi banyak terpapar mutasi genetik? Kena kanker, misalnya? Ternyata tidak.

Jadi, radiasi nuklir mana yang membahayakan?

Jika kita terpapar radiasi dalam rentang dosis rendah, sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir akan terjadi mutasi genetik yang membuat seseorang terkena kanker atau semacamnya. Sebab, tubuh manusia masih bisa melakukan pemulihan terhadap sel-sel yang rusak akibat paparan radiasi tersebut. Pada dasarnya, tubuh manusia itu mengalami pengrusakan secara konstan termasuk pada DNA, utamanya dari proses metabolisme. Sistem imun tubuh memperbaiki kerusakan DNA tersebut tanpa peduli apa sumber perusaknya, entah metabolisme atau radiasi. Semua diperlakukan adil—kalau rusak, ya perbaiki. Nah, laju perusakan sel dan DNA yang mungkin terjadi akibat paparan dosis radiasi rendah itu masih di bawah ambang batas laju pemulihan sel dan DNA oleh sistem imun tubuh pada umumnya.

Masalahnya adalah pada dosis radiasi tinggi. Pada laju dosis yang melebihi ambang batas imunitas tubuh, maka laju kerusakan melebih laju perbaikan. Akibatnya, sel dan DNA rusak tidak diperbaiki dan memicu berbagai masalah pada tubuh manusia. Salah satunya ya kanker itu, yang mana kanker yang terjadi bergantung pada di mana sumber radiasinya mangkal. Semisal seseorang tidak sengaja menghirup serbuk mengandung polonium-210, yang jadi masalah itu kanker paru-paru. Itu semisal belum wassalam duluan seperti Alexander Litvinenko. Kalau meminum air terkontaminasi yodium-131, jadinya kanker gondok. Seperti yang terjadi pada penduduk Chernobyl, meminum air dan susu yang terkontaminasi yodium-131 yang terlepas dari PLTN Chernobyl, akibatnya banyak yang kena kanker gondok. Untungnya, kanker gondok itu relatif mudah ditangani. Atau dalam kasus di Goiania, Brazil, ketika maling perangkat teleterapi di rumah sakit yang sudah tutup mengotak atik caesium-137 dosis supertinggi di perangkat tersebut menyebabkan serbuk caesium-137 itu menyebar ke mana-mana (mereka tidak tahu kalau itu sumber radiasi) dan membuat empat orang tewas akibat paparan radiasi dosis supertinggi, mayoritas akibat gagal organ, dan 249 lainnya terkontaminasi walau tidak fatal. Beberapa orang bahkan harus diamputasi tangannya setelah memegang sumber caesium-137 tanpa pelindung.

Jadi, dalam dosis tinggi bahkan supertinggi (macam di Goiania), radiasi nuklir memang mematikan. Sama saja seperti LPG 12 kg yang diledakkan, pasti mematikan.

Apa yang terjadi di Goiania adalah wujud dari efek deterministik. Tidak lama setelah maling, keluarganya, dan penadahnya main-main dengan sumber radiasi, dampaknya ke tubuh langsung kelihatan. Mual, muntah, pendarahan, rambut rontok, sampai tangan harus diamputasi. Lebih lama lagi, akan terjadi kegagalan fungsi organ berganda dan berakhir pada dijemput malaikat Izrail. Biasanya itu terjadi pada dosis lebih dari 1 Sv (1000 mSv) dalam waktu singkat. Kalau sudah begitu, mau pakai pengobatan apapun insya Allah tidak akan selamat.

Pesan moralnya, jangan main-main dengan sumber radiasi buatan. Sumber radiasi itu disimpan dalam casing tebal bukan tanpa alasan.

Bagaimana dengan efek stokastik? Saat ini, efek stokastik masih diperhatikan dalam aspek proteksi radiasi. Yang jadi masalah, efek stokastik ini dipostulasikan dengan asumsi bahwa tubuh manusia tidak bisa memperbaiki kerusakan akibat paparan radiasi. Dari sini kemudian muncul anggapan bahwa tidak ada batas dosis radiasi selamat, yang mana hal ini lucu dan tidak ilmiah sama sekali. Sebab sistem imun manusia pada dasarnya bisa memperbaiki kerusakan sel dan DNA, bahkan dalam kasus double strand break sekalipun. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sistem imun tidak bisa membedakan apakah kerusakan DNA yang terjadi adalah akibat metabolisme atau radiasi atau karsinogen lain, semua diperlakukan sama.

Ketika tubuh manusia dianggap tidak bisa memperbaiki efek kerusakan akibat paparan radiasi, maka kerusakan-kerusakan ini diasumsikan akan bertahan selama bertahun-tahun dan perlahan-lahan meluas, sehingga pada suatu titik akan terjadi masalah dalam tubuh manusia berupa kanker. Pertanyaannya, bagaimana seseorang bisa dinyatakan terkena kanker akibat paparan radiasi 20 tahun sebelumnya? Apakah bisa dirunut? Mustahil, karena penyebab kanker bukan cuma radiasi nuklir. Bahkan, radiasi nuklir itu karsinogen yang cenderung lemah ketimbang, katakanlah, rokok. Bahkan sedentary lifestyle alias gaya hidup kaum rebahan lebih mungkin menyebabkan kanker. Bagaimana bisa tiba-tiba seseorang dinyatakan terkena kanker prostat karena radiasi yang diterimanya akibat Rontgen tulang pinggang 20 tahun lalu, tanpa mempertimbangkan aspek lain seperti riwayat berat badan dan kolesterol? Tidak logis dan tidak ilmiah juga.

Dengan kata lain, efek stokastik yang dipercayai saat ini, yang juga paling ditakuti dari efek radiasi karena dianggap baru akan muncul bertahun-tahun kemudian, itu dilandaskan pada asumsi keliru seolah-olah (1) tubuh manusia tidak bisa melakukan pemulihan kerusakan akibat radiasi, dan (2) tidak ada dosis radiasi yang selamat. Kedua hal ini merupakan oversimplifikasi terhadap dampak radiasi terhadap tubuh manusia, dan simplifikasi ini malah mengesankan seolah-olah nuklir itu berbahaya. Padahal, penduduk Kerala yang hidup dengan dosis radiasi mencapai 70 mSv per tahun memiliki tingkat insidensi kanker lebih rendah tiga kali lebih rendah daripada penduduk Australia. Berbagai studi pun menunjukkan inkonsistensi kedua asumsi tersebut, sehingga memunculkan pertanyaan baru: Apa iya efek stokastik itu benar-benar bisa terjadi? Secara statistik sulit untuk dibuktikan.

Karena itu, tidak perlu terlalu khawatir dengan radiasi nuklir dosis rendah. Penduduk Kerala dan Mamuju, sebagai sampel, bisa hidup baik-baik saja dengan dosis radiasi alami lebih tinggi daripada yang diterima dari bekerja di ruang utama reaktor nuklir Serpong selama setahun. Kalau khawatir dengan kanker yang baru akan muncul 20-30 tahun ke depan, sebaiknya agar lebih khawatir dengan rokok yang biasa diisap, gorengan yang digoreng dengan minyak yang dipakai berulang kali dan ditata di etalase yang tidak terlindungi dari asap kendaraan bermotor dan debu jalanan, serta tentu saja asap kendaraan bermotor (khususnya truk Diesel) dan debu jalanan yang masuk ke paru-paru. Hal-hal tersebut lebih mungkin menyebabkan seseorang terkena kanker dalam waktu beberapa tahun ke depan daripada radiasi dosis rendah.

Terkait radiasi dosis tinggi, selama tidak bermain-main dengan sumber radiasi buatan seperti di Goiania, tidak minta Rontgen tulang tiap hari dalam setahun, atau tidak nyemplung ke dalam kolam reaktor nuklir non-daya, atau tidak berada di point zero ledakan senjata nuklir, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

0 komentar:

Posting Komentar