Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa radiasi nuklir itu termasuk radiasi pengion. Yakni, radiasi yang mampu melakukan ionisasi, alias menendang keluar elektron dari orbitnya, pada atom. Hasilnya adalah terbentuk ion yang sangat reaktif dan merusak. Kita juga tahu bahwa sumber radiasi nuklir ada yang alami dan ada yang buatan. Sumber radiasi buatan digunakan untuk berbagai kepentingan manusia, sementara radiasi alam… ya sekadar ada di sekitar kita.
Pertanyaannya,
apakah kemudian radiasi itu bisa dikatakan sebagai berbahaya?
Sentimen umum
publik terhadap radiasi biasanya memang tidak terlalu positif. Radiasi,
sebagaimana sudah disinggung, dianggap bisa melakukan mutasi pada gen manusia.
Jadi Hulk, misalnya. Meski tentu saja, itu cuma ada di imajinasi Stan Lee.
Terpapar radiasi (dalam kasus Bruce Banner/Hulk, radiasi gamma), tidak bisa
membuat seseorang jadi mutan berkekuatan super tiap kali dia marah. Tapi kalau
dikatakan bisa menyebabkan mutasi genetik seseorang, maka jawabannya adalah,
ya, bisa.
Tapi apakah
semua radiasi bisa menyebabkan mutasi genetik tersebut?
Terlepas dari
stigma negatif terhadap radiasi, dilihat dari sisi radiasi itu sendiri sebagai
proses perpindahan energi, maka radiasi nuklir tidak bisa dikatakan berbahaya
atau tidak. Karena berbahaya atau tidaknya radiasi nuklir itu tergantung pada
dosis radiasi yang diterima manusia. Sama seperti obat, terlalu banyak
dikonsumsi bukannya menyembuhkan malah mematikan. Persis seperti kata
Paracelsus, the dose makes the poison. Dosis yang menentukan bahaya atau
tidaknya.
Ketika
diaplikasikan pada radiasi nuklir, terkait efeknya pada manusia, kita bisa
sederhanakan menggunakan dosis ekivalen. Ada istilah dosis-dosis lain, tapi tidak
terlalu relevan untuk dijabarkan di sini. Apa itu dosis ekivalen? Dosis radiasi
yang diterima oleh tubuh manusia setelah dinormalisasi dengan tingkat
energi radiasi dan jenis radiasi. Ekivalensi atau kesetaraan ini diperlukan
karena energi radiasi berbeda menyebabkan tingkat kerusakan berbeda, sama
seperti api lilin dengan api kebakaran rumah bandar judi tingkat kerusakannya
juga berbeda. Tiap jenis radiasi (α, β, γ) memiliki daya
ionisasi berbeda, maka tingkat kerusakannya juga tidak bisa disamakan.
Sebagai
perbandingan, faktor bobot radiasi beta dan gamma itu 1, sementara alfa itu 20.
Karena alfa jauh lebih kuat dan merusak daripada gamma, walau daya tembusnya
jauh lebih rendah.
Dari segi
jumlahnya, dosis radiasi bisa dibagi menjadi dua, yakni dosis radiasi rendah
dan dosis radiasi tinggi. Ada perdebatan tentang berapa batasan dosis radiasi
rendah dan tinggi, tetapi untuk keperluan di sini, kita bisa ambil angka 100
miliSievert (mSv) sebagai batas dosis rendah. Jika seseorang terpapar 100 mSv
dalam waktu setahun, maka itu masih dianggap sebagai dosis radiasi rendah.
Lebih dari itu, masuknya dosis radiasi tinggi.
Dari segi
efeknya, dampak radiasi bisa dibagi menjadi deterministik dan stokastik. Efek
deterministik itu terjadi kalau efek dari paparan radiasi bisa terlihat saat
itu juga atau dalam waktu yang dekat. Sementara, efek stokastik itu
dipostulasikan baru akan terlihat dalam belasan hingga puluhan tahun ke depan.
Dari kedua efek ini, efek stokastik biasanya yang paling ditakuti masyarakat,
karena apa yang terjadi sekarang bisa jadi baru muncul bertahun-tahun
setelahnya. Namun, efek stokastik ini sebenarnya agak kontroversial, karena
dasar hipotesisnya agak-agak problematik.
Seberapa besar
dosis radiasi nuklir alami?
Tiap daerah
berbeda-beda dosis radiasi alamnya, tergantung pada elevasi tanah dan kandungan
uranium serta thorium di dalam tanahnya. Sebagai nilai rerata, tiap tahun
manusia menerima dosis radiasi sebesar 2,4 mSv per tahun. Dalam berbagai kasus,
penduduk lokal berbagai negara menerima dosis yang lebih tinggi. Misalkan di
Kerala, India, yang mana pasir pantainya mengandung banyak sekali thorium.
Penduduk di sana bisa menerima dosis radiasi hingga 70 mSv per tahun. Di
Mamuju, Sulawesi Tengah, penduduknya bisa menerima dosis radiasi alam hingga 18
mSv per tahun. Dugaannya, di Mamuju ada sumber daya uranium, meski belum
benar-benar terverifikasi.
Di tempat lain,
seperti Ramsar, Iran, dosis radiasi alamnya bahkan mencapai 300 mSv per tahun.
Kalau mengambil batas dosis rendah 100 mSv per tahun, harusnya Ramsar masuk ke
daerah dengan dosis radiasi tinggi. Apakah kemudian penduduk Ramsar jadi banyak
terpapar mutasi genetik? Kena kanker, misalnya? Ternyata tidak.
Jadi, radiasi
nuklir mana yang membahayakan?
Jika kita
terpapar radiasi dalam rentang dosis rendah, sebenarnya tidak perlu terlalu
khawatir akan terjadi mutasi genetik yang membuat seseorang terkena kanker atau
semacamnya. Sebab, tubuh manusia masih bisa melakukan pemulihan terhadap
sel-sel yang rusak akibat paparan radiasi tersebut. Pada dasarnya, tubuh
manusia itu mengalami pengrusakan secara konstan termasuk pada DNA, utamanya
dari proses metabolisme. Sistem imun tubuh memperbaiki kerusakan DNA tersebut
tanpa peduli apa sumber perusaknya, entah metabolisme atau radiasi. Semua
diperlakukan adil—kalau rusak, ya perbaiki. Nah, laju perusakan sel dan DNA
yang mungkin terjadi akibat paparan dosis radiasi rendah itu masih di bawah
ambang batas laju pemulihan sel dan DNA oleh sistem imun tubuh pada umumnya.
Masalahnya
adalah pada dosis radiasi tinggi. Pada laju dosis yang melebihi ambang batas
imunitas tubuh, maka laju kerusakan melebih laju perbaikan. Akibatnya, sel dan
DNA rusak tidak diperbaiki dan memicu berbagai masalah pada tubuh manusia.
Salah satunya ya kanker itu, yang mana kanker yang terjadi bergantung pada di
mana sumber radiasinya mangkal. Semisal seseorang tidak sengaja menghirup
serbuk mengandung polonium-210, yang jadi masalah itu kanker paru-paru. Itu
semisal belum wassalam duluan seperti Alexander Litvinenko. Kalau meminum air terkontaminasi
yodium-131, jadinya kanker gondok. Seperti yang terjadi pada penduduk
Chernobyl, meminum air dan susu yang terkontaminasi yodium-131 yang terlepas
dari PLTN Chernobyl, akibatnya banyak yang kena kanker gondok. Untungnya,
kanker gondok itu relatif mudah ditangani. Atau dalam kasus di Goiania, Brazil,
ketika maling perangkat teleterapi di rumah sakit yang sudah tutup mengotak
atik caesium-137 dosis supertinggi di perangkat tersebut menyebabkan serbuk
caesium-137 itu menyebar ke mana-mana (mereka tidak tahu kalau itu sumber
radiasi) dan membuat empat orang tewas akibat paparan radiasi dosis
supertinggi, mayoritas akibat gagal organ, dan 249 lainnya terkontaminasi walau
tidak fatal. Beberapa orang bahkan harus diamputasi tangannya setelah memegang
sumber caesium-137 tanpa pelindung.
Jadi, dalam
dosis tinggi bahkan supertinggi (macam di Goiania), radiasi nuklir memang
mematikan. Sama saja seperti LPG 12 kg yang diledakkan, pasti mematikan.
Apa yang terjadi
di Goiania adalah wujud dari efek deterministik. Tidak lama setelah maling,
keluarganya, dan penadahnya main-main dengan sumber radiasi, dampaknya ke tubuh
langsung kelihatan. Mual, muntah, pendarahan, rambut rontok, sampai tangan
harus diamputasi. Lebih lama lagi, akan terjadi kegagalan fungsi organ berganda
dan berakhir pada dijemput malaikat Izrail. Biasanya itu terjadi pada dosis
lebih dari 1 Sv (1000 mSv) dalam waktu singkat. Kalau sudah begitu, mau pakai
pengobatan apapun insya Allah tidak akan selamat.
Pesan moralnya,
jangan main-main dengan sumber radiasi buatan. Sumber radiasi itu disimpan
dalam casing tebal bukan tanpa alasan.
Bagaimana dengan
efek stokastik? Saat ini, efek stokastik masih diperhatikan dalam aspek
proteksi radiasi. Yang jadi masalah, efek stokastik ini dipostulasikan dengan
asumsi bahwa tubuh manusia tidak bisa memperbaiki kerusakan akibat paparan
radiasi. Dari sini kemudian muncul anggapan bahwa tidak ada batas dosis
radiasi selamat, yang mana hal ini lucu dan tidak ilmiah sama sekali. Sebab
sistem imun manusia pada dasarnya bisa memperbaiki kerusakan sel dan
DNA, bahkan dalam kasus double strand break sekalipun. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, sistem imun tidak bisa membedakan apakah kerusakan DNA
yang terjadi adalah akibat metabolisme atau radiasi atau karsinogen lain, semua
diperlakukan sama.
Ketika tubuh
manusia dianggap tidak bisa memperbaiki efek kerusakan akibat paparan radiasi,
maka kerusakan-kerusakan ini diasumsikan akan bertahan selama bertahun-tahun
dan perlahan-lahan meluas, sehingga pada suatu titik akan terjadi masalah dalam
tubuh manusia berupa kanker. Pertanyaannya, bagaimana seseorang bisa dinyatakan
terkena kanker akibat paparan radiasi 20 tahun sebelumnya? Apakah bisa dirunut?
Mustahil, karena penyebab kanker bukan cuma radiasi nuklir. Bahkan, radiasi
nuklir itu karsinogen yang cenderung lemah ketimbang, katakanlah, rokok. Bahkan
sedentary lifestyle alias gaya hidup kaum rebahan lebih mungkin
menyebabkan kanker. Bagaimana bisa tiba-tiba seseorang dinyatakan terkena
kanker prostat karena radiasi yang diterimanya akibat Rontgen tulang pinggang
20 tahun lalu, tanpa mempertimbangkan aspek lain seperti riwayat berat badan
dan kolesterol? Tidak logis dan tidak ilmiah juga.
Dengan kata
lain, efek stokastik yang dipercayai saat ini, yang juga paling ditakuti dari
efek radiasi karena dianggap baru akan muncul bertahun-tahun kemudian,
itu dilandaskan pada asumsi keliru seolah-olah (1) tubuh manusia tidak bisa
melakukan pemulihan kerusakan akibat radiasi, dan (2) tidak ada dosis radiasi
yang selamat. Kedua hal ini merupakan oversimplifikasi terhadap dampak radiasi
terhadap tubuh manusia, dan simplifikasi ini malah mengesankan seolah-olah
nuklir itu berbahaya. Padahal, penduduk Kerala yang hidup dengan dosis radiasi
mencapai 70 mSv per tahun memiliki tingkat insidensi kanker lebih rendah tiga
kali lebih rendah daripada penduduk Australia. Berbagai studi pun menunjukkan
inkonsistensi kedua asumsi tersebut, sehingga memunculkan pertanyaan baru: Apa
iya efek stokastik itu benar-benar bisa terjadi? Secara statistik sulit untuk
dibuktikan.
Karena itu,
tidak perlu terlalu khawatir dengan radiasi nuklir dosis rendah. Penduduk
Kerala dan Mamuju, sebagai sampel, bisa hidup baik-baik saja dengan dosis
radiasi alami lebih tinggi daripada yang diterima dari bekerja di ruang utama
reaktor nuklir Serpong selama setahun. Kalau khawatir dengan kanker yang baru
akan muncul 20-30 tahun ke depan, sebaiknya agar lebih khawatir dengan rokok
yang biasa diisap, gorengan yang digoreng dengan minyak yang dipakai berulang
kali dan ditata di etalase yang tidak terlindungi dari asap kendaraan bermotor
dan debu jalanan, serta tentu saja asap kendaraan bermotor (khususnya truk
Diesel) dan debu jalanan yang masuk ke paru-paru. Hal-hal tersebut lebih
mungkin menyebabkan seseorang terkena kanker dalam waktu beberapa tahun ke
depan daripada radiasi dosis rendah.
Terkait radiasi
dosis tinggi, selama tidak bermain-main dengan sumber radiasi buatan seperti di
Goiania, tidak minta Rontgen tulang tiap hari dalam setahun, atau tidak
nyemplung ke dalam kolam reaktor nuklir non-daya, atau tidak berada di point
zero ledakan senjata nuklir, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
0 komentar:
Posting Komentar