Minggu, 17 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 7: Apa Itu Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Saat ini, kita sudah tahu bahwa nuklir dipakai utamanya untuk dimanfaatkan dari segi energi dan radiasinya. Untuk energi, sebelumnya sudah dibahas bahwa penggunaan pertamanya adalah untuk keperluan militer, yakni pembuatan senjata nuklir pada Perang Dunia II. Tapi apakah senjata nuklir adalah satu-satunya kegunaan nuklir di bidang energi? Tentu saja… tidak.

Tahu bahwa energi nuklir dapat melepaskan energi sangat besar dengan kebutuhan material sangat sedikit, sudah barang tentu para ilmuwan dan politisi terpikirkan untuk mengeksploitasi energi nuklir ini untuk keperluan damai (baca: keperluan sipil). Tapi bagaimana caranya? Energi ledakan nuklir itu kekuatannya mahadahsyat, tidak terkendali, apa iya bisa digunakan untuk keperluan sipil?

Dari persamaan reaksi fisi, kita tahu bahwa tiap kali terjadi reaksi pembelahan inti atom, akan dihasilkan 2-3 netron baru hasil reaksi fisi tersebut. Jika 2 netron yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh atom-atom uranium-235 baru, maka sudah pasti reaksi fisi berantai yang dihasilkan akan bertambah secara eksponensial. Dari 1, lalu 2, lalu 4, kemudian 8, dan seterusnya. Semua itu akan terjadi dalam waktu sangat cepat.

Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan supaya manusia bisa mengambil energinya secara selamat? Kendalikan populasi netronnya.

Untuk menjaga agar reaksi fisi berantai dapat melepaskan panas secara stabil, tidak naik terus, maka netron hasil reaksi fisi yang ada 2-3 per reaksi fisi itu harus dikurangi jumlahnya menjadi 1. Kita sebut angka ini sebagai faktor multiplikasi. Jika faktor multiplikasi bernilai 1, maka tiap terjadi satu reaksi fisi nuklir pada satu waktu, hanya 1 netron dari 2-3 netron yang dihasilkan sebelumnya yang akan memicu reaksi fisi nuklir baru, sementara sisanya “dipaksa” hilang atau diserap oleh material lain. Konfigurasi sejenis senjata nuklir tidak mungkin membuat faktor multiplikasi netron jadi bernilai 1, maka dibutuhkan konfigurasi lain untuk menurunkan faktor multiplikasi tersebut.

Bagaimana caranya?

Pertama, mengurangi kemurnian bahan bakar. Senjata nuklir menggunakan uranium-235 dan plutonium-239 dengan kemurnian tinggi, yakni 93%. Terlalu banyak atom bahan bakar agar supaya reaksi fisi nuklir bisa dikendalikan. Maka kemurniannya mesti diturunkan, jadi di bawah 5%. Kalau uranium-235 hanya 5%, berarti sisanya apa? Uranium-238, isotop alami uranium yang sifatnya tidak bisa langsung berfisi. Ketika netron ditangkap oleh uranium-238, atom ini akan mengalami reaksi transmutasi yang berujung pada terbentuknya plutonium-239. Reaksinya sebagai berikut.

U-238 + n -> U-239 -> Np-239 + β -> Pu-239 + β

Setelah menangkap netron, uranium-238 akan mengalami dua kali peluruhan beta dan bertransmutasi menjadi plutonium-239. Metode inilah yang digunakan di Manhattan Project untuk menghasilkan plutonium-239 untuk bahan peledak di Pria Gemoy (Fat Man).

Dengan mengurangi konten uranium-235 dan memperbanyak uranium-238, reaksi fisi berantai dapat dikurangi juga populasinya.

Kedua, menggunakan pendingin untuk mengambil panas. Senjata nuklir digunakan sebagai bahan peledak, dia tidak butuh pendingin. Tapi kalau mau digunakan untuk keperluan sipil, dipanen energinya untuk dimanfaatkan, maka butuh material pendingin untuk mengambil panas yang dihasilkan reaksi nuklir dan mengalirkannya pada sistem konversi energi. Selain itu, pendingin juga memastikan bahwa temperatur bahan bakar nuklir tidak terlalu tinggi melebihi titik lelehnya (kecuali dalam kasus khusus). Kalau sampai meleleh, it’s Fukushima Daiichi all over again.

(p.s.: Fukushima Daiichi itu bahaya riilnya overrated, tapi dampak sosial politiknya menyebalkan)

Ketiga, sistem kendali reaktivitas. Namanya bahan bakar nuklir itu pasti perlu bereaksi untuk bisa melepaskan panas, jadi sifatnya reaktif. Seberapa reaktif bahan bakar nuklir itu bergantung pada faktor multiplikasi netronnya. Nah, yang kita mau, reaktivitas si bahan bakar nuklirnya terkendali. Cukup untuk berlangsung terus menerus, tetapi tidak cukup supaya jadi ledakan nuklir. Maka kita butuh yang namanya sistem kendali reaktivitas. Sistem ini digunakan untuk menyedot kelebihan netron hasil fisi supaya tidak ditangkap oleh uranium-235.

Sebagai tambahan, seringkali perlu juga komponen keempat, yaitu material yang bernama moderator. Tugasnya bukan untuk memoderasi rapat, tetapi menurunkan energi kinetik netron supaya kecepatannya turun drastis, dari awalnya sekitar 14.000 km/detik menjadi 2,2 km/detik. Kenapa? Karena netron lebih mudah ditangkap atom uranium-235 jika kecepatannya rendah. Sama seperti kiper lebih mudah menangkap bola dari tendangan seorang balita daripada tendangan seorang Adriano Ribeiro. Moderator menurunkan energi kinetik netron dengan cara menumbuk (baca: membenturkan) partikel netron dengan atom-atom ringan. Prinsip kelentingan dalam fisika, tumbukan antara dua partikel dengan energi kinetik berbeda akan menghantarkan energi dari partikel dengan energi tinggi ke energi rendah. Karena energi kinetik netron jauh lebih tinggi daripada energi kinetik atom-atom ringan, semisal hidrogen dan karbon, maka sebagian energi netron akan berpindah ke atom ringan tersebut. Energi netron turun, dan kecepatannya pun menurun.

Tiga atau empat metode ini, jika digabungkan menjadi suatu sistem dengan konfigurasi tertentu, akan membentuk sebuah benda bernama reaktor nuklir. Ringkasnya, reaktor nuklir adalah tempat di mana reaksi nuklir dapat terjadi, dalam hal ini tentu saja reaksi nuklir yang terkendali. Reaktor nuklir disebut reaktor nuklir jika minimal tiga dari empat komponen (bahan bakar, pendingin, dan sistem kendali reaktivitas) ada dalam sebuah sistem. Kalau tidak ada salah satunya, bukan reaktor nuklir namanya.

Di dalam benda bernama reaktor nuklir inilah reaksi fisi nuklir yang terkendali bisa terjadi. Bahan bakar dengan konten uranium-235 rendah ditata di dalam sebuah bejana, seringkali disertai material moderator, dan pendingin dialirkan di dalam bejana ini untuk mengambil panas yang dihasilkan. Sistem kendali reaktivitas, biasanya dalam bentuk batang kendali, bisa disisipkan ke dalam reaktor nuklir agar kelebihan netron bisa diserap dan tidak memicu reaksi fisi berantai berlebihan.

Bentuk riilnya seperti apa?

Kita ambil contoh reaktor nuklir yang paling banyak digunakan di dunia, namanya pressurised water reactor (PWR). Reaktor ini menggunakan bahan bakar berupa pelet-pelet uranium dioksida (UO2) dengan konten uranium-235 di bawah 5%, yang mana pelet-pelet itu disusun secara vertikal menjadi seperti tongkat yang bisa dibuat nimpuk maling dan dibungkus kelongsong tipis, biasanya dari alloy zirkonium. Batang-batang berisi tumpukan UO2 itu disusun dalam konfigurasi 17 × 17, yang kita sebut perangkat bakar. Nanti puluhan hingga ratusan perangkat bakar itu dimasukkan dalam sebuah bejana tekan 150 atmosfer berisi air bertekanan tinggi. Air ini berfungsi sebagai pendingin sekaligus moderator, karena salah satu atom penyusun air adalah hidrogen, yang merupakan atom ringan. Untuk sistem kendali, biasanya digunakan batang kendali yang disisipkan ke dalam reaktor dari sisi atas, terbuat dari boron karbida (B4C). Kenapa boron? Karena dia sangat powerful bin kemaruk untuk menyedot netron supaya tidak ditangkap oleh uranium-235.

Dengan begini, reaktor tipe PWR bisa digunakan untuk menghasilkan reaksi fisi berantai yang berjalan terus menerus, panas yang dihasilkan bisa diambil dengan pendingin, dan populasi netron bisa dijaga dengan Kendali Batang (KB) supaya tidak berkembang biak di luar kendali.

(p.s.: memang lebih bagus kalau ada ilustrasinya, sih. I’ll sort that out later)

Demikian deskripsi ringkas soal reaktor nuklir. Tapi ini baru segi pembangkitan panasnya. Lantas pendingin yang sudah mengambil panas itu dikemanakan?

Dari sini kita berangkat menuju sistem bernama Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sistemnya ada kemiripan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Bedanya adalah pada sumber panas. Kalau PLTU dari batubara, maka PLTN dari bahan bakar nuklir.

Secara umum, sistem PLTN bisa dibagi menjadi dua, yakni nuclear island dan energy conversion system. Nuclear island itu basically reaktor nuklirnya, sementara energy conversion system adalah tempat mengubah panas yang diambil dari nuclear island menjadi listrik.

Air bertekanan tinggi yang bersumber dari reaktor nuklir ditransfer ke energy conversion system. Menggunakan benda bernama penukar panas (heat exchanger), air panas dari nuclear island mendidihkan air bertekanan di energy conversion system menjadi uap. Yang mana, uap itu kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin dan menjadi listrik. Air dari nuclear island yang sudah digunakan untuk mendidihkan air itu pasti temperaturnya akan turun. Maka air ini dialirkan lagi ke dalam reaktor nuklir untuk mengambil panas. Seperti itu reaksi berjalan terus menerus, setidaknya sampai bahan bakar utamanya, yakni uranium-235, habis dan mesti diisi ulang.

Kurang lebih seperti itulah sebuah sistem yang bernama PLTN. Selain menggunakan pendingin air, PLTN juga bisa didesain menggunakan pendingin lain, seperti lelehan garam, natrium cair, timbal-bismuth cair, dan gas helium. Moderatornya pun tidak selalu air, kadang grafit (karbon), bahkan ada juga yang tidak pakai moderator (ceritanya panjang). Tiap desain memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing, tapi saat ini, PLTN berbasis pendingin air lah yang masih mendominasi PLTN-PLTN di seluruh dunia.

Energi mahadahsyat dari reaksi fisi nuklir, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, menjamin bahwa PLTN hanya membutuhkan sedikit sekali bahan bakar dibandingkan energi lain, seperti batubara dan gas alam. Untuk menghasilkan daya sebesar 1.000 MW elektrik selama setahun, yang di Indonesia cukup untuk kebutuhan listrik 6,5 juta orang, hanya dibutuhkan 200 ton uranium alam. Artinya, tiap orang hanya perlu menggunakan 30,42 gram uranium alam untuk memenuhi kebutuhan listrik tahunannya.

Padahal PLTN saat ini sangat tidak efisien dalam menggunakan bahan bakarnya, yakni hanya mampu mengeksploitasi 0,5% dari potensi uranium alam. Jika menggunakan teknologi lain yang jauh lebih efisien, hanya dibutuhkan sekitar 1 ton uranium alam alih-alih 200 ton, sehingga konsumsi uranium tahunan tiap orang hanya 0,15 g per tahun.

Semua ini jelas menunjukkan bahwa PLTN sangat superior dari segi pembangkitan energi. Bahkan dengan kondisi sistem yang inefisien sekalipun, kebutuhan uraniumnya sangat sedikit, lebih sedikit daripada konsumsi beras harian yang makin lama makin mahal.

Namun, untuk bisa mengekstrak energi dari nuklir ini kelihatannya tidak terlalu mudah. Memastikan agar reaksi fisi nuklir yang terjadi bisa dikendalikan butuh sinergitas sistem yang baik dan komponen-komponen yang tepat. Apakah itu membuat PLTN akhirnya menjadi mahal?

0 komentar:

Posting Komentar