Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Saat ini, kita
sudah tahu bahwa nuklir dipakai utamanya untuk dimanfaatkan dari segi energi
dan radiasinya. Untuk energi, sebelumnya sudah dibahas bahwa penggunaan pertamanya
adalah untuk keperluan militer, yakni pembuatan senjata nuklir pada Perang
Dunia II. Tapi apakah senjata nuklir adalah satu-satunya kegunaan nuklir di
bidang energi? Tentu saja… tidak.
Tahu bahwa
energi nuklir dapat melepaskan energi sangat besar dengan kebutuhan material
sangat sedikit, sudah barang tentu para ilmuwan dan politisi terpikirkan untuk
mengeksploitasi energi nuklir ini untuk keperluan damai (baca: keperluan
sipil). Tapi bagaimana caranya? Energi ledakan nuklir itu kekuatannya mahadahsyat,
tidak terkendali, apa iya bisa digunakan untuk keperluan sipil?
Dari persamaan
reaksi fisi, kita tahu bahwa tiap kali terjadi reaksi pembelahan inti atom,
akan dihasilkan 2-3 netron baru hasil reaksi fisi tersebut. Jika 2 netron yang
dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh atom-atom uranium-235 baru, maka sudah
pasti reaksi fisi berantai yang dihasilkan akan bertambah secara eksponensial.
Dari 1, lalu 2, lalu 4, kemudian 8, dan seterusnya. Semua itu akan terjadi
dalam waktu sangat cepat.
Kalau sudah begini,
apa yang harus dilakukan supaya manusia bisa mengambil energinya secara
selamat? Kendalikan populasi netronnya.
Untuk menjaga
agar reaksi fisi berantai dapat melepaskan panas secara stabil, tidak naik
terus, maka netron hasil reaksi fisi yang ada 2-3 per reaksi fisi itu harus
dikurangi jumlahnya menjadi 1. Kita sebut angka ini sebagai faktor
multiplikasi. Jika faktor multiplikasi bernilai 1, maka tiap terjadi satu
reaksi fisi nuklir pada satu waktu, hanya 1 netron dari 2-3 netron yang
dihasilkan sebelumnya yang akan memicu reaksi fisi nuklir baru, sementara
sisanya “dipaksa” hilang atau diserap oleh material lain. Konfigurasi sejenis
senjata nuklir tidak mungkin membuat faktor multiplikasi netron jadi bernilai
1, maka dibutuhkan konfigurasi lain untuk menurunkan faktor multiplikasi
tersebut.
Bagaimana
caranya?
Pertama,
mengurangi kemurnian bahan bakar. Senjata nuklir menggunakan uranium-235 dan
plutonium-239 dengan kemurnian tinggi, yakni 93%. Terlalu banyak atom bahan
bakar agar supaya reaksi fisi nuklir bisa dikendalikan. Maka kemurniannya mesti
diturunkan, jadi di bawah 5%. Kalau uranium-235 hanya 5%, berarti sisanya apa?
Uranium-238, isotop alami uranium yang sifatnya tidak bisa langsung berfisi.
Ketika netron ditangkap oleh uranium-238, atom ini akan mengalami reaksi
transmutasi yang berujung pada terbentuknya plutonium-239. Reaksinya sebagai
berikut.
U-238
+ n -> U-239 -> Np-239 + β -> Pu-239 + β
Setelah
menangkap netron, uranium-238 akan mengalami dua kali peluruhan beta dan
bertransmutasi menjadi plutonium-239. Metode inilah yang digunakan di Manhattan
Project untuk menghasilkan plutonium-239 untuk bahan peledak di Pria Gemoy (Fat
Man).
Dengan
mengurangi konten uranium-235 dan memperbanyak uranium-238, reaksi fisi
berantai dapat dikurangi juga populasinya.
Kedua,
menggunakan pendingin untuk mengambil panas. Senjata nuklir digunakan sebagai
bahan peledak, dia tidak butuh pendingin. Tapi kalau mau digunakan untuk
keperluan sipil, dipanen energinya untuk dimanfaatkan, maka butuh material
pendingin untuk mengambil panas yang dihasilkan reaksi nuklir dan
mengalirkannya pada sistem konversi energi. Selain itu, pendingin juga
memastikan bahwa temperatur bahan bakar nuklir tidak terlalu tinggi melebihi
titik lelehnya (kecuali dalam kasus khusus). Kalau sampai meleleh, it’s
Fukushima Daiichi all over again.
(p.s.: Fukushima
Daiichi itu bahaya riilnya overrated, tapi dampak sosial politiknya
menyebalkan)
Ketiga, sistem
kendali reaktivitas. Namanya bahan bakar nuklir itu pasti perlu bereaksi untuk
bisa melepaskan panas, jadi sifatnya reaktif. Seberapa reaktif bahan bakar
nuklir itu bergantung pada faktor multiplikasi netronnya. Nah, yang kita mau,
reaktivitas si bahan bakar nuklirnya terkendali. Cukup untuk berlangsung terus
menerus, tetapi tidak cukup supaya jadi ledakan nuklir. Maka kita butuh yang
namanya sistem kendali reaktivitas. Sistem ini digunakan untuk menyedot
kelebihan netron hasil fisi supaya tidak ditangkap oleh uranium-235.
Sebagai
tambahan, seringkali perlu juga komponen keempat, yaitu material yang bernama
moderator. Tugasnya bukan untuk memoderasi rapat, tetapi menurunkan energi
kinetik netron supaya kecepatannya turun drastis, dari awalnya sekitar 14.000
km/detik menjadi 2,2 km/detik. Kenapa? Karena netron lebih mudah ditangkap atom
uranium-235 jika kecepatannya rendah. Sama seperti kiper lebih mudah menangkap
bola dari tendangan seorang balita daripada tendangan seorang Adriano Ribeiro. Moderator
menurunkan energi kinetik netron dengan cara menumbuk (baca: membenturkan)
partikel netron dengan atom-atom ringan. Prinsip kelentingan dalam fisika,
tumbukan antara dua partikel dengan energi kinetik berbeda akan menghantarkan
energi dari partikel dengan energi tinggi ke energi rendah. Karena energi
kinetik netron jauh lebih tinggi daripada energi kinetik atom-atom ringan,
semisal hidrogen dan karbon, maka sebagian energi netron akan berpindah ke atom
ringan tersebut. Energi netron turun, dan kecepatannya pun menurun.
Tiga atau empat
metode ini, jika digabungkan menjadi suatu sistem dengan konfigurasi tertentu,
akan membentuk sebuah benda bernama reaktor nuklir. Ringkasnya, reaktor
nuklir adalah tempat di mana reaksi nuklir dapat terjadi, dalam hal ini tentu
saja reaksi nuklir yang terkendali. Reaktor nuklir disebut reaktor nuklir jika
minimal tiga dari empat komponen (bahan bakar, pendingin, dan sistem kendali
reaktivitas) ada dalam sebuah sistem. Kalau tidak ada salah satunya, bukan
reaktor nuklir namanya.
Di dalam benda
bernama reaktor nuklir inilah reaksi fisi nuklir yang terkendali bisa terjadi.
Bahan bakar dengan konten uranium-235 rendah ditata di dalam sebuah bejana,
seringkali disertai material moderator, dan pendingin dialirkan di dalam bejana
ini untuk mengambil panas yang dihasilkan. Sistem kendali reaktivitas, biasanya
dalam bentuk batang kendali, bisa disisipkan ke dalam reaktor nuklir agar
kelebihan netron bisa diserap dan tidak memicu reaksi fisi berantai berlebihan.
Bentuk riilnya
seperti apa?
Kita ambil
contoh reaktor nuklir yang paling banyak digunakan di dunia, namanya pressurised
water reactor (PWR). Reaktor ini menggunakan bahan bakar berupa pelet-pelet
uranium dioksida (UO2) dengan konten uranium-235 di bawah 5%, yang
mana pelet-pelet itu disusun secara vertikal menjadi seperti tongkat yang bisa
dibuat nimpuk maling dan dibungkus kelongsong tipis, biasanya dari alloy
zirkonium. Batang-batang berisi tumpukan UO2 itu disusun dalam
konfigurasi 17 × 17, yang kita sebut
perangkat bakar. Nanti puluhan hingga ratusan perangkat bakar itu dimasukkan
dalam sebuah bejana tekan 150 atmosfer berisi air bertekanan tinggi. Air ini
berfungsi sebagai pendingin sekaligus moderator, karena salah satu atom
penyusun air adalah hidrogen, yang merupakan atom ringan. Untuk sistem kendali,
biasanya digunakan batang kendali yang disisipkan ke dalam reaktor dari sisi
atas, terbuat dari boron karbida (B4C). Kenapa boron? Karena dia
sangat powerful bin kemaruk untuk menyedot netron supaya tidak ditangkap
oleh uranium-235.
Dengan begini,
reaktor tipe PWR bisa digunakan untuk menghasilkan reaksi fisi berantai yang berjalan
terus menerus, panas yang dihasilkan bisa diambil dengan pendingin, dan
populasi netron bisa dijaga dengan Kendali Batang (KB) supaya tidak berkembang
biak di luar kendali.
(p.s.: memang
lebih bagus kalau ada ilustrasinya, sih. I’ll sort that out later)
Demikian
deskripsi ringkas soal reaktor nuklir. Tapi ini baru segi pembangkitan
panasnya. Lantas pendingin yang sudah mengambil panas itu dikemanakan?
Dari sini kita
berangkat menuju sistem bernama Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sistemnya
ada kemiripan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Bedanya adalah pada
sumber panas. Kalau PLTU dari batubara, maka PLTN dari bahan bakar nuklir.
Secara umum,
sistem PLTN bisa dibagi menjadi dua, yakni nuclear island dan energy
conversion system. Nuclear island itu basically reaktor
nuklirnya, sementara energy conversion system adalah tempat mengubah
panas yang diambil dari nuclear island menjadi listrik.
Air bertekanan
tinggi yang bersumber dari reaktor nuklir ditransfer ke energy conversion
system. Menggunakan benda bernama penukar panas (heat exchanger),
air panas dari nuclear island mendidihkan air bertekanan di energy
conversion system menjadi uap. Yang mana, uap itu kemudian digunakan untuk
menggerakkan turbin dan menjadi listrik. Air dari nuclear island yang
sudah digunakan untuk mendidihkan air itu pasti temperaturnya akan turun. Maka
air ini dialirkan lagi ke dalam reaktor nuklir untuk mengambil panas. Seperti
itu reaksi berjalan terus menerus, setidaknya sampai bahan bakar utamanya,
yakni uranium-235, habis dan mesti diisi ulang.
Kurang lebih
seperti itulah sebuah sistem yang bernama PLTN. Selain menggunakan pendingin
air, PLTN juga bisa didesain menggunakan pendingin lain, seperti lelehan garam,
natrium cair, timbal-bismuth cair, dan gas helium. Moderatornya pun tidak
selalu air, kadang grafit (karbon), bahkan ada juga yang tidak pakai moderator
(ceritanya panjang). Tiap desain memiliki keunggulan dan kekurangan
masing-masing, tapi saat ini, PLTN berbasis pendingin air lah yang masih
mendominasi PLTN-PLTN di seluruh dunia.
Energi
mahadahsyat dari reaksi fisi nuklir, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya,
menjamin bahwa PLTN hanya membutuhkan sedikit sekali bahan bakar dibandingkan
energi lain, seperti batubara dan gas alam. Untuk menghasilkan daya sebesar
1.000 MW elektrik selama setahun, yang di Indonesia cukup untuk kebutuhan
listrik 6,5 juta orang, hanya dibutuhkan 200 ton uranium alam. Artinya, tiap
orang hanya perlu menggunakan 30,42 gram uranium alam untuk memenuhi kebutuhan
listrik tahunannya.
Padahal PLTN
saat ini sangat tidak efisien dalam menggunakan bahan bakarnya,
yakni hanya mampu mengeksploitasi 0,5% dari potensi uranium alam. Jika
menggunakan teknologi lain yang jauh lebih efisien, hanya dibutuhkan sekitar 1
ton uranium alam alih-alih 200 ton, sehingga konsumsi uranium tahunan tiap
orang hanya 0,15 g per tahun.
Semua ini jelas
menunjukkan bahwa PLTN sangat superior dari segi pembangkitan energi. Bahkan
dengan kondisi sistem yang inefisien sekalipun, kebutuhan uraniumnya sangat
sedikit, lebih sedikit daripada konsumsi beras harian yang makin lama makin
mahal.
Namun, untuk
bisa mengekstrak energi dari nuklir ini kelihatannya tidak terlalu mudah.
Memastikan agar reaksi fisi nuklir yang terjadi bisa dikendalikan butuh sinergitas
sistem yang baik dan komponen-komponen yang tepat. Apakah itu membuat PLTN
akhirnya menjadi mahal?
0 komentar:
Posting Komentar