Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Radiasi ada
manfaatnya maupun bahayanya. Sama seperti berbagai macam benda lain yang ada di
alam semesta ini, ada manfaat maupun bahaya. Karena yang namanya benda tidak
bisa dikatakan bermanfaat atau berbahaya karena benda itu sendiri, melainkan
dari bagaimana benda itu digunakan.
Setelah tahu
radiasi bisa digunakan untuk apa saja, pertanyaan berikutnya adalah, sumbernya
dari mana saja? Apakah ada radiasi di sekitar kita? Kalau iya, apakah bahaya
atau tidak? Jangan-jangan tanpa disadari kita sudah terkena radiasi?
Kalau Anda
berasumsi bahwa manusia secara terus menerus terkena radiasi, maka jawabannya
adalah… benar. Manusia memang terkena radiasi setiap saat. Tiap hari,
tiap jam, tiap menit, tiap detik. Radiasi ini pun bukan radiasi non-pengion,
tetapi radiasi pengion alias radiasi nuklir.
Tapi, bagaimana
bisa? Apakah ada uranium atau apa di sekitar manusia atau bagaimana?
Kita pelajari
dulu kategorinya. Ditinjau dari asal radiasinya, radiasi nuklir bisa dibagi
menjadi dua, yakni alami dan buatan. Kalau radiasi buatan, artinya radiasi ini
bersumber dari unsur-unsur bersifat radioaktif yang dibuat oleh manusia.
Contohnya apa? Kobalt-60 yang digunakan untuk terapi kanker dan iradiasi bahan
pangan, itu tidak ada di alam. Manusia membuatnya secara sintetis dengan
membombardir kobalt alami dengan netron. Terjadi reaksi transmutasi, menambah
populasi netron di atom kobalt alam dari 59 menjadi 60, mengubah sifatnya dari
stabil jadi radioaktif. Sebagaimana mental Gen Z ketika dibombardir ribuan masalah
di dunia postmodern, mulai dari lingkungan kerja toksik sampai harga properti
yang diluar jangkauan gaji.
Contoh lain
adalah caesium-137. Isotop radioaktif ini tidak ada di alam, adanya di bahan
bakar bekas reaktor nuklir, sebagai hasil peluruhan dari hasil reaksi fisi.
Demikian pula molybdenum-99, didapatkan dari hasil iradiasi bahan bakar target
di dalam reaktor nuklir. Sementara, isotop iridium-192, didapatkan dari reaksi
transmutasi melalui iradiasi iridium alam.
Untuk sumber
radiasi buatan, karena dibuat oleh manusia, jadi distribusinya terkendali.
Petugas bisa mengawasi mulai dari proses produksi, fabrikasi, hingga
distribusinya. Penggunaannya pun, dalam banyak kasus, diawasi oleh Petugas
Proteksi Radiasi (PPR) yang tersertifikasi. Jadi keselamatan penggunaannya bisa
dijamin, dan kecil kemungkinan orang terpapar radiasi dari sumber buatan
tersebut tanpa justifikasi keperluan yang jelas.
Yang kedua
adalah radiasi alam. Sumber radiasi ini berasal dari… alam. Lebih spesifik
lagi, ada dari luar angkasa, dari tanah, dan dari bahan radioaktif dan dihirup
serta ditelan. Dari luar angkasa normalnya berbentuk radiasi gamma, bersumber
dari matahari dan benda luar angkasa lain, termasuk bintang nun jauh di sana.
Makanya, orang yang sering naik pesawat terbang, termasuk para pilot dan
pramugari/a, akan terpapar radiasi lebih banyak daripada yang bersemayam di
bumi.
Hal ini membawa
kita pada sumber radiasi dari tanah. Secara alami, tanah itu mengandung unsur
radioaktif, dalam bentuk uranium dan thorium. Dan tidak, Anda tidak salah baca.
Tiap jengkal tanah yang kita injak, itu ada uranium dan thorium. Hanya saja,
kandungannya sangat rendah, jadi tidak bisa begitu saja ditambang. Mengeruk 1
ton tanah cuma untuk dapat 1 gram uranium itu tidak lucu. Hanya beberapa tempat
yang memang konsentrasi uranium dan thoriumnya sangat tinggi sehingga layak
untuk ditambang.
Walau
konsentrasinya kecil, uranium dan thorium tetap saja memancarkan radiasi, yang
akhirnya mengenai tubuh manusia. Selain itu, kedua bahan radioaktif ini secara
alami mengalami reaksi peluruhan (namanya juga radioaktif, tidak stabil),
menjadi gas bernama radon. Baik radon-222 dari uranium maupun radon-220 dari
thorium, keduanya berbentuk gas dan bisa terakumulasi di dalam bangunan,
termasuk rumah-rumah. Gas radon ini kemudian dihirup manusia, dan memberikan
paparan radiasi dari dalam tubuh.
Radiasi juga
bisa masuk ke dalam tubuh dari makanan. Contohnya? Pisang. Dari apanya? Kalium.
Secara alami, kalium memiliki isotop radioaktif, bernama kalium-40. Pisang
mengandung kalium cukup banyak, dan kalium punya isotop radioaktif.
Kesimpulannya, pisang itu radioaktif, dan memakan pisang berarti dengan
sengaja memasukkan unsur radioaktif ke dalam tubuh manusia.
Selain pisang,
kalium juga banyak ditemukan di air kelapa muda, ubi, alpukat, semangka, bayam,
kentang, dan lain-lain. Artinya, semakin sering manusia memakan sumber-sumber
kalium itu, semakin banyak radiasi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Yah,
walau tubuh manusia juga punya mekanisme untuk menjaga kesetimbangan jumlah
kalium, sih, jadi orang-orang tidak bisa makan terlalu banyak kalium.
Dari sini, jelas
bahwa pada dasarnya manusia memang hidup di lautan radiasi. Selama
manusia hidup di permukaan bumi, maka manusia akan terus menerus terpapar
radiasi nuklir dari semua sisi. Dari luar angkasa, manusia dihujani radiasi.
Dari tanah, manusia dibombardir radiasi. Bahkan dari udara yang dihirup dan
makanan yang ditelan pun, radiasi itu seringkali ada. Semuanya memapari tubuh
manusia tanpa bisa dilihat, diraba, diterawang macam identifikasi uang palsu.
Semua itu
membuatnya terdengar seram, bukan?
Padahal istilah
“radiasi nuklir” itu sendiri tidak menjelaskan sama sekali soal apakah radiasi
itu berbahaya atau tidak. Radiasi nuklir hanya menjelaskan bahwa radiasi ini bisa
menendang keluar elektron dari orbitnya dan berpeluang menyebabkan
kerusakan pada sel. Radiasi nuklir tidak serta merta menjelaskan apakah
kerusakan itu pasti terjadi, atau butuh kondisi khusus supaya kerusakan itu
bisa terjadi, seberapa besar tingkat kerusakannya, dan apakah dampak kerusakan
itu positif atau negatif.
Pertanyaannya,
apakah ada orang yang mendadak kanker karena rutin makan pisang goreng
pagi-pagi? Atau rutin minum air kelapa dan jus alpukat, lalu kanker usus? Tidak,
kan? Jadi, radiasi nuklir alami itu berbahaya atau tidak?
0 komentar:
Posting Komentar