Sabtu, 02 Maret 2024

Hukum Asal Perkataan Mereka Adalah Bohong Sampai Terbukti Benar

Dalam ushul fiqh, ada kaidah syar'iyyah yang bunyinya kurang lebih begini,

"Hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara'."

"Hukum asal suatu benda adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya."

Kedua kaidah ini berbicara terkait hukum asal dari benda dan perbuatan. Tidak ada yang lebih mendasar daripada ini, karena kehidupan manusia memang berkisar pada dua hal tersebut: Benda dan perbuatan. Terkait benda, maka hukum asalnya adalah mubah atau halal. Semua benda pada dasarnya halal, kecuali yang Allah nyatakan keharamannya. Misalkan darah, khamr, bangkai, babi, anjing, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, dsb. Benda-benda yang diharamkan ini tidak terlampau banyak, jauh lebih banyak yang halal. Makanya kecuali bisa dibuktikan bahwa benda tertentu itu mengandung bahan yang diharamkan, hukumnya adalah halal.

Bukan sebaliknya, haram (minimal syubhat) sampai ada sertifikat halal MUI. Itu kaidah ngawur bin sesat yang tidak pernah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.

Btw, "bukti" di sini tidak perlu harus secara saintifik sekali, lho, ya. Pakai rasio pun bisa. Contoh, Anda lagi di Korea Selatan. Terus lihat ada daging sapi. Apa perlu dibuktikan secara saintifik bahwa itu haram? Ya enggaklah, ngaco. Pakai itu rasio! Sudah dikasih akal buat mikir kok lagaknya segala harus saintifik.

Sementara perbuatan adalah hal yang sama sekali berbeda. Perbuatan tidak ada yang bersifat netral, semua pasti ada nilai tertentu. Maka, perbuatan tidak bisa jatuh ke aspek halal-haram, melainkan ahkamul khamsah (wajib, mandub, mubah, makruh, haram). Dan nilai perbuatan tersebut masuk hukum yang mana, itu tergantung pada hukum syara' terkait perbuatannya. Makanya hukum asal dari perbuatan itu terikat pada hukum syara', bukan semua perbuatan itu mubah sampai ada larangannya. Ngawur itu.

Jadi, pada dasarnya selalu ada hukum asal dari sesuatu, entah benda maupun perbuatan. Tidak ada yang kosong dari hukum asal, bahkan sekalipun kita membawanya dalam konteks yang lebih luas.

Misalnya, "hukum asal pernyataan entitas ilegal penjajah israel adalah bohong." Nah, itu sudah jadi hukum dasar yang menjadi landasan berpikir seseorang. Bahwa, semua yang disampaikan oleh entitas penjajah ilegal itu, dalam kondisi apapun, adalah bohong. Mengingat, dari zaman Nabi Ya'kub masih hidup sekalipun, mereka adalah bangsa culas, pembohong, penipu, pengkhianat. Apalagi sekarang. Tidak ada kondisi pengecualian dalam kaidah ini, karena mereka sudah pasti membual, berbohong, untuk menjustifikasi eksistensi menjijikkan mereka dan genosida yang mereka lakukan.

Berdasarkan kaidah ini, maka semua pemberitaan yang bersumber dari entitas penjajah ilegal itu, adalah bohong, penipuan, propaganda. Titik. Selesai.

Ada juga yang mengajukan kaidah seperti, "hukum asal penyataan petinggi adalah bohong sampai terbukti bahwa mereka jujur." Jadi dalam konteks ini, para petinggi (entah itu lembaga, perusahaan, sekolah, univesitas, whatever) itu hanya bualan belaka, sampai terbukti bahwa pernyataan itu benar adanya dan terwujud di instansi mereka. Biasanya, hal ini bersumber dari ketidakpercayaan mereka pada petinggi-petinggi instansi tersebut, dan ketidakpercayaan muncul dari inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan para petinggi. Jadi yang dibicarakan apa, yang dijanjikan apa, yang terjadi apa. Yang dijanjikan di awal pekerjaan administratif akan lebih ringan, realitanya malah jadi tambah berat.

Berdasarkan kaidah ini, omongan para petinggi hanya bisa dipercaya jika cuap-cuapnya sudah terbukti. Baru omongannya dianggap benar. Kalau tidak... ya kembali ke kaidah asal.

Kedua contoh kaidah ini kesamaannya apa? Keduanya bersumber dari distrust. Ketidakpercayaan pada subjek kaidah. Dalam konteks keorganisasian, entah organisasi apapun itu, distrust biasanya akan merapuhkan loyalitas bawahan terhadap atasan. Sebabnya? Banyak, tapi utamanya ya tadi: Inkonsisten, pembual, bahkan sering menetapkan kebijakan-kebijakan tidak menyenangkan bahkan merugikan. Kalau sudah begini, bagaimana bisa berekspektasi bahwa bawahan akan percaya pada janji-janji atasan?

Jadi semisal IDF merilis video bahwa warga Palestina mati bergelimpangan karena rebutan makanan, maka berdasarkan kaidah di atas, IDF itu berbohong. Karena realitanya memang kera-kera bau bangkai itulah yang menembaki warga Palestina yang kelaparan setelah mereka bom berbulan-bulan. Siapapun yang percaya narasi entitas penjajah ilegal israel, maka sesungguhnya dia punya IQ di bawah nol.

Juga misalkan ada petinggi instansi yang cuap-cuap soal keberhasilan kinerjanya atau target-target perubahan ke depannya, maka berdasarkan kaidah kedua, penganutnya akan menganggap petinggi itu cuma membual saja, sampai terbukti bahwa apa yang dia lakukan itu terwujud.

Ringkasnya, selalu ada hukum asal untuk sesuatu, bahkan dalam konteks luas. Termasuk kaidah terkait bohong, bahwa sebagian pihak ketika berbicara memang mulutnya penuh belepotan dengan membual dan berbohong. Yang model begini, apalagi dalam contoh kedua, akan sulit untuk menjadi instansi yang berjalan dengan baik. Karena model hubungan antara atasan dan bawahannya adalah berbasis distrust, bukan trust.

Till the next update,

Andika 

0 komentar:

Posting Komentar