Selasa, 26 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 16: Apa PLTN Cuma Ada Yang Besar?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Dibandingkan pembangkit listrik lain, PLTN biasanya memiliki biaya pembangunan yang lumayan mahal untuk daya yang sama. Walau realitanya, ini dampak dari regulatory ratcheting dan skema finansial yang terlalu memberatkan industri nuklir, sementara pembangkit lain diberi skema finansial seringan-ringannya. Karena itu, biasanya PLTN dibangun dengan daya sebesar mungkin, untuk memaksimalkan economies of scale. Apa itu economies of scale? Ringkasnya adalah nilai keekonomian sebuah benda jadi lebih murah ketika dibangun dengan skala besar. Semakin besar skala pembangunan/pembuatannya, semakin murah benda itu. Ini prinsip ekonomi yang umum diterapkan di industri. Makanya orang kalau beli grosiran selalu lebih murah daripada beli eceran.

PLTN Generasi I dan Generasi II awal dibangun tidak selalu dengan daya besar. PLTN Calder Hall, tiap unit memiliki daya 60 MWe. Berbagai PLTN dibangun dengan daya 600-900 MWe. Berikutnya baru naik lagi dayanya ke 1000 MWe untuk mengoptimalkan ekonomi. Pada titik ini, secara umum PLTN dibangun dengan daya nominal sekitar 1000 MWe, kecuali PHWR yang biasanya dibangun dengan daya 700 MWe.

Masuk Generasi III, PLTN dibangun dengan daya lebih besar lagi. Misalnya APR-1400 Korea Selatan dengan daya 1400 MWe. AP-1000 Amerika Serikat, daya 1117 MWe. VVER-1200 Rusia, daya 1200 MWe. Bahkan EPR Prancis punya daya 1600 MWe. Makin lama makin besar supaya lebih ekonomis dan mengompensasi masalah regulasi yang membuat daya lebih rendah jadi agak kurang ekonomis.

Dari sini, logika para vendor PLTN bisa dipahami. Namun, dari segi konsumen, ini membuat pilihan jadi agak sulit. Daya yang besar, sekalipun per kW murah, tetap butuh biaya pembangunan yang cukup besar. Tidak semua negara punya kemampuan ekonomi yang memadai untuk itu. Selain itu, jaringan listriknya belum tentu kuat untuk menampung daya sebesar itu. Bayangkan membangun PLTN EPR di Kalimantan dengan daya 1600 MWe, padahal jaringan hanya kuat untuk 1000 MWe.

Kalau PLTN cuma ada yang berdaya besar, maka sulit bagi negara-negara baru dengan infrastruktur kelistrikan tidak terlalu memadai dan kekuatan ekonomi pas-pasan untuk bisa memanfaatkan energi nuklir. Apa tidak ada PLTN dengan daya lebih rendah?

Saat ini, secara komersial, PLTN memang baru ada yang berdaya besar. Tapi bukan berarti PLTN berdaya lebih rendah tidak ada.

Secara umum, kategori daya PLTN bisa dibagi menjadi tiga atau empat. Di sini dipilih empat kategori sebagai berikut:

-          PLTN Berdaya Besar: Daya > 1000 MWe

-          PLTN Berdaya Sedang: 300 MWe < Daya < 1000 MWe

-          PLTN Berdaya Kecil: 20 MWe < Daya < 300 MWe

-          PLTN Mikro: Daya < 20 MWe

PLTN Berdaya Besar dan Sedang sudah cukup familiar. Yang mungkin terdengar baru adalah PLTN Berdaya Kecil dan PLTN Mikro. Itu spesies PLTN macam apa lagi?

PLTN Berdaya Kecil saat ini sedang nge-hype. Istilah resminya adalah small modular reactor (SMR), atau reaktor modular kecil. Apa yang membedakan dari PLTN Berdaya Besar? Yang pertama tentu saja dari segi daya. SMR memiliki daya kurang dari 300 MWe. Sebagai perbandingan, PLTU di Pulau Jawa rata-rata memiliki daya 600 MWe. Selain itu, pembangunannya bersifat modular, bukan on-site di tapak sebagaimana PLTN Berdaya Besar. Maksudnya bagaimana?

Begini. PLTN Berdaya Besar itu butuh struktur luar biasa besar. Jadi bangun dulu pondasinya, bangun dinding pengungkungnya yang setebal lebih dari 2 meter, masukkan komponen-komponen reaktor nuklir, rakit di tempat, lalu pasang kubah dengan berat 500 ton di atasnya, lalu rakit dan bangun komponen serta fasilitas lain. Sekitar 80% pekerjaan dilakukan di tapak PLTN, dan membutuhkan ribuan pekerja. Makanya waktu pembangunan jadi lumayan lama, bisa 5-6 tahun. Belum lagi SDM pekerja butuh pemenuhan sertifikasi segala macam yang lumayan ribet dan mahal.

SMR mau mem-bypass masalah-masalah itu dengan membangun unit PLTN mayoritas di pabrik. Coba bayangkan ada mainan lego. Kalau PLTN Berdaya Besar, legonya dibeli dalam bentuk masih berantakan, lalu dirakit di rumah. SMR, di sisi lain, unit reaktor dan sistem konversi energi sudah dirakit duluan sebelum sampai rumah, jadi di rumah tinggal menyediakan papan lego dan unit-unitnya langsung dipasang. Plug-and-play. Yang mana yang kira-kira akan duluan selesai dirakit? Betul, yang unit reaktor nuklir dan pembangkitan daya sudah dirakit duluan.

Nah, prinsip SMR sama. Reaktor nuklirnya dibangun dalam bentuk modul di pabrik. Jadi kontrol kualitasnya juga jadi lebih terjamin. Kalau ada cacat, bisa diperbaiki dulu sebelum dikirim ke tapak PLTN. Sistem reaktornya juga dibuat lebih kompak dan integral, satu kesatuan. Jadi mudah dibongkar pasang. Kalau sudah selesai dibangun dan dirakit di pabrik, reaktor nuklirnya dikirim ke lokasi pembangunan, lalu dipasang di tapak, disambungkan dengan sistem konversi energi, yang pembangunannya hampir tidak pernah ada masalah.

Menggunakan sistem modularisasi ini, waktu pembangunan SMR bisa dipangkas menjadi 2-3 tahun, dari 5-6 tahun untuk PLTN Berdaya Besar. Menghemat waktu pembangunan berarti menghemat anggaran yang harus dikeluarkan. Membangun unit PLTN di pabrik mengurangi on-site engineering yang lumayan mahal, jadi biaya juga bisa dipangkas. Semua tanpa mengorbankan aspek keselamatan, yang mana regulator dan masyarakat sudah pasti akan sangat rewel masalah itu.

Memang, SMR sampai sekarang belum ada, dan klaimnya masih perlu diuji. Namun, secara teoretis, proses bisnis tersebut logis dan berpotensi mengompensasi economies of scale yang lebih rendah karena daya yang lebih rendah. Bisa cocok untuk jaringan listrik yang tidak kuat menyokong daya besar, dan negara yang tidak terlalu punya banyak anggaran bisa mendapat manfaat energi nuklir.

SMR cuma bicara soal daya, bukan tipe reaktor. Maka, secara praktis (hampir) semua jenis reaktor nuklir bisa didesain sebagai SMR. Mulai dari PWR, BWR, MSR, SFR, HTGR, dan lainnya. Hanya saja, beda desain beda nilai keekonomian.

SMR juga bisa diletakkan di dalam kapal, yang membuatnya berguna untuk dijadikan PLTN Terapung.

Reaktor Mikro itu lebih kecil lagi, dayanya kurang dari 20 MWe. Sama seperti SMR, Reaktor Mikro belum ada di pasaran. Namun, sudah cukup banyak vendor yang mendesain Reaktor Mikro, untuk berbagai keperluan. Secara umum, Reaktor Mikro diharapkan penggunaannya untuk keperluan-keperluan yang jauh dari jaringan listrik utama. Kalau di Indonesia, Reaktor Mikro cocok untuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Di daerah-daerah 3T, listrik itu susah. Kalaupun menyala, paling cuma 4-6 jam. Jadinya bukan pemadaman bergilir, melainkan penyalaan bergilir. Suplainya dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), yang mana minyak Diesel (baca: Solar) harganya mahal dan transportasinya susah. Nah, PLTN Mikro didesain untuk menggantikan PLTD-PLTD tua nan boros ini, mengubah waktu pembangkitan listrik dari 4-6 jam sehari menjadi 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, dan 365 hari dalam setahun. Istilahnya, de-Diesel-isasi. Mengganti Diesel dengan nuklir. Itu fungsi utama PLTN Mikro.

Selain itu, PLTN Mikro juga bisa dipakai untuk industri-industri yang membutuhkan pembangkit daya terpisah dari jaringan listrik PLN.

Karena daya PLTN Mikro kecil sekali, reaktornya bisa dinyalakan dalam waktu yang sangat lama. Umumnya, PLTN Berdaya Besar didesain untuk mengganti bahan bakar dalam periode 12-24 bulan sekali. Pada tiap periode itu, reaktor harus dimatikan dan diganti bahan bakarnya, baru dinyalakan kembali. Untuk PLTN Mikro, reaktornya bisa dinyalakan terus menerus selama 8-20 tahun. Ibarat kata, tinggal nyalakan, lalu tinggalkan. PLTN itu akan terus menghasilkan listrik tanpa gangguan selama bertahun-tahun, nyaris tidak butuh operator di dalamnya. Sistemnya semi-otonom, meski bukan otonomi daerah.

Sama seperti SMR, Reaktor Mikro juga dapat didesain dengan berbagai jenis reaktor nuklir, tapi umumnya yang dipakai adalah HTGR, supaya menunjang aspek keselamatan pasif dan minim intervensi operator.

Biayanya mahal tidak? Kalau dibandingkan PLTN Berdaya Besar, sudah barang tentu lebih mahal. Tapi kalau dibandingkan dengan PLTD, PLTN Mikro lebih murah, lebih andal, dan lebih mungkin menaikkan taraf hidup masyarakat di daerah 3T yang membutuhkan energi kontinu untuk menunjang kehidupannya.

Kesimpulannya, PLTN ada yang Berdaya Besar dan Sedang, ada juga yang Berdaya Kecil (SMR) bahkan Mikro. Walau sekarang SMR dan PLTN Mikro belum ada secara komersial, tapi potensinya sangat terbuka lebar. Mudah-mudahan sudah ada yang komersial pada tahun 2030.

0 komentar:

Posting Komentar