Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Dibandingkan pembangkit
listrik lain, PLTN biasanya memiliki biaya pembangunan yang lumayan mahal untuk
daya yang sama. Walau realitanya, ini dampak dari regulatory ratcheting dan
skema finansial yang terlalu memberatkan industri nuklir, sementara pembangkit
lain diberi skema finansial seringan-ringannya. Karena itu, biasanya PLTN
dibangun dengan daya sebesar mungkin, untuk memaksimalkan economies of scale.
Apa itu economies of scale? Ringkasnya adalah nilai keekonomian sebuah benda
jadi lebih murah ketika dibangun dengan skala besar. Semakin besar skala pembangunan/pembuatannya,
semakin murah benda itu. Ini prinsip ekonomi yang umum diterapkan di industri. Makanya
orang kalau beli grosiran selalu lebih murah daripada beli eceran.
PLTN Generasi I
dan Generasi II awal dibangun tidak selalu dengan daya besar. PLTN Calder Hall,
tiap unit memiliki daya 60 MWe. Berbagai PLTN dibangun dengan daya 600-900 MWe.
Berikutnya baru naik lagi dayanya ke 1000 MWe untuk mengoptimalkan ekonomi. Pada
titik ini, secara umum PLTN dibangun dengan daya nominal sekitar 1000 MWe,
kecuali PHWR yang biasanya dibangun dengan daya 700 MWe.
Masuk Generasi
III, PLTN dibangun dengan daya lebih besar lagi. Misalnya APR-1400 Korea
Selatan dengan daya 1400 MWe. AP-1000 Amerika Serikat, daya 1117 MWe. VVER-1200
Rusia, daya 1200 MWe. Bahkan EPR Prancis punya daya 1600 MWe. Makin lama makin
besar supaya lebih ekonomis dan mengompensasi masalah regulasi yang membuat
daya lebih rendah jadi agak kurang ekonomis.
Dari sini,
logika para vendor PLTN bisa dipahami. Namun, dari segi konsumen, ini membuat
pilihan jadi agak sulit. Daya yang besar, sekalipun per kW murah, tetap butuh biaya
pembangunan yang cukup besar. Tidak semua negara punya kemampuan ekonomi yang
memadai untuk itu. Selain itu, jaringan listriknya belum tentu kuat untuk
menampung daya sebesar itu. Bayangkan membangun PLTN EPR di Kalimantan dengan
daya 1600 MWe, padahal jaringan hanya kuat untuk 1000 MWe.
Kalau PLTN cuma
ada yang berdaya besar, maka sulit bagi negara-negara baru dengan infrastruktur
kelistrikan tidak terlalu memadai dan kekuatan ekonomi pas-pasan untuk bisa
memanfaatkan energi nuklir. Apa tidak ada PLTN dengan daya lebih rendah?
Saat ini, secara
komersial, PLTN memang baru ada yang berdaya besar. Tapi bukan berarti PLTN
berdaya lebih rendah tidak ada.
Secara umum,
kategori daya PLTN bisa dibagi menjadi tiga atau empat. Di sini dipilih empat
kategori sebagai berikut:
-
PLTN Berdaya
Besar: Daya > 1000 MWe
-
PLTN
Berdaya Sedang: 300 MWe < Daya < 1000 MWe
-
PLTN
Berdaya Kecil: 20 MWe < Daya < 300 MWe
-
PLTN Mikro:
Daya < 20 MWe
PLTN Berdaya
Besar dan Sedang sudah cukup familiar. Yang mungkin terdengar baru adalah PLTN
Berdaya Kecil dan PLTN Mikro. Itu spesies PLTN macam apa lagi?
PLTN Berdaya
Kecil saat ini sedang nge-hype. Istilah resminya adalah small modular
reactor (SMR), atau reaktor modular kecil. Apa yang membedakan dari PLTN
Berdaya Besar? Yang pertama tentu saja dari segi daya. SMR memiliki daya kurang
dari 300 MWe. Sebagai perbandingan, PLTU di Pulau Jawa rata-rata memiliki daya
600 MWe. Selain itu, pembangunannya bersifat modular, bukan on-site di
tapak sebagaimana PLTN Berdaya Besar. Maksudnya bagaimana?
Begini. PLTN Berdaya
Besar itu butuh struktur luar biasa besar. Jadi bangun dulu pondasinya, bangun dinding
pengungkungnya yang setebal lebih dari 2 meter, masukkan komponen-komponen
reaktor nuklir, rakit di tempat, lalu pasang kubah dengan berat 500 ton di
atasnya, lalu rakit dan bangun komponen serta fasilitas lain. Sekitar 80%
pekerjaan dilakukan di tapak PLTN, dan membutuhkan ribuan pekerja. Makanya waktu
pembangunan jadi lumayan lama, bisa 5-6 tahun. Belum lagi SDM pekerja butuh
pemenuhan sertifikasi segala macam yang lumayan ribet dan mahal.
SMR mau mem-bypass
masalah-masalah itu dengan membangun unit PLTN mayoritas di pabrik. Coba bayangkan
ada mainan lego. Kalau PLTN Berdaya Besar, legonya dibeli dalam bentuk masih
berantakan, lalu dirakit di rumah. SMR, di sisi lain, unit reaktor dan sistem
konversi energi sudah dirakit duluan sebelum sampai rumah, jadi di rumah
tinggal menyediakan papan lego dan unit-unitnya langsung dipasang. Plug-and-play.
Yang mana yang kira-kira akan duluan selesai dirakit? Betul, yang unit reaktor
nuklir dan pembangkitan daya sudah dirakit duluan.
Nah, prinsip SMR
sama. Reaktor nuklirnya dibangun dalam bentuk modul di pabrik. Jadi kontrol kualitasnya
juga jadi lebih terjamin. Kalau ada cacat, bisa diperbaiki dulu sebelum dikirim
ke tapak PLTN. Sistem reaktornya juga dibuat lebih kompak dan integral, satu
kesatuan. Jadi mudah dibongkar pasang. Kalau sudah selesai dibangun dan dirakit
di pabrik, reaktor nuklirnya dikirim ke lokasi pembangunan, lalu dipasang di tapak,
disambungkan dengan sistem konversi energi, yang pembangunannya hampir tidak
pernah ada masalah.
Menggunakan sistem
modularisasi ini, waktu pembangunan SMR bisa dipangkas menjadi 2-3 tahun, dari
5-6 tahun untuk PLTN Berdaya Besar. Menghemat waktu pembangunan berarti
menghemat anggaran yang harus dikeluarkan. Membangun unit PLTN di pabrik
mengurangi on-site engineering yang lumayan mahal, jadi biaya juga bisa
dipangkas. Semua tanpa mengorbankan aspek keselamatan, yang mana regulator dan
masyarakat sudah pasti akan sangat rewel masalah itu.
Memang, SMR
sampai sekarang belum ada, dan klaimnya masih perlu diuji. Namun, secara
teoretis, proses bisnis tersebut logis dan berpotensi mengompensasi economies
of scale yang lebih rendah karena daya yang lebih rendah. Bisa cocok untuk
jaringan listrik yang tidak kuat menyokong daya besar, dan negara yang tidak
terlalu punya banyak anggaran bisa mendapat manfaat energi nuklir.
SMR cuma bicara
soal daya, bukan tipe reaktor. Maka, secara praktis (hampir) semua jenis
reaktor nuklir bisa didesain sebagai SMR. Mulai dari PWR, BWR, MSR, SFR, HTGR,
dan lainnya. Hanya saja, beda desain beda nilai keekonomian.
SMR juga bisa diletakkan
di dalam kapal, yang membuatnya berguna untuk dijadikan PLTN Terapung.
Reaktor Mikro
itu lebih kecil lagi, dayanya kurang dari 20 MWe. Sama seperti SMR, Reaktor
Mikro belum ada di pasaran. Namun, sudah cukup banyak vendor yang mendesain
Reaktor Mikro, untuk berbagai keperluan. Secara umum, Reaktor Mikro diharapkan
penggunaannya untuk keperluan-keperluan yang jauh dari jaringan listrik utama. Kalau
di Indonesia, Reaktor Mikro cocok untuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan
Terluar).
Di daerah-daerah
3T, listrik itu susah. Kalaupun menyala, paling cuma 4-6 jam. Jadinya bukan pemadaman
bergilir, melainkan penyalaan bergilir. Suplainya dari Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD), yang mana minyak Diesel (baca: Solar) harganya mahal dan
transportasinya susah. Nah, PLTN Mikro didesain untuk menggantikan PLTD-PLTD tua
nan boros ini, mengubah waktu pembangkitan listrik dari 4-6 jam sehari menjadi
24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, dan 365 hari dalam setahun. Istilahnya,
de-Diesel-isasi. Mengganti Diesel dengan nuklir. Itu fungsi utama PLTN Mikro.
Selain itu, PLTN
Mikro juga bisa dipakai untuk industri-industri yang membutuhkan pembangkit
daya terpisah dari jaringan listrik PLN.
Karena daya PLTN
Mikro kecil sekali, reaktornya bisa dinyalakan dalam waktu yang sangat lama. Umumnya,
PLTN Berdaya Besar didesain untuk mengganti bahan bakar dalam periode 12-24 bulan
sekali. Pada tiap periode itu, reaktor harus dimatikan dan diganti bahan
bakarnya, baru dinyalakan kembali. Untuk PLTN Mikro, reaktornya bisa dinyalakan
terus menerus selama 8-20 tahun. Ibarat kata, tinggal nyalakan, lalu
tinggalkan. PLTN itu akan terus menghasilkan listrik tanpa gangguan selama
bertahun-tahun, nyaris tidak butuh operator di dalamnya. Sistemnya semi-otonom,
meski bukan otonomi daerah.
Sama seperti
SMR, Reaktor Mikro juga dapat didesain dengan berbagai jenis reaktor nuklir, tapi
umumnya yang dipakai adalah HTGR, supaya menunjang aspek keselamatan pasif dan
minim intervensi operator.
Biayanya mahal
tidak? Kalau dibandingkan PLTN Berdaya Besar, sudah barang tentu lebih mahal. Tapi
kalau dibandingkan dengan PLTD, PLTN Mikro lebih murah, lebih andal, dan lebih
mungkin menaikkan taraf hidup masyarakat di daerah 3T yang membutuhkan energi kontinu
untuk menunjang kehidupannya.
Kesimpulannya,
PLTN ada yang Berdaya Besar dan Sedang, ada juga yang Berdaya Kecil (SMR)
bahkan Mikro. Walau sekarang SMR dan PLTN Mikro belum ada secara komersial,
tapi potensinya sangat terbuka lebar. Mudah-mudahan sudah ada yang komersial
pada tahun 2030.
0 komentar:
Posting Komentar