Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Sejarah awal penemuan
energi nuklir ditandai dengan diledakkannya Hiroshima dan Nagasaki menggunakan
Bocah Ceking dan Pria Gemoy (baca: Little Boy dan Fat Man). Setidaknya 200 ribu
orang menjadi korban jiwa dari ledakan dua senjata yang berat bahan peledaknya
masing-masing 64 dan 6,4 kg. Karena daya hancur yang luar biasa dari benda sekecil
itu, wajar saja banyak populasi manusia yang takut dengan senjata nuklir.
Karena itulah,
setelah kemudian energi nuklir dimanfaatkan untuk keperluan sipil, muncul yang
namanya Traktat Non-Proliferasi (Non-Proliferation Treaty/NPT). Tujuannya
untuk mencegah penggunaan energi nuklir untuk keperluan non-damai (baca: militer).
Jadi cukup lah itu energi nuklir dipakai untuk PLTN saja, hasilkan listrik,
radiasi, dan sebagainya. Tidak usah untuk bangun senjata nuklir yang bisa menyebabkan
kehancuran luar biasa. Motivasinya? Tentu saja karena kuatir terjadi Perang
Nuklir yang melenyapkan seluruh dunia. Apalagi ditambah makalah Carl Sagan soal
nuclear winter (musim dingin nuklir), yang memprediksi bahwa bumi akan mengalami
musim dingin berkepanjangan akibat perang nuklir.
Makalahnya Sagan
itu bermasalah secara ilmiah, tidak realistis, mengasumsikan pendekatan-pendekatan
yang ngaco, tapi secara opini cukup sukses untuk membuat orang takut pada
penggunaan senjata nuklir.
Mulai dari situ,
penggunaan energi nuklir diawasi secara ketat. Akuntansi bahan nuklir
diberlakukan pada aliran bahan bakar nuklir, khususnya uranium dan plutonium. Tujuannya
memastikan bahwa tidak ada bahan bakar yang disimpangkan untuk keperluan
non-damai. Kalau ada yang berani macam-macam, biasanya ada tindakan khusus yang
bisa mengalienasi negara tersebut dari daur bahan bakar nuklir dunia.
Korea Utara,
sebagai contoh, tidak meratifikasi NPT. Jadinya mereka tidak bisa impor uranium
atau mendapat fasilitas pengolahan uranium. Satu-satunya cara untuk mereka bisa
mengembangkan senjata nuklir adalah melalui jalur gerilya, underground,
ilegal.
NPT ini memang
secara pelaksanaan agak cacat, karena sampai sekarang seluruh nuclear weapon
state tidak pernah serius melucuti persenjataan nuklirnya. Sementara negara
pendatang energi nuklir malah ribet dengan segala aspek keamanan dan seifgad
nuklir ketika mau bangun PLTN. Jadi kelihatan standar ganda dan tidak tegas.
Bicara soal
PLTN, apa iya bahan bakar nuklir PLTN bisa dialihgunakan sebagai senjata
nuklir? Karena sepertinya banyak juga yang khawatir dengan pengembangan energi
nuklir suatu negara bisa membuat mereka jadi mengembangkan senjata nuklir dan
mengancam kestabilan kawasan. Misalkan tuduhan Qatar bahwa program Uni Emirat
Arab bisa mengancam kestabilan kawasan Semenanjung Arab. Termasuk Amerika
Serikat baru mau bantu Arab Saudi terkait program nuklir kalau Arab Saudi meninggalkan
program pengayaan uranium sendiri.
Pada hakikatnya,
kalau suatu negara ingin mengembangkan energi nuklir untuk militer, negara
tersebut sama sekali tidak perlu untuk membangun PLTN terlebih dahulu. Korea
Utara adalah contohnya. Mereka tidak punya PLTN sama sekali, tapi senjata nuklir
sudah punya. Satu lagi adalah entitas ilegal-perampok tanah-psikopat genosidal
yang menamakan diri mereka sebagai israel, juga punya senjata nuklir walau
tidak punya PLTN.
Kenapa? Karena
jalur mendapatkan bahan bakarnya berbeda.
Untuk senjata
nuklir, diperlukan uranium dan plutonium dengan kemurnian tinggi. Untuk
keperluan senjata nuklir, diperlukan isotop uranium-235 dan plutonium-239
dengan kadar minimal 93%, sisanya isotop lain seperti uranium-238 dan
plutonium-240.
Untuk mendapatkan
uranium-235 93%, yang dibutuhkan adalah fasilitas pengayaan uranium dengan kapasitas
pengayaan tinggi. Perlu banyak sekali sentrifugator untuk menaikkan kadar
uranium-235 dari kadar alami jadi kadar senjata. Fasilitas pengayaan uranium
adalah fasilitas yang diawasi ketat secara internasional, khususnya oleh IAEA. Secara
umum, fasilitas pengayaan uranium di dunia didesain untuk memperkaya uranium
dengan limit hanya 5%. Rusia bisa sampai 20%, limit maksimum yang diizinkan
untuk keperluan sipil. Iran punya fasilitas pengayaan uranium yang katanya bisa
disimpangkan untuk senjata nuklir, tapi sampai saat ini tidak terbukti.
Sementara, untuk
mendapatkan plutonium-239 93%, dibutuhkan fasilitas iradiasi untuk membombardir
uranium-238 dengan netron dalam waktu singkat, sekitar 3 bulan. Bisa berbentuk
reaktor nuklir non-daya, atau PLTN yang bisa berfungsi ganda seperti RBMK Uni Soviet.
Kenapa singkat? Karena semakin lama uranium-238 dibombardir dengan netron, semakin
banyak kontaminasi plutonium-240. Jalan ini yang kemudian ditempuh oleh Korea
Utara untuk produksi senjata nuklir, karena jelas mereka tidak punya fasilitas
pengayaan uranium yang super mahal.
Kenapa harus kemurnian
tinggi? Karena kurang dari itu, senjata nuklir tidak bisa berfungsi sebagaimana
tujuannya. Khususnya kalau pakai plutonium-239, terlalu banyak kontaminasi
plutonium-240 dan senjata nuklir itu bisa meledak sebelum waktunya. Sudah waktunya
salah, ledakannya ampas pula. Buang-buang duit.
Pertanyaannya,
apakah bahan bakar PLTN bisa disimpangkan untuk keperluan senjata nuklir?
Kalau uranium-235,
sih, sudah pasti tidak, ya. Karena sekali lagi, kandungan uranium-235 kurang
dari 5%. Tidak bisa diapa-apakan lagi. Kalau sudah dipakai di PLTN, pasti
kandungannya makin turun, mungkin jadi 1-2%. Mau disimpangkan apa, coba.
Yang jadi isu
mungkin plutonium-239. Isotop ini juga yang jadi perhatian ketat dalam akuntansi
bahan nuklir. Detail perhitungannya mungkin sampai satuan gram. Entahlah, tidak
pernah terlibat dalam akuntansi bahan nuklir. Karena dibandingkan uranium-235,
plutonium-239 di bahan bakar bekas kemurniannya lebih tinggi.
Tapi apakah
setinggi itu? Ternyata tidak juga. Karena seperti disebutkan sebelumnya,
semakin lama uranium-238 dibombardir netron, semakin banyak kontaminasi plutonium-240.
Sebabnya adalah ketika plutonium-239 menangkap netron, dia tidak selalu
mengalami reaksi fisi. Seringkali (30% kemungkinan), dia sekadar menangkap
netron dan… ya sudah, diam saja. Jadinya transmutasi ke plutonium-240. Khususnya
kalau energi netronnya rendah (netron termal). Sementara, 99% PLTN di dunia itu
PLTN termal.
Untuk
mendapatkan plutonium-239 kemurnian tinggi, iradiasi uranium-238 di dalam reaktor
nuklir tidak boleh lebih dari 3 bulan. Sebagai catatan, PLTN biasa dioperasikan
selama 12-24 bulan. Artinya apa? Kemurnian plutonium sudah terdegradasi,
seperti nasib Juventus setelah kena skandal Calciopoli tahun 2006. Jadi tidak cocok
digunakan untuk senjata nuklir.
Berapa persisnya
kemurnian plutonium-239 di PLTN-PLTN dunia? Kisarannya begini.
-
PWR:
50-56%
-
BWR:
56-60%
-
PHWR: 66%
-
AGR: 54%
PWR bisa dioperasikan
dengan jangka waktu paling panjang, sehingga kandungan plutoniumnya sudah
terdegradasi hingga ke Divisi 3—maksudnya, kemurniannya jadi rendah sekali.
Sementara, kadar plutonium-240 mencapai 20-30%. Sama sekali tidak layak untuk
dibuat senjata nuklir.
Kalau tidak
layak, lantas kenapa diawasi? Namanya juga regulasi keamanan. Segala potensi
penyimpangan, sekecil apapun, akan diawasi. Enough said.
Jadi, walaupun kemurnian
plutonium-239 dari bahan bakar PLTN lebih tinggi dari kemurnian uraniumnya,
tetap saja tidak cukup tinggi untuk membuatnya layak jadi senjata nuklir. Masih
ada jalan lain yang lebih mudah dan murah untuk mendapatkan bahan baku senjata
nuklir daripada repot-repot bangun PLTN mahal-mahal lalu mengambil plutonium kemurnian
rendah di bahan bakar bekasnya untuk membuat senjata nuklir yang hampir pasti
akan gagal. Ibarat kata, mau pergi dari Jakarta ke Bandung, bukannya langsung
naik KA Argo Parahyangan dari Gambir, malah naik KA Taksaka ke Yogyakarta, lalu
KA Sancaka ke Surabaya, lalu baru naik KA Turangga ke Bandung. Kelas Panoramic pula.
Ya sampai, sih, cuma muter dulu, mahal, dan gagal sampai ke acara nikahan
gebetan zaman SMA yang nikah sama teman kampusnya tepat waktu. Buat apa?
0 komentar:
Posting Komentar