Senin, 25 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 15: Apa Bahan Bakar PLTN Bisa Jadi Senjata Nuklir?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Sejarah awal penemuan energi nuklir ditandai dengan diledakkannya Hiroshima dan Nagasaki menggunakan Bocah Ceking dan Pria Gemoy (baca: Little Boy dan Fat Man). Setidaknya 200 ribu orang menjadi korban jiwa dari ledakan dua senjata yang berat bahan peledaknya masing-masing 64 dan 6,4 kg. Karena daya hancur yang luar biasa dari benda sekecil itu, wajar saja banyak populasi manusia yang takut dengan senjata nuklir.

Karena itulah, setelah kemudian energi nuklir dimanfaatkan untuk keperluan sipil, muncul yang namanya Traktat Non-Proliferasi (Non-Proliferation Treaty/NPT). Tujuannya untuk mencegah penggunaan energi nuklir untuk keperluan non-damai (baca: militer). Jadi cukup lah itu energi nuklir dipakai untuk PLTN saja, hasilkan listrik, radiasi, dan sebagainya. Tidak usah untuk bangun senjata nuklir yang bisa menyebabkan kehancuran luar biasa. Motivasinya? Tentu saja karena kuatir terjadi Perang Nuklir yang melenyapkan seluruh dunia. Apalagi ditambah makalah Carl Sagan soal nuclear winter (musim dingin nuklir), yang memprediksi bahwa bumi akan mengalami musim dingin berkepanjangan akibat perang nuklir.

Makalahnya Sagan itu bermasalah secara ilmiah, tidak realistis, mengasumsikan pendekatan-pendekatan yang ngaco, tapi secara opini cukup sukses untuk membuat orang takut pada penggunaan senjata nuklir.

Mulai dari situ, penggunaan energi nuklir diawasi secara ketat. Akuntansi bahan nuklir diberlakukan pada aliran bahan bakar nuklir, khususnya uranium dan plutonium. Tujuannya memastikan bahwa tidak ada bahan bakar yang disimpangkan untuk keperluan non-damai. Kalau ada yang berani macam-macam, biasanya ada tindakan khusus yang bisa mengalienasi negara tersebut dari daur bahan bakar nuklir dunia.

Korea Utara, sebagai contoh, tidak meratifikasi NPT. Jadinya mereka tidak bisa impor uranium atau mendapat fasilitas pengolahan uranium. Satu-satunya cara untuk mereka bisa mengembangkan senjata nuklir adalah melalui jalur gerilya, underground, ilegal.

NPT ini memang secara pelaksanaan agak cacat, karena sampai sekarang seluruh nuclear weapon state tidak pernah serius melucuti persenjataan nuklirnya. Sementara negara pendatang energi nuklir malah ribet dengan segala aspek keamanan dan seifgad nuklir ketika mau bangun PLTN. Jadi kelihatan standar ganda dan tidak tegas.

Bicara soal PLTN, apa iya bahan bakar nuklir PLTN bisa dialihgunakan sebagai senjata nuklir? Karena sepertinya banyak juga yang khawatir dengan pengembangan energi nuklir suatu negara bisa membuat mereka jadi mengembangkan senjata nuklir dan mengancam kestabilan kawasan. Misalkan tuduhan Qatar bahwa program Uni Emirat Arab bisa mengancam kestabilan kawasan Semenanjung Arab. Termasuk Amerika Serikat baru mau bantu Arab Saudi terkait program nuklir kalau Arab Saudi meninggalkan program pengayaan uranium sendiri.

Pada hakikatnya, kalau suatu negara ingin mengembangkan energi nuklir untuk militer, negara tersebut sama sekali tidak perlu untuk membangun PLTN terlebih dahulu. Korea Utara adalah contohnya. Mereka tidak punya PLTN sama sekali, tapi senjata nuklir sudah punya. Satu lagi adalah entitas ilegal-perampok tanah-psikopat genosidal yang menamakan diri mereka sebagai israel, juga punya senjata nuklir walau tidak punya PLTN.

Kenapa? Karena jalur mendapatkan bahan bakarnya berbeda.

Untuk senjata nuklir, diperlukan uranium dan plutonium dengan kemurnian tinggi. Untuk keperluan senjata nuklir, diperlukan isotop uranium-235 dan plutonium-239 dengan kadar minimal 93%, sisanya isotop lain seperti uranium-238 dan plutonium-240.

Untuk mendapatkan uranium-235 93%, yang dibutuhkan adalah fasilitas pengayaan uranium dengan kapasitas pengayaan tinggi. Perlu banyak sekali sentrifugator untuk menaikkan kadar uranium-235 dari kadar alami jadi kadar senjata. Fasilitas pengayaan uranium adalah fasilitas yang diawasi ketat secara internasional, khususnya oleh IAEA. Secara umum, fasilitas pengayaan uranium di dunia didesain untuk memperkaya uranium dengan limit hanya 5%. Rusia bisa sampai 20%, limit maksimum yang diizinkan untuk keperluan sipil. Iran punya fasilitas pengayaan uranium yang katanya bisa disimpangkan untuk senjata nuklir, tapi sampai saat ini tidak terbukti.

Sementara, untuk mendapatkan plutonium-239 93%, dibutuhkan fasilitas iradiasi untuk membombardir uranium-238 dengan netron dalam waktu singkat, sekitar 3 bulan. Bisa berbentuk reaktor nuklir non-daya, atau PLTN yang bisa berfungsi ganda seperti RBMK Uni Soviet. Kenapa singkat? Karena semakin lama uranium-238 dibombardir dengan netron, semakin banyak kontaminasi plutonium-240. Jalan ini yang kemudian ditempuh oleh Korea Utara untuk produksi senjata nuklir, karena jelas mereka tidak punya fasilitas pengayaan uranium yang super mahal.

Kenapa harus kemurnian tinggi? Karena kurang dari itu, senjata nuklir tidak bisa berfungsi sebagaimana tujuannya. Khususnya kalau pakai plutonium-239, terlalu banyak kontaminasi plutonium-240 dan senjata nuklir itu bisa meledak sebelum waktunya. Sudah waktunya salah, ledakannya ampas pula. Buang-buang duit.

Pertanyaannya, apakah bahan bakar PLTN bisa disimpangkan untuk keperluan senjata nuklir?

Kalau uranium-235, sih, sudah pasti tidak, ya. Karena sekali lagi, kandungan uranium-235 kurang dari 5%. Tidak bisa diapa-apakan lagi. Kalau sudah dipakai di PLTN, pasti kandungannya makin turun, mungkin jadi 1-2%. Mau disimpangkan apa, coba.

Yang jadi isu mungkin plutonium-239. Isotop ini juga yang jadi perhatian ketat dalam akuntansi bahan nuklir. Detail perhitungannya mungkin sampai satuan gram. Entahlah, tidak pernah terlibat dalam akuntansi bahan nuklir. Karena dibandingkan uranium-235, plutonium-239 di bahan bakar bekas kemurniannya lebih tinggi.

Tapi apakah setinggi itu? Ternyata tidak juga. Karena seperti disebutkan sebelumnya, semakin lama uranium-238 dibombardir netron, semakin banyak kontaminasi plutonium-240. Sebabnya adalah ketika plutonium-239 menangkap netron, dia tidak selalu mengalami reaksi fisi. Seringkali (30% kemungkinan), dia sekadar menangkap netron dan… ya sudah, diam saja. Jadinya transmutasi ke plutonium-240. Khususnya kalau energi netronnya rendah (netron termal). Sementara, 99% PLTN di dunia itu PLTN termal.

Untuk mendapatkan plutonium-239 kemurnian tinggi, iradiasi uranium-238 di dalam reaktor nuklir tidak boleh lebih dari 3 bulan. Sebagai catatan, PLTN biasa dioperasikan selama 12-24 bulan. Artinya apa? Kemurnian plutonium sudah terdegradasi, seperti nasib Juventus setelah kena skandal Calciopoli tahun 2006. Jadi tidak cocok digunakan untuk senjata nuklir.

Berapa persisnya kemurnian plutonium-239 di PLTN-PLTN dunia? Kisarannya begini.

-          PWR: 50-56%

-          BWR: 56-60%

-          PHWR: 66%

-          AGR: 54%

PWR bisa dioperasikan dengan jangka waktu paling panjang, sehingga kandungan plutoniumnya sudah terdegradasi hingga ke Divisi 3—maksudnya, kemurniannya jadi rendah sekali. Sementara, kadar plutonium-240 mencapai 20-30%. Sama sekali tidak layak untuk dibuat senjata nuklir.

Kalau tidak layak, lantas kenapa diawasi? Namanya juga regulasi keamanan. Segala potensi penyimpangan, sekecil apapun, akan diawasi. Enough said.

Jadi, walaupun kemurnian plutonium-239 dari bahan bakar PLTN lebih tinggi dari kemurnian uraniumnya, tetap saja tidak cukup tinggi untuk membuatnya layak jadi senjata nuklir. Masih ada jalan lain yang lebih mudah dan murah untuk mendapatkan bahan baku senjata nuklir daripada repot-repot bangun PLTN mahal-mahal lalu mengambil plutonium kemurnian rendah di bahan bakar bekasnya untuk membuat senjata nuklir yang hampir pasti akan gagal. Ibarat kata, mau pergi dari Jakarta ke Bandung, bukannya langsung naik KA Argo Parahyangan dari Gambir, malah naik KA Taksaka ke Yogyakarta, lalu KA Sancaka ke Surabaya, lalu baru naik KA Turangga ke Bandung. Kelas Panoramic pula. Ya sampai, sih, cuma muter dulu, mahal, dan gagal sampai ke acara nikahan gebetan zaman SMA yang nikah sama teman kampusnya tepat waktu. Buat apa?

 

0 komentar:

Posting Komentar