Senin, 18 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 8: Apakah PLTN Mahal?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Namanya PLTN biasanya tidak lepas dari isu-isu aneh. Salah satu yang sering diangkat adalah isu bahwa PLTN itu mahal. Bahwa membangun PLTN itu modalnya besar sekali, risiko finansialnya tinggi. Nanti malah jadi beban keuangan negara, dan sebagainya. Lalu bawa-bawa contoh kejadian di negara-negara lain, macam di Finlandia dan Inggris, seolah-olah hal yang sama akan tejadi di seluruh dunia.

Sebenarnya kenapa PLTN bisa dikira mahal? Atau memang sungguh-sungguh mahal?

Well, jawabannya agak kompleks.

Pertama, dari segi realita, memang betul belakangan ini pembangunan PLTN tidak selalu murah. Kadang mahal, khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara. Kenapa? Kesalahan utama ada di vendor PLTN tersebut.

Di dunia ini, tidak banyak vendor PLTN komersial. Setidaknya, yang aktif dalam proyek pembangunan PLTN di dunia saat ini ada Westinghouse-Toshiba (AS-Jepang), General Electric-Hitachi (AS-Jepang), Korean Electric Power Corporation/KEPCO (Korea Selatan), Framatome (Prancis), Rosatom (Rusia), dan Chinese National Nuclear Corporation/CNNC (Cina). Dari seluruh pemain ini, CNNC lebih fokus di pasar domestik Cina, karena ekspansi PLTN mereka sedang jor-joran. Berarti sisanya tinggal Westinghouse, GE-Hitachi, KEPCO, Framatome, dan Rosatom, yang masih intens di sektor ekspor.

Dari seluruh vendor tersebut, hanya KEPCO dan Rosatom yang terbukti bisa membangun PLTN secara on time dan on budget (CNNC juga, kalau bicara soal pasar dalam negeri Cina). Kenapa? Karena dua hal: standardisasi dan repetisi. Standardisasi, karena mereka menggunakan teknologi yang hampir plek sama antara satu proyek dengan proyek lain. Jadi tidak perlu penyesuaian desain terlalu banyak yang bikin boros waktu dan dana. Repetisi dari berbagai proyek dengan desain yang sama, membuat mereka memiliki pengalaman yang cukup tentang bagaimana mengeksekusi proyek pembangunan dengan efektif dan efisien. Hal ini didukung bahwa KEPCO dan Rosatom (serta CNNC) memiliki proyek pembangunan yang berkelanjutan, baik di negara asalnya maupun di luar negeri.

Beda kasus dengan Westinghouse, GE-Hitachi, dan Framatome. Ketiga vendor ini, pasca terjadinya kecelakaan Chernobyl, vakum selama puluhan tahun dalam pembangunan PLTN. Selain itu, mereka juga tidak punya desain terstandardisasi, berubah-ubah terus. Imbasnya, ketika diberi beban proyek pembangunan, mereka jadi kebingungan, kesulitan, sehingga tidak berhasil mengeksekusinya secara on time dan on budget.

Nah, proyek-proyek bermasalah di Eropa Barat dan Amerika Utara itu sumbernya dari vendor-vendor ini. Mereka terus riset, mengembangkan desain, tetapi mata rantai industrinya menghilang, kepakaran dan pengalamannya menyusut drastis, dan desain yang dikembangkan itu berubah-ubah terus. Kalau begini ceritanya, mau bagaimana bisa membangun PLTN secara baik dan benar?

Jadi, mahalnya (sebagian) proyek PLTN ini biang keroknya memang dari vendor yang inkompeten. Solusinya? Jauhi mereka kalau mau bangun PLTN. Pilih yang jelas teruji performanya.

Kedua, dari aspek regulasi. Bernard Cohen menyebut masalah dalam regulasi nuklir ini sebagai regulatory ratcheting. Regulasi yang makin ketat dan terus menerus mengetat, tapi tidak pernah melonggar. Biasanya regulasi yang mengetat itu ada benefitnya dalam pelaksanaan proyek, entah itu menjamin keselamatan yang lebih baik atau efisiensi sistem atau apalah. Tapi khusus dalam regulasi nuklir, regulatory ratcheting tidak terbukti ada benefitnya selain membuat sistem PLTN tambah mahal. Standar keselamatan diperketat, skenario kecelakaan dibuat tambah banyak (bahkan yang mustahil terjadi sekalipun tetap dimasukkan dalam skenario, seperti skenario double guillotine end break), material harus terstandardisasi khusus yang bikin jadi lebih mahal (meski dampaknya ke keselamatan tidak terlalu signifikan), dsb.

Akibatnya, pembangunan PLTN yang dulunya (tahun 1960-1970an) setara dengan PLTU batubara, sekarang jadi tambah mahal. Apakah kemudian keselamatan PLTN jadi membaik? Tidak juga. Toh sejak awal tidak ada yang tewas juga dalam kecelakaan PLTN kecuali dalam kasus Chernobyl, yang notabene kasus khusus yang tidak ada di luar Uni Soviet.

Pengetatan regulasi, termasuk standar dosis radiasi yang kelewat konservatif, hanya membuat PLTN tambah mahal tapi tidak membuat jaminan keselamatan jadi lebih baik.

Ketiga, dilihat dari segi komparatif. Mahal tidaknya PLTN itu tidak bisa ditentukan kalau tidak ada pembandingnya. Pertanyaannya, seberapa mahal PLTN kalau dibandingkan dengan pembangkit listrik lain?

Dalam instalasi pembangkit daya, ada tiga hal yang diperhitungkan sebagai komponen biaya, yaitu capital cost (biaya modal), operation and maintenance/O&M (biaya operasi dan perawatan), dan fuel cost (biaya bahan bakar). Untuk PLTN, biasanya ada komponen tambahan yakni untuk pengelolaan bahan bakar bekas. Walau demikian, utamanya ya tiga itu. Nah, harga luaran listrik, atau biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik, adalah penjumlahan seluruh komponen tersebut.

Bagaimaan BPP listrik PLTN dibandingkan sumber energi lain? Coba kita simulasikan.

Untuk fuel cost, jelas bahwa nuklir punya keunggulan telak di sini dibandingkan PLTU batubara maupun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Kandungan energi nuklir yang jutaan kali lebih besar dari energi fosil cukup untuk membuat biaya bahan bakarnya murah. Bahkan ketika harga uranium sedang agak-agak naik.

Saat ini, harga uranium alam (dalam bentuk U3O8) berkisar USD 200/kg. Dengan biaya konversi USD 57/kg, biaya separative work unit (SWU) USD 163/kg, tail assay 0,2%, dan pengayaan uranium 4,65%, maka harga uranium siap pakai jadi sekitar USD 4800/kg, atau Rp 72 juta/kg. Kalau bahan bakar ini dipakai hingga mencapai derajat bakar 65 GWd/ton uranium, maka fuel cost menjadi USD 0,878 sen/kWh, atau sekitar Rp. 131/kWh (asumsi kurs USD 1 = Rp. 15.000).

Sebagai perbandingan, harga acuan batubara tertinggi (26 MJ/kg) per Februari 2024 adalah USD 124,95/ton. Jika efisiensi termal PLTU adalah 44%, maka fuel cost PLTU adalah USD 3,93 sen/kWh atau Rp. 589,8/kWh. Hampir 4 × lebih mahal.  Sementara, harga gas alam ditetapan sebesar USD 6/MBTU. Jika digunakan PLTG Uap (PLTGU) dengan efisiensi termal mencapai 60%, maka biaya bahan bakarnya menjadi USD 3,44 sen/kWh, atau sekitar Rp. 516/kWh. Sekitar 3 × lebih mahal.

Energi bayu (angin) dan surya (matahari) tidak memerlukan bahan bakar, jadi tidak ada fuel cost yang bisa dimasukkan di sini.

Untuk O&M, biasanya tidak beda jauh, jadi dipukul rata saja sebesar USD 1 sen/kWh.

Untuk capital cost, ini agak rumit. Karena normalnya pembangunan pembangkit listrik dalam iklim kapitalisme neoliberal akan dan harus melibatkan pendanaan dari bank. Artinya, ada bunga yang mesti dibayarkan. Ini membuat estimasi biaya balik modal jadi agak rumit, dan estimasi bisa berbeda-beda. Demi keadilan bagi seluruh sumber daya energi, maka kalkulasi capital cost harus diberlakukan pada medan pertarungan yang adil (di dunia nyata terjadi ketidakadilan dalam bentuk diskriminasi insentif finansial terhadap PLTN).

Ya, bunga memang haram. Tapi karena itu skema finansial yang dipakai di sektor energi saat ini, tetap mesti dihitung bahwa ada bunga pinjaman untuk modal pembangunan pembangkit listrik. Di sini anggap saja 5% per tahun.

Ambil kasus PLTN Rooppur yang sedang dibangun di Bangladesh, menggunakan teknologi Rusia, VVER-1200. Nilai overnight cost Rooppur sebesar USD 5271/kW. Artinya, untuk tiap 1 kW daya terpasang, butuh biaya sebesar USD 5271, atau Rp 79 juta. PLTN ini bisa beroperasi selama 60 tahun. Sementara, PLTU batubara, PLTGU, PLT Surya (PLTS), dan PLT Bayu (PLTB) menggunakan data PLTU Cirebon 2, PLTGU Jawa 1, PLTS Cirata, dan PLTB Sidrap. Masing-masing memiliki overnight cost USD 2000/kW, USD 1023/kW, USD USD 755/kW, dan USD 2160/kW. Tanpa memikirkan soal penalti dampak lingkungan, serta dengan asumsi umur operasi masing-masing 40, 40, 20, dan 20 tahun, maka hasilnya kira-kira sebagai berikut.

-          PLTN: USD 5,4 sen/kWh atau Rp. 809,4 per kWh

-          PLTU: USD 6,58 sen/kWh atau Rp. 987,3 per kWh

-          PLTGU: USD 5,29 sen/kWh atau Rp. 792,9 per kWh

-          PLTS: USD 5,26 sen/kWh atau Rp. 789,3 per kWh

-          PLTB: USD 7,5 sen/kWh atau Rp. 1.125,2 per kWh

Bahkan dengan overnight cost PLTN yang berkali lipat lebih mahal, BPP listriknya masih comparable dengan pembangkit listrik lain. Bahkan tidak jauh berbeda dengan PLTS Terapung Cirata. Kenapa bisa?

Pertama, karena umur pakai PLTN itu sangat panjang, 60 tahun. Bahkan bisa diperpanjang menjadi 80 hingga 100 tahun kalau komponennya masih kinclong. Kedua, karena PLTN bisa beroperasi secara kontinu tanpa interupsi dalam waktu sangat panjang. Sebagai gambaran, PLTN Generasi Z—maksudnya, generasi terbaru, membutuhkan penggantian bahan bakar dalam rentang 1,5-2 tahun sekali. Beda dengan PLTS dan PLTB yang cuma beroperasi hanya ketika matahari bersinar dan angin bertiup. Jadi walau overnight cost lebih murah, waktu produksi listriknya juga lebih pendek, sehingga total energi yang dibangkitkan jadi jauh lebih sedikit pula. Beban finansialnya jadi memberat.

Padahal itu pakai contoh PLTN di Bangladesh yang harganya di-markup oleh Rosatom karena 90% pembiayaan dari mereka. Coba bandingkan dengan PLTN Barakah di Uni Emirat Arab yang pakai teknologi APR-1400 buatan KEPCO, dengan biaya sedikit lebih rendah, yakni USD 4357/kW. BPP listrik jadi USD 4,8 sen/kWh atau Rp. 717,9/kWh. Lebih murah daripada PLTS Cirata.

Dengan capital cost yang kelewat tinggi secara abnormal saja, PLTN masih comparable bahkan lebih murah dari moda pembangkit listrik lain. Apalagi kalau capital cost berhasil ditekan.

PLTN Generasi IV semacam reaktor lelehan garam (molten salt reactor/MSR) memiliki desain yang lebih sederhana dan lebih mudah dibangun daripada PWR konvensional, maka overnight cost-nya, secara teoretis, juga lebih rendah. Semisal bisa ditekan menjadi USD 2400/kW, maka BPP listrik PLTN tinggal jadi USD 3,17 sen/kWh atau Rp. 475,5/kWh. Kurang dari setengah pembangkit lain!

Ringkasnya, PLTN itu bisa mahal kalau salah pilih vendor dan regulasinya irasional. Tapi kalau vendornya tepat dan regulasi masuk akal, BPP listriknya comparable bahkan lebih murah daripada pembangkit listrik lain. PLTN memang lebih mahal ketika dibangun, tapi lebih murah untuk dioperasikan, dan bisa bertahan setidaknya 3-4 generasi sampai kemudian jadi artefak.

Tapi, apakah murah itu berkorelasi dengan selamat? Apakah karena bisa murah, PLTN itu jadi bahaya?

0 komentar:

Posting Komentar