Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Namanya
PLTN biasanya tidak lepas dari isu-isu aneh. Salah satu yang sering diangkat
adalah isu bahwa PLTN itu mahal. Bahwa membangun PLTN itu modalnya besar
sekali, risiko finansialnya tinggi. Nanti malah jadi beban keuangan negara, dan
sebagainya. Lalu bawa-bawa contoh kejadian di negara-negara lain, macam di
Finlandia dan Inggris, seolah-olah hal yang sama akan tejadi di seluruh dunia.
Sebenarnya
kenapa PLTN bisa dikira mahal? Atau memang sungguh-sungguh mahal?
Well,
jawabannya agak kompleks.
Pertama,
dari segi realita, memang betul belakangan ini pembangunan PLTN tidak selalu
murah. Kadang mahal, khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara. Kenapa?
Kesalahan utama ada di vendor PLTN tersebut.
Di dunia
ini, tidak banyak vendor PLTN komersial. Setidaknya, yang aktif dalam proyek
pembangunan PLTN di dunia saat ini ada Westinghouse-Toshiba (AS-Jepang),
General Electric-Hitachi (AS-Jepang), Korean Electric Power Corporation/KEPCO
(Korea Selatan), Framatome (Prancis), Rosatom (Rusia), dan Chinese National
Nuclear Corporation/CNNC (Cina). Dari seluruh pemain ini, CNNC lebih fokus di
pasar domestik Cina, karena ekspansi PLTN mereka sedang jor-joran. Berarti
sisanya tinggal Westinghouse, GE-Hitachi, KEPCO, Framatome, dan Rosatom, yang
masih intens di sektor ekspor.
Dari
seluruh vendor tersebut, hanya KEPCO dan Rosatom yang terbukti bisa membangun
PLTN secara on time dan on budget (CNNC juga, kalau bicara soal
pasar dalam negeri Cina). Kenapa? Karena dua hal: standardisasi dan repetisi.
Standardisasi, karena mereka menggunakan teknologi yang hampir plek sama
antara satu proyek dengan proyek lain. Jadi tidak perlu penyesuaian desain
terlalu banyak yang bikin boros waktu dan dana. Repetisi dari berbagai proyek
dengan desain yang sama, membuat mereka memiliki pengalaman yang cukup tentang
bagaimana mengeksekusi proyek pembangunan dengan efektif dan efisien. Hal ini
didukung bahwa KEPCO dan Rosatom (serta CNNC) memiliki proyek pembangunan yang
berkelanjutan, baik di negara asalnya maupun di luar negeri.
Beda kasus
dengan Westinghouse, GE-Hitachi, dan Framatome. Ketiga vendor ini, pasca
terjadinya kecelakaan Chernobyl, vakum selama puluhan tahun dalam pembangunan
PLTN. Selain itu, mereka juga tidak punya desain terstandardisasi, berubah-ubah
terus. Imbasnya, ketika diberi beban proyek pembangunan, mereka jadi
kebingungan, kesulitan, sehingga tidak berhasil mengeksekusinya secara on
time dan on budget.
Nah,
proyek-proyek bermasalah di Eropa Barat dan Amerika Utara itu sumbernya dari
vendor-vendor ini. Mereka terus riset, mengembangkan desain, tetapi mata rantai
industrinya menghilang, kepakaran dan pengalamannya menyusut drastis, dan
desain yang dikembangkan itu berubah-ubah terus. Kalau begini ceritanya, mau
bagaimana bisa membangun PLTN secara baik dan benar?
Jadi,
mahalnya (sebagian) proyek PLTN ini biang keroknya memang dari vendor yang
inkompeten. Solusinya? Jauhi mereka kalau mau bangun PLTN. Pilih yang jelas
teruji performanya.
Kedua, dari
aspek regulasi. Bernard Cohen menyebut masalah dalam regulasi nuklir ini
sebagai regulatory ratcheting. Regulasi yang makin ketat dan terus
menerus mengetat, tapi tidak pernah melonggar. Biasanya regulasi yang mengetat
itu ada benefitnya dalam pelaksanaan proyek, entah itu menjamin keselamatan
yang lebih baik atau efisiensi sistem atau apalah. Tapi khusus dalam regulasi
nuklir, regulatory ratcheting tidak terbukti ada benefitnya selain
membuat sistem PLTN tambah mahal. Standar keselamatan diperketat, skenario
kecelakaan dibuat tambah banyak (bahkan yang mustahil terjadi sekalipun tetap
dimasukkan dalam skenario, seperti skenario double guillotine end break),
material harus terstandardisasi khusus yang bikin jadi lebih mahal (meski
dampaknya ke keselamatan tidak terlalu signifikan), dsb.
Akibatnya,
pembangunan PLTN yang dulunya (tahun 1960-1970an) setara dengan PLTU batubara,
sekarang jadi tambah mahal. Apakah kemudian keselamatan PLTN jadi membaik?
Tidak juga. Toh sejak awal tidak ada yang tewas juga dalam kecelakaan PLTN
kecuali dalam kasus Chernobyl, yang notabene kasus khusus yang tidak ada di
luar Uni Soviet.
Pengetatan
regulasi, termasuk standar dosis radiasi yang kelewat konservatif, hanya
membuat PLTN tambah mahal tapi tidak membuat jaminan keselamatan jadi lebih
baik.
Ketiga,
dilihat dari segi komparatif. Mahal tidaknya PLTN itu tidak bisa ditentukan
kalau tidak ada pembandingnya. Pertanyaannya, seberapa mahal PLTN kalau
dibandingkan dengan pembangkit listrik lain?
Dalam
instalasi pembangkit daya, ada tiga hal yang diperhitungkan sebagai komponen
biaya, yaitu capital cost (biaya
modal), operation and maintenance/O&M (biaya operasi dan
perawatan), dan fuel cost (biaya
bahan bakar). Untuk PLTN, biasanya ada komponen tambahan yakni untuk
pengelolaan bahan bakar bekas. Walau demikian, utamanya ya tiga itu. Nah, harga
luaran listrik, atau biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik, adalah penjumlahan
seluruh komponen tersebut.
Bagaimaan
BPP listrik PLTN dibandingkan sumber energi lain? Coba kita simulasikan.
Untuk fuel
cost, jelas bahwa nuklir punya keunggulan telak di sini dibandingkan PLTU
batubara maupun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Kandungan energi nuklir
yang jutaan kali lebih besar dari energi fosil cukup untuk membuat biaya bahan
bakarnya murah. Bahkan ketika harga uranium sedang agak-agak naik.
Saat ini,
harga uranium alam (dalam bentuk U3O8) berkisar USD
200/kg. Dengan biaya konversi USD 57/kg, biaya separative work unit (SWU)
USD 163/kg, tail assay 0,2%, dan pengayaan uranium 4,65%, maka harga
uranium siap pakai jadi sekitar USD 4800/kg, atau Rp 72 juta/kg. Kalau bahan
bakar ini dipakai hingga mencapai derajat bakar 65 GWd/ton uranium, maka fuel
cost menjadi USD 0,878 sen/kWh, atau sekitar Rp. 131/kWh (asumsi kurs USD 1
= Rp. 15.000).
Sebagai
perbandingan, harga acuan batubara tertinggi (26 MJ/kg) per Februari 2024
adalah USD 124,95/ton. Jika efisiensi termal PLTU adalah 44%, maka fuel cost
PLTU adalah USD 3,93 sen/kWh atau Rp. 589,8/kWh. Hampir 4 × lebih
mahal. Sementara, harga gas alam
ditetapan sebesar USD 6/MBTU. Jika digunakan PLTG Uap (PLTGU) dengan efisiensi
termal mencapai 60%, maka biaya bahan bakarnya menjadi USD 3,44 sen/kWh, atau
sekitar Rp. 516/kWh. Sekitar 3 × lebih mahal.
Energi
bayu (angin) dan surya (matahari) tidak memerlukan bahan bakar, jadi tidak ada fuel
cost yang bisa dimasukkan di sini.
Untuk
O&M, biasanya tidak beda jauh, jadi dipukul rata saja sebesar USD 1
sen/kWh.
Untuk capital
cost, ini agak rumit. Karena normalnya pembangunan pembangkit listrik dalam
iklim kapitalisme neoliberal akan dan harus melibatkan pendanaan dari bank.
Artinya, ada bunga yang mesti dibayarkan. Ini membuat estimasi biaya balik
modal jadi agak rumit, dan estimasi bisa berbeda-beda. Demi keadilan bagi
seluruh sumber daya energi, maka kalkulasi capital cost harus
diberlakukan pada medan pertarungan yang adil (di dunia nyata terjadi
ketidakadilan dalam bentuk diskriminasi insentif finansial terhadap PLTN).
Ya, bunga memang
haram. Tapi karena itu skema finansial yang dipakai di sektor energi saat ini, tetap
mesti dihitung bahwa ada bunga pinjaman untuk modal pembangunan pembangkit
listrik. Di sini anggap saja 5% per tahun.
Ambil
kasus PLTN Rooppur yang sedang dibangun di Bangladesh, menggunakan teknologi
Rusia, VVER-1200. Nilai overnight cost Rooppur sebesar USD 5271/kW.
Artinya, untuk tiap 1 kW daya terpasang, butuh biaya sebesar USD 5271, atau Rp
79 juta. PLTN ini bisa beroperasi selama 60 tahun. Sementara, PLTU batubara,
PLTGU, PLT Surya (PLTS), dan PLT Bayu (PLTB) menggunakan data PLTU Cirebon 2,
PLTGU Jawa 1, PLTS Cirata, dan PLTB Sidrap. Masing-masing memiliki overnight
cost USD 2000/kW, USD 1023/kW, USD USD 755/kW, dan USD 2160/kW. Tanpa
memikirkan soal penalti dampak lingkungan, serta dengan asumsi umur operasi
masing-masing 40, 40, 20, dan 20 tahun, maka hasilnya kira-kira sebagai
berikut.
-
PLTN: USD 5,4
sen/kWh atau Rp. 809,4 per kWh
-
PLTU: USD
6,58 sen/kWh atau Rp. 987,3 per kWh
-
PLTGU: USD
5,29 sen/kWh atau Rp. 792,9 per kWh
-
PLTS: USD
5,26 sen/kWh atau Rp. 789,3 per kWh
-
PLTB: USD
7,5 sen/kWh atau Rp. 1.125,2 per kWh
Bahkan
dengan overnight cost PLTN yang berkali lipat lebih mahal, BPP
listriknya masih comparable dengan pembangkit listrik lain. Bahkan tidak
jauh berbeda dengan PLTS Terapung Cirata. Kenapa bisa?
Pertama,
karena umur pakai PLTN itu sangat panjang, 60 tahun. Bahkan bisa diperpanjang
menjadi 80 hingga 100 tahun kalau komponennya masih kinclong. Kedua, karena
PLTN bisa beroperasi secara kontinu tanpa interupsi dalam waktu sangat
panjang. Sebagai gambaran, PLTN Generasi Z—maksudnya, generasi terbaru,
membutuhkan penggantian bahan bakar dalam rentang 1,5-2 tahun sekali. Beda
dengan PLTS dan PLTB yang cuma beroperasi hanya ketika matahari bersinar dan
angin bertiup. Jadi walau overnight cost lebih murah, waktu produksi
listriknya juga lebih pendek, sehingga total energi yang dibangkitkan jadi jauh
lebih sedikit pula. Beban finansialnya jadi memberat.
Padahal
itu pakai contoh PLTN di Bangladesh yang harganya di-markup oleh Rosatom
karena 90% pembiayaan dari mereka. Coba bandingkan dengan PLTN Barakah di Uni
Emirat Arab yang pakai teknologi APR-1400 buatan KEPCO, dengan biaya sedikit
lebih rendah, yakni USD 4357/kW. BPP listrik jadi USD 4,8 sen/kWh atau Rp.
717,9/kWh. Lebih murah daripada PLTS Cirata.
Dengan capital
cost yang kelewat tinggi secara abnormal saja, PLTN masih comparable bahkan
lebih murah dari moda pembangkit listrik lain. Apalagi kalau capital cost berhasil
ditekan.
PLTN
Generasi IV semacam reaktor lelehan garam (molten salt reactor/MSR)
memiliki desain yang lebih sederhana dan lebih mudah dibangun daripada PWR
konvensional, maka overnight cost-nya, secara teoretis, juga lebih
rendah. Semisal bisa ditekan menjadi USD 2400/kW, maka BPP listrik PLTN tinggal
jadi USD 3,17 sen/kWh atau Rp. 475,5/kWh. Kurang dari setengah pembangkit lain!
Ringkasnya,
PLTN itu bisa mahal kalau salah pilih vendor dan regulasinya irasional. Tapi
kalau vendornya tepat dan regulasi masuk akal, BPP listriknya comparable bahkan
lebih murah daripada pembangkit listrik lain. PLTN memang lebih mahal ketika
dibangun, tapi lebih murah untuk dioperasikan, dan bisa bertahan setidaknya 3-4
generasi sampai kemudian jadi artefak.
Tapi, apakah murah itu berkorelasi dengan selamat? Apakah karena bisa murah, PLTN itu jadi bahaya?
0 komentar:
Posting Komentar