Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Di Bumi, ada dua
bahan bakar nuklir yang bisa digunakan sebagai bahan baku pembangkitan energi
nuklir, yakni thorium dan uranium. Kelimpahan thorium di alam lebih besar
daripada uranium, meski distribusinya juga agak-agak berbeda. Kita juga tahu
bahwa energi nuklir butuh bahan bakar jauh lebih sedikit daripada bahan bakar
fosil, karena energi yang dilepaskan jutaan kali lebih tinggi. Tapi apakah
semua itu berkonsekuensi pada bahan bakar nuklir punya umur pakai lebih panjang
daripada energi fosil? Atau jangan-jangan walau energi yang dilepaskan lebih
besar, tetapi umur pakainya lebih pendek karena ketersediaan uranium dan
thorium di alam tidak sebanyak itu?
Kalau kita
bicara cadangan bahan bakar yang teridentifikasi saat ini, maka ya, uranium dan
thorium memang jauh lebih sedikit daripada energi fosil. Cadangan uranium dunia
per tahun 2017, dari data OECD-NEA, sebesar 8 juta ton. Sementara, thorium
sekitar 6,4 juta ton. Thorium terlihat lebih sedikit karena saat ini tidak ada
nilai komersialnya, jadi tidak ada urgensi untuk memetakan sumber daya thorium
secara rinci. Sebagai perbandingan, cadangan batubara Indonesia yang terverifikasi
saja mencapai 38,84 miliar ton (data 2021).
Semisal seluruh
dunia menggunakan energi nuklir sebagai sumber energinya, berapa lama energi
nuklir bisa bertahan?
Jawabannya adalah
tergantung pada skema penggunaan bahan bakar yang diadopsi, apakah pakai sekali
pakai buang atau daur ulang. Daur sekali pakai buang, berarti setelah bahan
bakar dipakai di PLTN, langsung dibuang saja, tidak didaur ulang, menyia-nyiakan
99,5% potensi yang tersisa di dalamnya. Pada skema daur ulang, bahan bakar
setelah dipakai diolah lagi untuk digunakan ulang di dalam PLTN, setelah
sebelumnya membuang limbah-limbah tidak berguna yang kemaruk dalam menyedot netron.
Dari sini saja, logikanya, tidak masuk akal untuk pakai skema sekali pakai
buang, karena namanya buang-buang sumber daya yang masih sangat-sangat berguna.
Lebih masuk akal pakai skema daur ulang. Namun, untuk sekadar perbandingan,
kita masukkan juga skenario daur sekali pakai buang. Skema ini cuma bisa
menggunakan uranium, karena thorium tidak punya isotop fisil. Data yang dipakai
adalah data OECD-NEA di atas.
Untuk pakai
skema daur ulang bahan bakar, kita tidak bisa menggunakan Reaktor Berpendingin Air,
karena memang tidak didesain untuk didaur ulang secara berkelanjutan, khususnya
ketika menggunakan uranium sebagai bahan bakar. Maka, kita butuh reaktor jenis
lain, yakni Reaktor Berpendingin Logam (SFR dan LFR) serta Reaktor Berpendingin
Garam (MSR).
Pada tahun 2022,
seluruh dunia mengonsumsi energi sekitar 178.899 TWh, atau 178.899 triliun kWh.
Mayoritas berbentuk energi fosil, yakni migas dan batubara. Jika diganti semua
dengan nuklir, maka butuh peningkatan kapasitas pembangkitan energi yang sangat
drastis. Apakah industrinya siap atau tidak, itu urusan lain lagi. Di sini kita
fokus ke ketahanan bahan bakarnya.
Untuk uranium-238,
kandungan energinya mencapai 80.620.000 megajoule (MJ) per kg, karena transmutasi
menjadi plutonium-239. Kalau thorium, kandungan energinya 79.420.000 MJ per kg,
karena berubah menjadi uranium-233. Pakai skema daur ulang bahan bakar, kita
asumsikan seluruh energi tersebut bisa terekstrak, dan 100% uranium dan thorium
bisa digali dari tanah untuk digunakan. Kita asumsikan yang dipakai hanya
uranium, hanya thorium, dan uranium+thorium dengan perbandingan 50:50. Kalau skema
sekali pakai buang, 100% uranium diekstrak dan dibuang hanya setelah 0,5%
potensinya terpakai. Hanya uranium yang bisa dipakai.
Berapa hasilnya?
Untuk daur sekali
pakai buang, kebutuhan uranium tahunan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia
mencapai 1,597 juta ton uranium. Dengan begini, dalam 4,38 tahun, seluruh cadangan
uranium akan habis tidak bersisa. Kesimpulannya, jika menggunakan skema ini, bahan
bakar nuklir memang tidak akan berkelanjutan sama sekali. Tidak efisien,
buang-buang sumber daya, tidak akan bisa bertahan lama.
Itulah kenapa
pengembangan teknologi PLTN harus mengalami revolusi, dari Reaktor Berpendingin
Air dengan daur bahan bakar sekali pakai buang menjadi Reaktor Berpendingin Lain
yang bisa menerapkan daur ulang bahan bakar.
Untuk skema daur
ulang bahan bakar, maka skenarionya adalah sebagai berikut.
-
Untuk uranium
saja, maka dibutuhkan 7.988 ton uranium per tahun, dengan ketahanan uranium
mencapai 876 tahun.
-
Untuk thorium
saja, maka dibutuhkan 8.109 ton thorium per tahun, dengan ketahanan thorium
mencapai 793.8 tahun.
-
Untuk uranium
+ thorium, maka dibutuhkan 8.048 ton uranium + thorium per tahun, dengan ketahanan
total mencapai 1.669,3 tahun.
Bahkan tanpa
perlu mencari sumber daya uranium dan thorium baru, seluruh cadangan uranium
dan thorium dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dunia selama lebih dari
satu milenium ke depan!
Tapi kuncinya
sekali lagi: daur ulang bahan bakar menggunakan PLTN Generasi IV (lihat Bagian
12) seperti SFR, LFR, dan MSR. Ketiga jenis reaktor ini memungkinkan untuk mendaur
ulang bahan bakar dan dipakai lagi di reaktor nuklir secara berulang, sampai
99% potensinya diekstrak.
Kalau uranium
dan thorium yang belum tereksplor bisa ditemukan lagi, maka ketahanannya bisa diperpanjang
hingga ribuan tahun ke depan. Belum lagi kalau ditambah uranium dari air laut,
yang secara praktis bisa membuat ketahanan energi nuklir berlangsung sampai
matahari menelan bumi. Itu kalau manusia belum punah. Atau belum zaman es baru.
Atau belum kiamat.
Ringkasnya,
menggunakan teknologi PLTN yang tepat dan skema daur ulang bahan bakar, energi
nuklir bisa bertahan sangat lama.
Bagaimana di
Indonesia?
Potensi uranium
dan thorium di Indonesia tidak terlalu mengesankan. Yang sudah terdeteksi
sejauh ini 81 ribu ton uranium dan 140 ribu ton thorium. Tidak jelas dari
sumber daya ini berapa banyak yang bisa diekstrak, tapi anggap saja semua bisa
kita ambil dari dalam tanah. Jika digunakan untuk pembangkitan energi
Indonesia, berapa lama SDA lokal ini bisa bertahan?
Proyeksi dari
Rencana Umum Energi Nasional pada PP No. 22 Tahun 2017 (belum ada PP baru soal
ini, semua masih dalam bentuk presentasi dan tidak resmi) mengestimasikan bahwa
konsumsi batubara dan gas alam pada tahun 2050 sebesar 5.801,4 TWh, hampir
setengah dari konsumsi energi total. Dengan adanya program Net Zero Emission
(NZE), tentu saja semua batubara dan gas alam ini mesti dieliminasi. Bagaimana kalau
kita mengganti keduanya dengan nuklir saja?
Coba kita uji
dalam dua skenario, yakni mengganti batubara saja dan mengganti batubara + gas
alam. Berapa lama sumber daya nuklir di Indonesia bisa bertahan?
Melihat dari
perbandingan potensi uranium dan thorium, maka perbandingannya kita buat 37:63.
Dari situ, kalau nuklir hanya mengganti batubara saja, maka uranium bisa
bertahan selama 666,2 tahun dan thorium bisa bertahan 693,3 tahun. Sementara,
kalau menggantikan gas dan batubara sekaligus, maka uranium bisa bertahan
selama 341,8 tahun dan thorium selama 355,7 tahun. Sebagai perbandingan, jika
batubara dan gas dikonsumsi dengan luaran energi setara, ketahanannya akan
kurang dari 50 tahun sebelum habis tak bersisa.
Sekali lagi, ini
belum memperhitungkan potensi uranium dan thorium lain yang belum terdeteksi, serta
uranium dari laut Indonesia yang notabene cukup luas.
Kesimpulannya, konsumsi bahan bakar nuklir memang sangat sedikit sekali dibandingkan pembangkit energi lain. Namun, apakah SDA nuklir bisa bertahan lama tergantung pada skema daur bahan bakar yang diadopsi. Kalau pakai skema sekali pakai buang, ya cepat habislah itu. Mubadzir. Tapi kalau pakai skema daur ulang bahan bakar, sampai kiamat pun bahan bakarnya masih ada sisa.
0 komentar:
Posting Komentar