Minggu, 24 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 14: Bahan Bakar Nuklir Tahan Berapa Lama?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Di Bumi, ada dua bahan bakar nuklir yang bisa digunakan sebagai bahan baku pembangkitan energi nuklir, yakni thorium dan uranium. Kelimpahan thorium di alam lebih besar daripada uranium, meski distribusinya juga agak-agak berbeda. Kita juga tahu bahwa energi nuklir butuh bahan bakar jauh lebih sedikit daripada bahan bakar fosil, karena energi yang dilepaskan jutaan kali lebih tinggi. Tapi apakah semua itu berkonsekuensi pada bahan bakar nuklir punya umur pakai lebih panjang daripada energi fosil? Atau jangan-jangan walau energi yang dilepaskan lebih besar, tetapi umur pakainya lebih pendek karena ketersediaan uranium dan thorium di alam tidak sebanyak itu?

Kalau kita bicara cadangan bahan bakar yang teridentifikasi saat ini, maka ya, uranium dan thorium memang jauh lebih sedikit daripada energi fosil. Cadangan uranium dunia per tahun 2017, dari data OECD-NEA, sebesar 8 juta ton. Sementara, thorium sekitar 6,4 juta ton. Thorium terlihat lebih sedikit karena saat ini tidak ada nilai komersialnya, jadi tidak ada urgensi untuk memetakan sumber daya thorium secara rinci. Sebagai perbandingan, cadangan batubara Indonesia yang terverifikasi saja mencapai 38,84 miliar ton (data 2021).

Semisal seluruh dunia menggunakan energi nuklir sebagai sumber energinya, berapa lama energi nuklir bisa bertahan?

Jawabannya adalah tergantung pada skema penggunaan bahan bakar yang diadopsi, apakah pakai sekali pakai buang atau daur ulang. Daur sekali pakai buang, berarti setelah bahan bakar dipakai di PLTN, langsung dibuang saja, tidak didaur ulang, menyia-nyiakan 99,5% potensi yang tersisa di dalamnya. Pada skema daur ulang, bahan bakar setelah dipakai diolah lagi untuk digunakan ulang di dalam PLTN, setelah sebelumnya membuang limbah-limbah tidak berguna yang kemaruk dalam menyedot netron. Dari sini saja, logikanya, tidak masuk akal untuk pakai skema sekali pakai buang, karena namanya buang-buang sumber daya yang masih sangat-sangat berguna. Lebih masuk akal pakai skema daur ulang. Namun, untuk sekadar perbandingan, kita masukkan juga skenario daur sekali pakai buang. Skema ini cuma bisa menggunakan uranium, karena thorium tidak punya isotop fisil. Data yang dipakai adalah data OECD-NEA di atas.

Untuk pakai skema daur ulang bahan bakar, kita tidak bisa menggunakan Reaktor Berpendingin Air, karena memang tidak didesain untuk didaur ulang secara berkelanjutan, khususnya ketika menggunakan uranium sebagai bahan bakar. Maka, kita butuh reaktor jenis lain, yakni Reaktor Berpendingin Logam (SFR dan LFR) serta Reaktor Berpendingin Garam (MSR).

Pada tahun 2022, seluruh dunia mengonsumsi energi sekitar 178.899 TWh, atau 178.899 triliun kWh. Mayoritas berbentuk energi fosil, yakni migas dan batubara. Jika diganti semua dengan nuklir, maka butuh peningkatan kapasitas pembangkitan energi yang sangat drastis. Apakah industrinya siap atau tidak, itu urusan lain lagi. Di sini kita fokus ke ketahanan bahan bakarnya.

Untuk uranium-238, kandungan energinya mencapai 80.620.000 megajoule (MJ) per kg, karena transmutasi menjadi plutonium-239. Kalau thorium, kandungan energinya 79.420.000 MJ per kg, karena berubah menjadi uranium-233. Pakai skema daur ulang bahan bakar, kita asumsikan seluruh energi tersebut bisa terekstrak, dan 100% uranium dan thorium bisa digali dari tanah untuk digunakan. Kita asumsikan yang dipakai hanya uranium, hanya thorium, dan uranium+thorium dengan perbandingan 50:50. Kalau skema sekali pakai buang, 100% uranium diekstrak dan dibuang hanya setelah 0,5% potensinya terpakai. Hanya uranium yang bisa dipakai.

Berapa hasilnya?

Untuk daur sekali pakai buang, kebutuhan uranium tahunan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia mencapai 1,597 juta ton uranium. Dengan begini, dalam 4,38 tahun, seluruh cadangan uranium akan habis tidak bersisa. Kesimpulannya, jika menggunakan skema ini, bahan bakar nuklir memang tidak akan berkelanjutan sama sekali. Tidak efisien, buang-buang sumber daya, tidak akan bisa bertahan lama.

Itulah kenapa pengembangan teknologi PLTN harus mengalami revolusi, dari Reaktor Berpendingin Air dengan daur bahan bakar sekali pakai buang menjadi Reaktor Berpendingin Lain yang bisa menerapkan daur ulang bahan bakar.

Untuk skema daur ulang bahan bakar, maka skenarionya adalah sebagai berikut.

-          Untuk uranium saja, maka dibutuhkan 7.988 ton uranium per tahun, dengan ketahanan uranium mencapai 876 tahun.

-          Untuk thorium saja, maka dibutuhkan 8.109 ton thorium per tahun, dengan ketahanan thorium mencapai 793.8 tahun.

-          Untuk uranium + thorium, maka dibutuhkan 8.048 ton uranium + thorium per tahun, dengan ketahanan total mencapai 1.669,3 tahun.

Bahkan tanpa perlu mencari sumber daya uranium dan thorium baru, seluruh cadangan uranium dan thorium dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dunia selama lebih dari satu milenium ke depan!

Tapi kuncinya sekali lagi: daur ulang bahan bakar menggunakan PLTN Generasi IV (lihat Bagian 12) seperti SFR, LFR, dan MSR. Ketiga jenis reaktor ini memungkinkan untuk mendaur ulang bahan bakar dan dipakai lagi di reaktor nuklir secara berulang, sampai 99% potensinya diekstrak.

Kalau uranium dan thorium yang belum tereksplor bisa ditemukan lagi, maka ketahanannya bisa diperpanjang hingga ribuan tahun ke depan. Belum lagi kalau ditambah uranium dari air laut, yang secara praktis bisa membuat ketahanan energi nuklir berlangsung sampai matahari menelan bumi. Itu kalau manusia belum punah. Atau belum zaman es baru. Atau belum kiamat.

Ringkasnya, menggunakan teknologi PLTN yang tepat dan skema daur ulang bahan bakar, energi nuklir bisa bertahan sangat lama.

Bagaimana di Indonesia?

Potensi uranium dan thorium di Indonesia tidak terlalu mengesankan. Yang sudah terdeteksi sejauh ini 81 ribu ton uranium dan 140 ribu ton thorium. Tidak jelas dari sumber daya ini berapa banyak yang bisa diekstrak, tapi anggap saja semua bisa kita ambil dari dalam tanah. Jika digunakan untuk pembangkitan energi Indonesia, berapa lama SDA lokal ini bisa bertahan?

Proyeksi dari Rencana Umum Energi Nasional pada PP No. 22 Tahun 2017 (belum ada PP baru soal ini, semua masih dalam bentuk presentasi dan tidak resmi) mengestimasikan bahwa konsumsi batubara dan gas alam pada tahun 2050 sebesar 5.801,4 TWh, hampir setengah dari konsumsi energi total. Dengan adanya program Net Zero Emission (NZE), tentu saja semua batubara dan gas alam ini mesti dieliminasi. Bagaimana kalau kita mengganti keduanya dengan nuklir saja?

Coba kita uji dalam dua skenario, yakni mengganti batubara saja dan mengganti batubara + gas alam. Berapa lama sumber daya nuklir di Indonesia bisa bertahan?

Melihat dari perbandingan potensi uranium dan thorium, maka perbandingannya kita buat 37:63. Dari situ, kalau nuklir hanya mengganti batubara saja, maka uranium bisa bertahan selama 666,2 tahun dan thorium bisa bertahan 693,3 tahun. Sementara, kalau menggantikan gas dan batubara sekaligus, maka uranium bisa bertahan selama 341,8 tahun dan thorium selama 355,7 tahun. Sebagai perbandingan, jika batubara dan gas dikonsumsi dengan luaran energi setara, ketahanannya akan kurang dari 50 tahun sebelum habis tak bersisa.

Sekali lagi, ini belum memperhitungkan potensi uranium dan thorium lain yang belum terdeteksi, serta uranium dari laut Indonesia yang notabene cukup luas.

Kesimpulannya, konsumsi bahan bakar nuklir memang sangat sedikit sekali dibandingkan pembangkit energi lain. Namun, apakah SDA nuklir bisa bertahan lama tergantung pada skema daur bahan bakar yang diadopsi. Kalau pakai skema sekali pakai buang, ya cepat habislah itu. Mubadzir. Tapi kalau pakai skema daur ulang bahan bakar, sampai kiamat pun bahan bakarnya masih ada sisa. 

0 komentar:

Posting Komentar