Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Selama ini,
bahan bakar nuklir yang dikenal itu uranium. Diambil dari nama Uranus, titan
dalam mitologi Romawi yang merupakan orangtua dari dewa-dewi Romawi. Bahan bakar
nuklir ini secara praktis digunakan di seluruh PLTN yang ada di dunia. Uranium memiliki
dua isotop di alam (sebenarnya empat, tapi yang dua sangat minor jadi kita
abaikan), yakni uranium-235 dan uranium-238. Uranium-235 adalah satu-satunya bahan
bakar nuklir yang bisa mengalami reaksi fisi yang tersedia secara alami. Kadarnya
kecil, hanya 0,7%. Jadi, uranium-235 ini biasanya dinaikkan dulu kadarnya
menjadi 3-5% supaya bisa dipakai di PLTN. Kecuali di PLTN tipe PHWR dan RBMK,
yang bisa pakai uranium alam.
Dengan terjadinya
kecelakaan Chernobyl dan, lebih khusus lagi, Fukushima Daiichi, sebagian orang
memutuskan bahwa uranium itu agak-agak kurang bagus, karena kebutuhannya banyak
(200 ton per GWe-tahun), menghasilkan limbah transuranik berumur panjang
(katanya sampai jutaan tahun), dan kurang safe. Lalu sebagian orang
tersebut mengusulkan yang namanya “PLTN thorium,” yang dianggap jauh lebih baik
daripada PLTN uranium karena kebutuhan bahan bakarnya jauh lebih sedikit (1 ton
per GWe-tahun), menghasilkan limbah transuranik jauh lebih sedikit, dan sangat safe.
Pokoknya super duper powerful ketimbang PLTN uranium.
Walau kelihatannya
luar biasa, yang dimaksud mereka sebagai “PLTN thorium” itu adalah teknologi
MSR, alias reaktor lelehan garam (lihat Bagian 12). Reaktor ini seringkali diasosiasikan
dengan thorium, karena awal pengembangannya memang ditujukan untuk memanfaatkan
thorium, karena karakter khasnya. Tapi bukan berarti MSR tidak bisa pakai uranium,
dan bukan berarti PLTN jenis lain tidak bisa pakai thorium. Ada kesalahpahaman
yang cukup fatal dalam memahami thorium di sini.
Jadi, sebenarnya
thorium itu benda macam apa?
Thorium adalah
bahan bakar nuklir selain uranium yang tersedia di alam. Namanya diambil dari
Thor, dewa dalam mitologi Nordik. Tidak jelas kenapa dinamai seperti itu, tapi
Jons Jacob Berzelius, yang pertama mengidentifikasinya pada tahun 1828, adalah
orang Swedia, yang merupakan negara Nordik. Thorium memiliki nomor atom 90 dan
nomor massa 232. Sebagai perbandingan, uranium alam memiliki nomor atom 92 dan
nomor massa 238. Jadi, thorium agak sedikit lebih ringan daripada uranium.
Karakteristik thorium
bisa diringkas kurang lebih sebagai berikut.
Thorium memiliki
umur paruh lebih panjang daripada uranium. Jika uranium-238 memiliki umur paruh
4,5 miliar tahun, maka thorium memiliki umur paruh 14 miliar tahun. Sebagai perbandingan,
planet bumi saat ini berusia 4,5 miliar tahun, selisih tipis dengan
uranium-238. Apa imbasnya? Karena umur paruh lebih panjang, maka lebih sedikit
atom thorium yang sudah meluruh secara alami akibat berlalunya waktu. Sehingga,
diperkirakan bahwa kelimpahan thorium di alam lebih besar daripada uranium, kira-kira
3-4 kali lebih banyak.
Thorium di alam hadir
sebagai isotop tunggal, yakni thorium-232. Tidak ada isotop fisil thorium di
alam, berbeda dengan uranium. Sehingga, thorium tidak bisa langsung digunakan
di reaktor nuklir sebagai bahan bakar tunggal. Thorium tidak mengalami reaksi
fisi nuklir, melainkan reaksi transmutasi nuklir menjadi uranium-233. Proses reaksinya
sebagai berikut.
Th-232
+ n -> Th-233 + β -> Np-233 + β -> U-233
Setelah menangkap
netron, thorium akan mengalami dua kali peluruhan beta dan bertransmutasi
menjadi uranium-233. Isotop uranium-233 sifatnya fisil, sama seperti uranium-235.
Namun, karena uranium-233 memiliki waktu paruh jauh lebih pendek, yakni hanya
160 ribu tahun, isotop ini tidak ada di alam karena sudah habis meluruh duluan.
Bicara soal
tangkapan netron, thorium memiliki probabilitas menangkap netron 3-4 kali lebih
tinggi daripada uranium-238. Agak lebih kemaruk soal menyedot netron hasil
fisi. Maka, thorium memiliki peluang untuk mengalami reaksi transmutasi dari
thorium-232 menjadi uranium-233 jauh lebih tinggi daripada uranium-238 menjadi
plutonium-239. Lebih banyak reaksi transmutasi fertil-fisil yang terjadi, lebih
efisien konsumsi bahan bakarnya.
Mengingat thorium
memiliki nomor massa 232, bahan bakar nuklir ini butuh setidaknya 6 kali menangkap
netron supaya bisa mengalami transmutasi menjadi limbah radioaktif umur
panjang, yang kita sebut elemen transuranik. Ringkasnya, lajur thorium menjadi transuranik
terdekat adalah sebagai berikut.
Th-232
+ n -> U-233 + n -> U-234 + n -> U-235 + n -> U-236 + n -> U-237
+ n -> Np-237
Sementara,
uranium-238 hanya butuh sekali menangkap netron supaya jadi elemen transuranik.
U-238
+ n -> Pu-239
Limbah transuranik
ini sering dianggap jadi masalah karena umur paruhnya yang panjang, sehingga
diklaim butuh jutaan tahun sampai radioaktivitasnya turun ke level yang safe.
Akan ada pembahasan soal ini di Bagian lain. Nah, karena thorium butuh jalur
panjang dan berliku, seperti memahami maksud “terserah” perempuan ketika
ditanya mau makan apa, untuk menjadi elemen transuranik, maka produksi limbah
radioaktif umur panjang tersebut juga jauh lebih sedikit. Nilai radioaktivitas limbah
dari thorium kurang lebih 10 ribu kali lebih rendah daripada limbah dari
uranium setelah 300 tahun penyimpanan.
Uranium-233, produk
transmutasi dari thorium, pada reaktor nuklir yang menggunakan moderator (baca:
reaktor termal), memiliki performa paling powerful dibandingkan
uranium-235 (yang ada di alam) dan plutonium-239 (hasil transmutasi uranium-238).
Hal ini ditunjukkan dari faktor reproduksi netron (η, dibaca eta) uranium-233, yang
mencapai 2,24. Artinya, tiap netron yang disedot oleh bahan bakar, ada rata-rata
2,24 netron baru yang terbentuk. Sementara, nilai η uranium-235 dan plutonium-239
masing-masing hanya 2,02 dan 2,01. Selain itu, rasio reaksi tangkapan terhadap
fisi (α) uranium-233 paling rendah, yakni 0,0899 di reaktor termal. Sementara,
uranium-235 dan plutonium-239 memiliki nilai α masing-masing 0,169 dan 0,362.
Angka-angka itu
mungkin asing sekali dan tidak jelas apa gunanya untuk orang awam. Tapi untuk para
reactor physicist, angka-angka itu sangat penting dan menunjukkan
superioritas uranium-233. Kalau diaplikasikan, angka-angka itu bermakna bahwa
uranium-233 yang diproduksi dari thorium dapat membuat usia pakai bahan bakar
lebih panjang, penggunaan bahan bakar lebih efisien, dan memungkinkan untuk
membangun sistem reaktor pembiak termal.
Apa pula ini
reaktor pembiak termal? Istilah, kok, aneh-aneh, memangnya ayam berkembang
biak?
Ringkasnya adalah
sebuah reaktor nuklir yang bisa menghasilkan bahan bakar baru lebih banyak
daripada yang dikonsumsi. Jadi misalkan uranium-233 yang dikonsumsi setahun itu
800 kg. Lalu, dari konversi thorium, dihasilkan uranium-233 baru sebesar 808
kg. Ada kelebihan 8 kg uranium-233 dari kondisi awal. Nah, kondisi inilah yang
disebut “membiak.” Artinya, reaktor ini menghasilkan bahan bakar baru lebih
banyak daripada kondisi awal. Uranium-235 dan plutonium-239 tidak bisa menjadi
reaktor pembiak termal, karena nilai η keduanya kurang dari 2,1.
Selain itu, thorium
agak-agak lebih resisten terhadap upaya diversi uranium-233 sebagai senjata
nuklir, alias agak lebih anti-proliferasi. Sebabnya adalah produksi uranium-233
selalu dibarengi dengan uranium-232. Isotop yang terakhir ini waktu paruhnya
pendek, hanya 69 tahun, sehingga cepat mengalami reaksi peluruhan menjadi unsur
lain bernama thallium-208. Nah, thallium-208 ini pemancar radiasi gamma super
kuat, 2,6 MeV. Sebagai perbandingan, kobalt-60 punya energi gamma maksimal 1,3
MeV. Radiasi ini membuat orang-orang yang mau mengalihgunakan uranium-233 untuk
keperluan senjata nuklir harus menghadapi bombardir radiasi gamma superkuat,
yang bisa membuat mereka gagal ginjal dan gagal jantung dalam waktu singkat. Dan
tidak, uranium-232 tidak bisa dipisahkan dari uranium-233. Jadi sangat tidak worth
it untuk mengalihgunakan uranium-233 menjadi bahan baku senjata nuklir. Sementara
itu, plutonium-239 dan kontaminannya tidak ada yang memancarkan radiasi gamma sekuat
thallium-208, jadi jauh lebih mudah penanganannya.
Dari sini,
kelihatannya thorium itu sangat hebat sekali, ya, dibandingkan uranium? Yang jelas,
thorium juga punya kekurangan. Yang pertama adalah prekursor uranium-233,
namanya protaktinium-233, punya umur paruh lebih panjang (27 hari) dari neptunium-239,
yang merupakan prekursor plutonium-239 (2,3 hari). Artinya, butuh waktu lebih
lama untuk thorium bertransmutasi menjadi uranium-233. Kalau di dalam reaktor
nuklir, protaktinium-233 ini bisa saja tidak sengaja nangkap netron nyasar dan
berubah menjadi uranium-234 yang tidak lebih berguna dari huruf s dalam Illinois.
Selain itu, fraksi netron tunda uranium-233 lebih kecil (260 pcm) daripada
uranium-235 (650 pcm), yang menyebabkan PLTN yang pakai uranium-233 dan thorium
agak sedikit lebih sulit dikendalikan dalam kondisi transien.
Selain itu, kalau
uranium-233 ketemu grafit, efek umpan balik reaktivitasnya cenderung positif. Normalnya,
pada reaktor dengan moderator grafit, ketika si grafit itu memanas, laju reaksi
fisinya akan berkurang. Tapi kalau ketemu uranium-233, reaksi fisi malah bertambah,
karena suatu mekanisme bernama koinsidensi resonansi akibat pergeseran
spektra. Kalau tidak paham, tidak usah dipikirkan. Yang jelas, nilai total
aspek keselamatan PLTN yang pakai thorium dan uranium-233 jadi agak sedikit
berkurang. Hal ini cukup mengganggu, karena MSR itu biasa pakai moderator
grafit.
Thallium-208,
meski bisa mencegah orang dari mengalihgunakan uranium-233 untuk senjata
nuklir, adalah pedang bermata dua yang membuat pemrosesan ulang bahan bakar
jadi lebih susah, karena perlu perisai radiasi lebih tebal dan kendali jarak
jauh.
Terakhir, seperti
disebutkan sebelumnya, thorium tidak memiliki isotop fisil. Jadi, thorium tidak
bisa digunakan sendiri di dalam reaktor nuklir. Harus tetap didampingi oleh bahan
bakar fisil lain, entah uranium-235 maupun plutonium-239. Para pendukung
thorium kadang agak berlebihan mengatakan bahwa thorium tidak butuh pengayaan
seperti uranium, padahal itu karena thorium memang tidak bisa diperkaya
karena isotop fisilnya tidak ada! Tapi kalau digunakan di reaktor nuklir, jelas
saja butuh bahan fisil.
Perkara uranium
butuh 200 ton tiap tahun sementara thorium cuma 1 ton tiap tahun, ini miskonsepsi.
Sebenarnya thorium butuh 1 ton per tahun itu karena digunakan di MSR
bersifat pembiak. Jadi memang tidak butuh banyak. Kalau uranium dipakai di
sistem reaktor nuklir pembiak, konsumsi bahan bakarnya akan setara, malah lebih
sedikit walau selisihnya tipis sekali. Berapa besar konsumsi bahan bakar nuklir
tahunan itu bukan perkara dia uranium atau thorium, tapi sistem reaktor apa
yang digunakan. Kalau sistem sekali pakai buang, ya semua akan boros. Kalau sistem
daur ulang, semua akan hemat. Sama saja antara uranium maupun thorium.
Kurang lebih
demikian ringkasan karakter keunggulan dan kekurangan thorium. Jadi, dari sini,
apakah bisa dikatakan bahwa thorium lebih baik daripada uranium?
Jawaban dari
pertanyaan itu tergantung pada desain dan kebutuhan pengguna. Kalau pengguna maunya
reaktor nuklir tanpa moderator (baca: reaktor cepat), maka thorium tidak
terlalu berguna. Uranium jauh lebih powerful. Kalau maunya reaktor
termal dan mengurangi konsumsi bahan bakar, thorium adalah pilihan tepat. Kalau
tidak senang dengan limbah transuranik yang bertumpuk, campurkan semua limbah
itu dengan thorium dan bakar di dalam reaktor nuklir. Insya Allah volume limbah
transuranik akan berkurang drastis. Kalau mau yang bisa langsung dipakai tanpa
pusing uji bahan bakar, pakai saja dulu uranium. Kalau mau pakai MSR, maka
uranium dan thorium sama-sama bisa dipakai. Namun, kalau mau menerapkan sistem
pembiak termal pada MSR, mau tidak mau harus pakai thorium.
Jadi, benar
bahwa thorium memiliki beberapa keunggulan dibandingkan uranium, dan akan menjadi
opsi menarik untuk daur bahan bakar nuklir ke depannya. Namun, thorium juga tidak
se-powerful yang digembargemborkan pendukung fanatiknya. Lebih menarik melihat
sinergi antara uranium dan thorium dalam daur pemanfaatannya di reaktor nuklir,
karena dari masing-masing keunggulannya, uranium dan thorium bisa menjadi
pelengkap satu sama lain. Uranium bisa langsung menghasilkan energi, limbahnya
bisa dimusnahkan dengan bantuan thorium, sembari menghasilkan uranium-233 yang
bisa dipakai lagi untuk mengoptimalkan daur bahan bakar nuklir.
Mau pakai
uranium maupun thorium, kuncinya adalah jangan pakai daur bahan bakar sekali
pakai buang. Boros dan menyia-nyiakan sumber daya saja. Gunakan lah daur ulang
bahan bakar, supaya 99% potensi bahan bakar nuklir alih-alih hanya 0,5% saja.
0 komentar:
Posting Komentar