Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Marie Sklodowska-Curie, saintis penemu radioaktivitas, pernah berkata, “Tidak
ada dalam hidup ini yang perlu ditakuti, hanya perlu dipahami. Sekarang
waktunya untuk memahami lebih, sehingga kita lebih sedikit takut.”
Pernyataan ini, ketika diejawantahkan ke dunia sains dan teknologi,
memiliki relevansi sangat tinggi. Mengingat, ketakutan dan penolakan terhadap
produk sains dan teknologi sangat sering terjadi, kalau bukan seluruhnya,
adalah karena ketidakpahaman terhadap produk saintek tersebut.
Misalnya genetically-modified organism (GMO) dan vaksin.
Penolakan sebagian kalangan terhadap kedua produk tersebut lebih sering karena
ketidakpahaman mereka, produk seperti apa ini? Untuk apa digunakan? Persepsi
risiko manusia cenderung lebih tinggi pada sesuatu yang mereka tidak ketahui, fear
of the unknown. Sama seperti kenapa orang sering takut lewat gang gelap
pada malam hari, mereka takut pada sesuatu yang tidak mereka ketahui—atau mereka
ketahui, tapi tidak tahu apakah di sana ada sesuatu itu atau tidak.
Ketika ketidakpahaman ini berlarut-larut tanpa tindaklanjut tepat,
hasilnya adalah desas-desus yang merebak dan mudah dipelintir. Seperti isu
vaksin menyebabkan autisme dan GMO membahayakan kesehatan. Walau realitanya,
tidak ada bukti ilmiah yang mendukung kedua isu tersebut. Sekalinya ada “bukti”
dalam bentuk artikel ilmiah, ternyata artikelnya cacad dan akhirnya ditarik
dari peredaran.
Ketidakpahaman hanya bisa diobati dengan cara meningkatkan literasi. Maksud
literasi di sini bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga
memahami apa yang dimaksud dalam sebuah tulisan. Sehingga, penilaian terhadap
sebuah produk saintek tidak lagi berlandaskan sentimen emosional, melainkan
karena pemahaman yang cukup memadai terhadap produk saintek tersebut.
Dari 29 seri sebelumnya, kita sudah membahas cukup banyak (walau tidak mencakup
keseluruhan) aspek terkait nuklir. Mungkin ada yang baru tahu, ada yang
mendapat hal baru, ada yang merasa “oh, ternyata yang saya pahami selama ini salah!”
Hal yang bisa dimaklumi, karena literasi nuklir di negeri ini masih relatif…
bukan, sangat rendah.
Patut diakui bahwa informasi lurus mengenai seluk beluk teknologi nuklir
masih belum cukup tersampaikan pada publik, khususnya baik terkait energi
maupun radiasi nuklir. Umumnya, seperti sudah disinggung di awal-awal sekali, asosiasi
pertama publik ketika mendengar nuklir adalah senjata pemusnah massal. Memori
pembumihangusan kota Hiroshima dan Nagasaki dengan senjata nuklir seolah menjadi
image utama teknologi nuklir. Seolah-olah nuklir itu ya bom penghancur
kota.
Radiasi nuklir pun menjadi momok. Fear of the unknown memegang
peran besar dalam ketakutan ini, mengingat radiasi nuklir tidak bisa dirasakan
oleh panca indera. Kita tidak bisa menyentuh, melihat, membaui, mengecap, apalagi
mendengar radiasi nuklir. Kita cuma bisa tahu ada radiasi nuklir atau tidak
dari jejak yang ditinggalkannya, dan itu butuh detektor yang tidak semua orang
punya.
Ketakutan akan silent killer, sesuatu yang tidak terlihat tetapi
bisa membunuh manusia, akhirnya membuat orang takut pada radiasi nuklir. Apapun
yang terkait radiasi otomatis dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, tanpa dipikir
lebih jauh.
Asosiasi ini berlanjut pada PLTN. Masih banyak yang menganggap PLTN
dapat meledak, merujuk pada kecelakaan PLTN Chernobyl. Padahal, PLTN tidak bisa
meledak seperti senjata nuklir, dan tingkat keselamatan PLTN sangat bergantung
pada desain teknologi yang digunakan. Sementara, desain RBMK di Chernobyl tidak
mungkin diizinkan untuk digunakan di negara-negara yang lebih waras daripada
Soviet.
Isu miring dan hoax tentang radiasi dan PLTN pun merebak
kemana-mana, semerbak bau mulut orang yang baru makan nasi goreng pete dobel. Dikiranya
ketika PLTN mengalami kecelakaan, PLTN dapat “menyebarkan radiasi” kemana-mana
dan membuat sebuah wilayah tidak bisa dihuni selama puluhan ribu tahun (omong
kosong, tentu saja). Limbah nuklir pun ditunjuk sebagai “beban antar generasi”
bahkan “masalah tanpa solusi,” hanya karena limbah tersebut memancarkan radiasi.
Padahal, reaktor nuklir alam di Oklo telah menunjukkan dengan baik bagaimana
mengelola limbah nuklir dengan baik dan benar.
Ketakutan akibat literasi minim akan seluk beluk nuklir mengakibatkan
persepsi risiko masyarakat bergeser ke level ekstrem: PLTN dianggap entitas berbahaya.
Pembicaraan tentang nuklir dianggap tabu. Diskusi-diskusi ilmiah tentang energi
seakan-akan menganggap nuklir tidak pernah ada. Nuklir ditolak tanpa diberi
kesempatan bersuara.
Celakanya, isu-isu miring ini dimanfaatkan oleh sebagian LSM untuk
menggalang massa demi menolak PLTN. Menggunakan sentimen emosional dan
propaganda sesat, beberapa LSM membentuk opini keliru di tengah masyarakat
untuk menolak PLTN. Kalangan agamawan tidak ketinggalan terpengaruh, sampai
muncul fatwa sesat tentang keharaman PLTN Muria.
Lebih ironis bahwa LSM-LSM anti-nuklir sendiri tidak kalah jelek
literasinya tentang energi nuklir. Mereka, dengan sok iyey, menggunakan buzzword
Chernobyl dan radiasi berulang kali, yang justru jadi indikasi kuat bahwa
mereka tidak memahami sama sekali detail teknis PLTN. Apalagi karakteristik
fisika reaktor dan sistem keselamatannya, mungkin ditanya bagaimana menghitung
periode reaktor dengan bahan bakar uranium-235 ketika diberi sisipan
reaktivitas $0,5 akan pusing ribuan keliling. Mereka hanya mampu melontarkan
propaganda, tapi bungkam ketika ditagih naskah akademis.
PLTN merupakan kebutuhan urgen untuk menjamin keamanan energi nasional
dan menurunkan emisi CO2. Namun, sulit untuk mewujudkan PLTN dalam
kondisi masyarakat yang masih illiterate tentang nuklir. Meningkatkan
literasi nuklir adalah harga mati agar masyarakat tidak mudah diprovokasi
propaganda sesat anti-nuklir sehingga menggagalkan penerapan energi nuklir di
Indonesia.
Di era keberlimpahan informasi, memang ada kesulitan tersendiri untuk
meningkatkan level literasi masyarakat tentang nuklir. Ketika mencari informasi
dengan mesin pencari, hasil penelusuran yang muncul lebih banyak yang tidak
akurat dan cenderung menyesatkan. Sementara, platform informasi yang memberikan
informasi secara lurus relatif sedikit dan cenderung tenggelam.
Hal ini diperparah dengan kualitas literasi Indonesia yang terbilang
kurang baik. Dari anking PISA 2023 saja terlihat bahwa siswa Indonesia mengalami
penurunan kapasitas dalam semua aspek termasuk membaca. Fenomena ini sepertinya
tidak hanya menjalar di siswa sekolah saja, melainkan masyarakat secara umum. Apalagi
sejak tiktok semakin populer, jadi pada malas baca karena attention span memendek sangat drastis
akibat kebanyakan disuguhi video pendek dengan transisi audiovisual terlalu
cepat.
Masyarakat umum tidak terbiasa membaca hal-hal berat. Bahkan sering
sekali pranala web disebarkan begitu saja tanpa dibaca dulu isinya, berbekal
membaca judul yang seringkali umpan klik (clickbait). Dibaca saja tidak,
apalagi ditelaah.
Dalam kondisi seperti ini, salah satu strategi untuk meningkatkan
literasi nuklir adalah membuat tulisan ilmiah populer. Tulisan yang dengan
pondasi keilmuan kokoh tetapi dalam bahasa yang masih mudah dipahami masyarakat
umum. Merakyat, tetapi tetap ilmiah.
Sayangnya, publikasi ilmiah populer pun masih minim. Demikian pula,
sedikit sekali buku-buku berkualitas tentang nuklir. Sekalinya ada, tidak
terdistribusi dengan baik.
Sementara itu, diseminasi iptek nuklir yang telah dilakukan selama ini
lebih banyak menggunakan bahasa defensif-apologetik. Seakan-akan mengakui bahwa
propaganda tersebut benar, hanya ditambah “tetapi…” Bahasa seperti ini justru
disukai oleh kalangan anti-nuklir dan menjauhkan masyarakat dari literasi
nuklir yang sebenarnya.
Perbaikan literasi nuklir idealnya dapat menggeser paradigma masyarakat
dari sentiment-based decision menjadi fact-based decision. Literatur
nuklir yang merakyat, mudah ditemukan, serta tidak defensif-apologetik menjadi
kunci utama keberhasilan literasi nuklir. Dengan masyarakat memahami informasi
yang benar, ketakutan mereka diharapkan juga berkurang kalau perlu hilang.
Serial 30 Serba Serbi Nuklir ini diharapkan mampu sedikit berkontribusi
dalam meningkatkan literasi nuklir masyarakat. Mencoba mengubah bahasa melangit
soal teknologi nuklir (susah juga, beberapa memang cukup sulit dimanusiawikan
bahasanya) tanpa bersikap defensif-apologetnik. Mulai dari filosofi nuklir itu
sendiri, terkait radiasi nuklir, energi nuklir, hingga limbah radioaktif. Jadi masyarakat
bisa pelan-pelan diubah salah pahamnya menjadi lebih paham yang benar seperti
apa.
Memang tidak mungkin serial ini mengubah 100% pemahaman masyarakat,
tetapi setidaknya ada sedikit harapan bahwa kalangan literat bisa lebih bertambah
dari sebelumnya. Sehingga, masyarakat bisa beralih dari pemikiran bahwa “nuklir
itu berbahaya” menjadi “nuklir itu banyak manfaatnya.”
Semoga serial ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
0 komentar:
Posting Komentar