Selasa, 09 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 30: Mari Tingkatkan Literasi Nuklir!

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Marie Sklodowska-Curie, saintis penemu radioaktivitas, pernah berkata, “Tidak ada dalam hidup ini yang perlu ditakuti, hanya perlu dipahami. Sekarang waktunya untuk memahami lebih, sehingga kita lebih sedikit takut.”

Pernyataan ini, ketika diejawantahkan ke dunia sains dan teknologi, memiliki relevansi sangat tinggi. Mengingat, ketakutan dan penolakan terhadap produk sains dan teknologi sangat sering terjadi, kalau bukan seluruhnya, adalah karena ketidakpahaman terhadap produk saintek tersebut.

Misalnya genetically-modified organism (GMO) dan vaksin. Penolakan sebagian kalangan terhadap kedua produk tersebut lebih sering karena ketidakpahaman mereka, produk seperti apa ini? Untuk apa digunakan? Persepsi risiko manusia cenderung lebih tinggi pada sesuatu yang mereka tidak ketahui, fear of the unknown. Sama seperti kenapa orang sering takut lewat gang gelap pada malam hari, mereka takut pada sesuatu yang tidak mereka ketahui—atau mereka ketahui, tapi tidak tahu apakah di sana ada sesuatu itu atau tidak.

Ketika ketidakpahaman ini berlarut-larut tanpa tindaklanjut tepat, hasilnya adalah desas-desus yang merebak dan mudah dipelintir. Seperti isu vaksin menyebabkan autisme dan GMO membahayakan kesehatan. Walau realitanya, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung kedua isu tersebut. Sekalinya ada “bukti” dalam bentuk artikel ilmiah, ternyata artikelnya cacad dan akhirnya ditarik dari peredaran.

Ketidakpahaman hanya bisa diobati dengan cara meningkatkan literasi. Maksud literasi di sini bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga memahami apa yang dimaksud dalam sebuah tulisan. Sehingga, penilaian terhadap sebuah produk saintek tidak lagi berlandaskan sentimen emosional, melainkan karena pemahaman yang cukup memadai terhadap produk saintek tersebut.

Dari 29 seri sebelumnya, kita sudah membahas cukup banyak (walau tidak mencakup keseluruhan) aspek terkait nuklir. Mungkin ada yang baru tahu, ada yang mendapat hal baru, ada yang merasa “oh, ternyata yang saya pahami selama ini salah!” Hal yang bisa dimaklumi, karena literasi nuklir di negeri ini masih relatif… bukan, sangat rendah.

Patut diakui bahwa informasi lurus mengenai seluk beluk teknologi nuklir masih belum cukup tersampaikan pada publik, khususnya baik terkait energi maupun radiasi nuklir. Umumnya, seperti sudah disinggung di awal-awal sekali, asosiasi pertama publik ketika mendengar nuklir adalah senjata pemusnah massal. Memori pembumihangusan kota Hiroshima dan Nagasaki dengan senjata nuklir seolah menjadi image utama teknologi nuklir. Seolah-olah nuklir itu ya bom penghancur kota.

Radiasi nuklir pun menjadi momok. Fear of the unknown memegang peran besar dalam ketakutan ini, mengingat radiasi nuklir tidak bisa dirasakan oleh panca indera. Kita tidak bisa menyentuh, melihat, membaui, mengecap, apalagi mendengar radiasi nuklir. Kita cuma bisa tahu ada radiasi nuklir atau tidak dari jejak yang ditinggalkannya, dan itu butuh detektor yang tidak semua orang punya.

Ketakutan akan silent killer, sesuatu yang tidak terlihat tetapi bisa membunuh manusia, akhirnya membuat orang takut pada radiasi nuklir. Apapun yang terkait radiasi otomatis dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, tanpa dipikir lebih jauh.

Asosiasi ini berlanjut pada PLTN. Masih banyak yang menganggap PLTN dapat meledak, merujuk pada kecelakaan PLTN Chernobyl. Padahal, PLTN tidak bisa meledak seperti senjata nuklir, dan tingkat keselamatan PLTN sangat bergantung pada desain teknologi yang digunakan. Sementara, desain RBMK di Chernobyl tidak mungkin diizinkan untuk digunakan di negara-negara yang lebih waras daripada Soviet.

Isu miring dan hoax tentang radiasi dan PLTN pun merebak kemana-mana, semerbak bau mulut orang yang baru makan nasi goreng pete dobel. Dikiranya ketika PLTN mengalami kecelakaan, PLTN dapat “menyebarkan radiasi” kemana-mana dan membuat sebuah wilayah tidak bisa dihuni selama puluhan ribu tahun (omong kosong, tentu saja). Limbah nuklir pun ditunjuk sebagai “beban antar generasi” bahkan “masalah tanpa solusi,” hanya karena limbah tersebut memancarkan radiasi. Padahal, reaktor nuklir alam di Oklo telah menunjukkan dengan baik bagaimana mengelola limbah nuklir dengan baik dan benar.

Ketakutan akibat literasi minim akan seluk beluk nuklir mengakibatkan persepsi risiko masyarakat bergeser ke level ekstrem: PLTN dianggap entitas berbahaya. Pembicaraan tentang nuklir dianggap tabu. Diskusi-diskusi ilmiah tentang energi seakan-akan menganggap nuklir tidak pernah ada. Nuklir ditolak tanpa diberi kesempatan bersuara.

Celakanya, isu-isu miring ini dimanfaatkan oleh sebagian LSM untuk menggalang massa demi menolak PLTN. Menggunakan sentimen emosional dan propaganda sesat, beberapa LSM membentuk opini keliru di tengah masyarakat untuk menolak PLTN. Kalangan agamawan tidak ketinggalan terpengaruh, sampai muncul fatwa sesat tentang keharaman PLTN Muria.

Lebih ironis bahwa LSM-LSM anti-nuklir sendiri tidak kalah jelek literasinya tentang energi nuklir. Mereka, dengan sok iyey, menggunakan buzzword Chernobyl dan radiasi berulang kali, yang justru jadi indikasi kuat bahwa mereka tidak memahami sama sekali detail teknis PLTN. Apalagi karakteristik fisika reaktor dan sistem keselamatannya, mungkin ditanya bagaimana menghitung periode reaktor dengan bahan bakar uranium-235 ketika diberi sisipan reaktivitas $0,5 akan pusing ribuan keliling. Mereka hanya mampu melontarkan propaganda, tapi bungkam ketika ditagih naskah akademis.

PLTN merupakan kebutuhan urgen untuk menjamin keamanan energi nasional dan menurunkan emisi CO2. Namun, sulit untuk mewujudkan PLTN dalam kondisi masyarakat yang masih illiterate tentang nuklir. Meningkatkan literasi nuklir adalah harga mati agar masyarakat tidak mudah diprovokasi propaganda sesat anti-nuklir sehingga menggagalkan penerapan energi nuklir di Indonesia.

Di era keberlimpahan informasi, memang ada kesulitan tersendiri untuk meningkatkan level literasi masyarakat tentang nuklir. Ketika mencari informasi dengan mesin pencari, hasil penelusuran yang muncul lebih banyak yang tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Sementara, platform informasi yang memberikan informasi secara lurus relatif sedikit dan cenderung tenggelam.

Hal ini diperparah dengan kualitas literasi Indonesia yang terbilang kurang baik. Dari anking PISA 2023 saja terlihat bahwa siswa Indonesia mengalami penurunan kapasitas dalam semua aspek termasuk membaca. Fenomena ini sepertinya tidak hanya menjalar di siswa sekolah saja, melainkan masyarakat secara umum. Apalagi sejak tiktok semakin populer, jadi pada malas baca karena attention span memendek sangat drastis akibat kebanyakan disuguhi video pendek dengan transisi audiovisual terlalu cepat.

Masyarakat umum tidak terbiasa membaca hal-hal berat. Bahkan sering sekali pranala web disebarkan begitu saja tanpa dibaca dulu isinya, berbekal membaca judul yang seringkali umpan klik (clickbait). Dibaca saja tidak, apalagi ditelaah.

Dalam kondisi seperti ini, salah satu strategi untuk meningkatkan literasi nuklir adalah membuat tulisan ilmiah populer. Tulisan yang dengan pondasi keilmuan kokoh tetapi dalam bahasa yang masih mudah dipahami masyarakat umum. Merakyat, tetapi tetap ilmiah.

Sayangnya, publikasi ilmiah populer pun masih minim. Demikian pula, sedikit sekali buku-buku berkualitas tentang nuklir. Sekalinya ada, tidak terdistribusi dengan baik.

Sementara itu, diseminasi iptek nuklir yang telah dilakukan selama ini lebih banyak menggunakan bahasa defensif-apologetik. Seakan-akan mengakui bahwa propaganda tersebut benar, hanya ditambah “tetapi…” Bahasa seperti ini justru disukai oleh kalangan anti-nuklir dan menjauhkan masyarakat dari literasi nuklir yang sebenarnya.

Perbaikan literasi nuklir idealnya dapat menggeser paradigma masyarakat dari sentiment-based decision menjadi fact-based decision. Literatur nuklir yang merakyat, mudah ditemukan, serta tidak defensif-apologetik menjadi kunci utama keberhasilan literasi nuklir. Dengan masyarakat memahami informasi yang benar, ketakutan mereka diharapkan juga berkurang kalau perlu hilang.

Serial 30 Serba Serbi Nuklir ini diharapkan mampu sedikit berkontribusi dalam meningkatkan literasi nuklir masyarakat. Mencoba mengubah bahasa melangit soal teknologi nuklir (susah juga, beberapa memang cukup sulit dimanusiawikan bahasanya) tanpa bersikap defensif-apologetnik. Mulai dari filosofi nuklir itu sendiri, terkait radiasi nuklir, energi nuklir, hingga limbah radioaktif. Jadi masyarakat bisa pelan-pelan diubah salah pahamnya menjadi lebih paham yang benar seperti apa.

Memang tidak mungkin serial ini mengubah 100% pemahaman masyarakat, tetapi setidaknya ada sedikit harapan bahwa kalangan literat bisa lebih bertambah dari sebelumnya. Sehingga, masyarakat bisa beralih dari pemikiran bahwa “nuklir itu berbahaya” menjadi “nuklir itu banyak manfaatnya.”

Semoga serial ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

0 komentar:

Posting Komentar