Senin, 08 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 29: Keselamatan Reaktor Nuklir, Tumit Achilles Energi Nuklir?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Dalam mitologi Yunani, Achilles dikenal sebagai pahlawan Perang Troya dan demigod (manusia setengah dewa, bukan lagunya Iwan Fals) Yunani terkuat. Kekuatan utamanya terletak pada kekebalan tubuh, yang didapatkannya ketika Achilles kecil setelah direndam oleh sang ibu, Thetis, di Sungai Styx (satu dari empat sungai di ‘akhirat’ dalam mitologi Yunani). Setelah pengalaman mengerikan direndam di sungai busuk itu, Achilles tidak mempan ditusuk, ditombak, atau serangan fisik apapun. Seluruh tubuhnya benar-benar seperti tembok baja yang jangankan ditembus, tergores saja tidak. Kecuali tumitnya.

Dikisahkan dalam Iliad bahwa Achilles menemui ajal menjelang akhir Perang Troya, ketika Paris menembakkan panah yang menancap di tumitnya. Tumit ini adalah satu-satunya bagian tubuh Achilles yang dulunya tidak terendam air busuk Styx, penambat antara dirinya dengan dunia fana. Satu-satunya titik lemah Achilles akhirnya menjadi titik fatal. Satu saja tusukan panah di tumitnya membawa Achilles pada kematian.

Istilah Tumit Achilles kemudian diadaptasi dari mitologi ini untuk mendeskripsikan kelemahan fatal dari suatu hal. Titik fatal yang dapat membawa sesuatu dalam masalah besar terlepas dari segala kekuatan di bagian lain.

Lantas, apa hubungannya dengan energi nuklir?

Ditengah ancaman perubahan iklim yang makin nyata, ditambah dengan tingkat polusi yang kian membahayakan, seruan untuk beranjak dari energi fosil semakin santer terdengar. Namun, terlepas dari fakta teknis dan historisnya, banyak negara yang enggan untuk beralih ke energi nuklir. Kenapa? Karena energi nuklir dianggap memiliki tumit Achilles: Keselamatan reaktor nuklir.

Sebagaimana kita ketahui, pasca kecelakaan PLTN Chernobyl Unit 4, ekspansi energi nuklir dunia terhambat. Amerika Serikat yang memiliki jumlah PLTN terbanyak di dunia tidak lagi membangun PLTN baru selama 30 tahun, sebelum PLTN Watts Bar 2 disambungkan ke jaringan listrik pada tahun 2016. Italia melakukan referendum untuk berhenti menggunakan energi nuklir dan menyatakan bahwa PLTN ilegal di negara tersebut. Sebelum kecelakaan PLTN Chernobyl, sejumlah 409 PLTN telah dibangun dan beroperasi. Namun, pasca kecelakaan, hanya 194 PLTN yang tersambung ke jaringan listrik selama tiga dekade yang sama.

Kondisi tidak lebih baik ketika PLTN Fukushima Daiichi mengalami kecelakaan pada tahun 2011, tidak lama setelah Jepang dihantam oleh gempa dan tsunami Tohoku. Progres pembangunan PLTN di seluruh dunia distop sementara selagi dilakukan evaluasi besar-besaran terhadap sistem keselamatannya. Jerman, yang sudah dilanda wabah gerakan anti-nuklir kronis, terpaksa menyerah pada tekanan Partai Hijau dan mendeklarasikan bahwa mereka akan phase-out energi nuklir paling lambat pada tahun 2022, walau pada akhirnya baru pada akhir 2023 PLTN terakhir di Jerman ditutup. Swiss awalnya agak tertekan dengan pengaruh Jerman, sebelum referendum kemudian memutuskan untuk tetap menggunakan energi nuklir. Belgia pun ditekan Jerman dan ‘terpaksa’ menutup PLTN pada tahun 2025, kalau tidak ada perubahan rencana. Demikian pula Spanyol, walau terdapat penentangan dari public.

Jika kedua kecelakaan tersebut dipelajari, maka sebenarnya efek ketakutan pasca kecelakaan PLTN ini bisa dikatakan mengherankan. Seolah-olah semua rekam jejak keselamatan PLTN yang luar biasa menjadi tidak ada artinya. Keselamatan reaktor nuklir seakan menjadi tumit Achilles bagi energi nuklir; terjadi kecelakaan sekali, dan akibatnya fatal untuk seluruh industri nuklir.

Bagaimana mungkin, kecelakaan PLTN Chernobyl yang hanya mungkin terjadi dalam kondisi ekstrem, jauh diluar kondisi operasional normal, dijadikan benchmark dari level keselamatan reaktor nuklir? Bagaimana mungkin, kecelakaan yang hanya mungkin menimpa reaktor tipe RBMK, yang tidak pernah ada diluar bekas negara Uni Soviet, dianggap dapat terjadi di reaktor tipe lain? Bahkan seandainya supervisor dan operator Chernobyl Unit 4 mengindahkan peringatan yang dikeluarkan oleh sistem reaktor, dengan sistem keselamatan sedemikian buruknya, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.

Kecelakaan PLTN Chernobyl pun “hanya” menyebabkan kematian sekitar 30 orang. Ada beragam estimasi tentang “kematian tertunda” akibat efek stokastik radiasi nuklir, entah itu 4.000 orang atau 16.000 orang, tapi tidak pernah tampak buktinya hingga sekarang dan oleh UNSCEAR dianggap angin lalu. Tapi katakanlah memang ada 16.000 kematian tambahan, itu masih jauh lebih rendah daripada 8,7 juga kematian prematur tiap tahun akibat pembakaran energi fosil di seluruh dunia.

Angka 16.000 itu sangat disputable dan dibagi 30 tahun lebih. Sementara 8,7 juta kematian prematur itu tiap tahun. Coba renungkan.

Tidak seperti PLTN Chernobyl, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi sama sekali tidak menyebabkan korban jiwa. Walau sama-sama merupakan kecelakaan dengan INES Level 7, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi “hanya” melepaskan material radioaktif volatil ke lingkungan, itupun dalam level yang tidak cukup tinggi untuk membahayakan penduduk setempat. Ironisnya, kecelakaan yang tidak merenggut satupun nyawa manusia ini jauh lebih dibombastisasi daripada tsunami Tohoku yang menyebabkan korban jiwa hingga 19.000 orang.

Bayangkan memfokuskan pemberitaan pada ‘kebocoran radioaktif’ yang tidak membunuh siapapun dan hampir melupakan 19.000 jiwa yang terenggut akibat tsunami dan gempa. Ini bermoral, kah?

Memang terjadi kontaminasi radioaktif di sekitar Prefektur Fukushima, tetapi tidak dalam level membahayakan manusia. Material radioaktif yang terlepas ke lautan Pasifik pun tidak lebih banyak daripada material lepasan uji ledak senjata nuklir di era Perang DIngin. Ikan dan biota laut lainnya di laut sekitar Fukushima tetap hidup dalam damai, dan tetap aman dimakan. Bahkan sekalipun seluruh air tritium di penampungan limbah cair Fukushima Daiichi dibuang sekaligus ke laut dalam satu tahun, biota laut tetap tidak akan terkontaminasi material radioaktif apapun.

Ditengah akses informasi yang jauh lebih luas dibandingkan 25 tahun sebelumnya, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi memicu gelombang ketakutan yang tidak kalah besar dibandingkan kecelakaan PLTN Chernobyl. Tiap diskusi dan pembicaraan mengenai nuklir, sedikit-sedikit dilontarkan kata “Fukushima!” Bahkan pembicaraan tentang energi nuklir seolah menjadi tabu di berbagai forum ilmiah. Sedikit sekali pertemuan ilmiah tentang energi yang membahas nuklir.

Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi terjadi karena kelalaian TEPCO selaku operator dalam mendesain tata letak PLTN. Dinding laut yang seharusnya setinggi 10 meter, dipangkas menjadi 5 meter. Mesin Diesel untuk pendinginan pasca-padam ditaruh di basement yang mudah terendam air. Kelalaian ini terbukti fatal, karena ketika tsunami Tohoku sukses melewati dinding laut, mesin Diesel pun terendam, dan sisanya sudah tahu sendiri.

Menilik dua faktor utama ini, sebenarnya layakkah negara-negara yang tidak memiliki risiko tsunami sebesar Jepang untuk mati-matian memperbaiki sistem keselamatan untuk mencegah skenario yang tidak akan terjadi pada mereka? Logiskah kecelakaan minus korban jiwa dan minim dampak radiasi ini menjadi alasan untuk meninggalkan energi nuklir?

Respon berlebihan industri nuklir dalam menyikapi kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi ini bisa jadi justru merupakan bumerang bagi industri itu sendiri; karena seolah mereka mengonfirmasi bahwa keselamatan reaktor nuklir memang tumit Achilles dari energi nuklir, sehingga wajib dilindungi dengan cara apapun.

Di sinilah kita seringkali bersikap tidak adil. Kecelakaan pembangkit yang level terparahnya tidak mungkin menyebabkan bencana massal yang membunuh sepertiga Eropa selayaknya Black Death sudah dianggap cukup menjadi legitimasi bahwa energi ini berbahaya, risk-over-benefit. Padahal, kalau mau dikomparasi, energi nuklir tetaplah yang paling selamat dibandingkan moda energi lain.

Dari data kematian akibat sumber energi, dan didapatkan bahwa nuklir hanya menyebabkan 0,04 kematian per TWh energi dibangkitkan. Itu angkanya juga masih pakai data WHO yang ditambah 4.000 kematian tambahan (sangat dipertanyakan). Bandingkan dengan batubara yang menyebabkan 244 kematian per TWh. Bahkan energi bayu dan surya masing-masing menyebabkan 0,15 dan 0,1 kematian per TWh, masih lebih tinggi dari nuklir! Sementara, Kharecha dan Hansen (2013), mengkalkulasi bahwa secara historis, energi nuklir sukses mencegah 1,84 juta kematian akibat polusi energi fosil selama 50 tahunan sejarah operasionalnya.

Jika dampak radiasi yang ditakutkan publik, maka faktanya hingga saat ini dampak radiasi dari kecelakaan PLTN Chernobyl tidak tampak, dan tingkat ketidakpastian statistiknya terlalu tinggi. Yang ada, hewan dan tumbuhan liar berproliferasi dengan damai di zona eksklusi Chernobyl, tanpa gangguan genetik dan bahkan serigala di sana jadi lebih resisten kanker. Sementara, para pakar radiasi dan kesehatan dunia yang kredibel tidak ada perbedaan pendapat bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi tidak akan menyebabkan dampak kesehatan pada masyarakat sekitar, apalagi dunia.

Energi nuklir menyelamatkan lebih banyak jiwa daripada merenggutnya.

Mengerikan sekali jika sebuah kecelakaan dengan dampak riil tidak begitu besar menghilangkan kepercayaan pada seluruh industri. Jika orang-orang tetap mau naik pesawat walau sudah berulang kali terjadi kecelakaan fatal dengan ratusan korban jiwa, kenapa orang tidak mau menggunakan PLTN hanya karena pernah terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa jauh lebih sedikit?

Sesungguhnya keselamatan reaktor nuklir bukanlah tumit Achilles bagi energi nuklir. Jikalau ada, tumit Achilles itu adalah misinformasi terhadap keselamatan reaktor nuklir itu sendiri.

 

0 komentar:

Posting Komentar