Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Dalam mitologi Yunani, Achilles dikenal sebagai pahlawan Perang Troya
dan demigod (manusia setengah dewa, bukan lagunya Iwan Fals) Yunani
terkuat. Kekuatan utamanya terletak pada kekebalan tubuh, yang didapatkannya
ketika Achilles kecil setelah direndam oleh sang ibu, Thetis, di Sungai Styx (satu
dari empat sungai di ‘akhirat’ dalam mitologi Yunani). Setelah pengalaman
mengerikan direndam di sungai busuk itu, Achilles tidak mempan ditusuk,
ditombak, atau serangan fisik apapun. Seluruh tubuhnya benar-benar seperti
tembok baja yang jangankan ditembus, tergores saja tidak. Kecuali tumitnya.
Dikisahkan dalam Iliad bahwa Achilles menemui ajal menjelang
akhir Perang Troya, ketika Paris menembakkan panah yang menancap di tumitnya.
Tumit ini adalah satu-satunya bagian tubuh Achilles yang dulunya tidak terendam
air busuk Styx, penambat antara dirinya dengan dunia fana. Satu-satunya titik
lemah Achilles akhirnya menjadi titik fatal. Satu saja tusukan panah di tumitnya
membawa Achilles pada kematian.
Istilah Tumit Achilles kemudian diadaptasi dari mitologi ini untuk
mendeskripsikan kelemahan fatal dari suatu hal. Titik fatal yang dapat membawa
sesuatu dalam masalah besar terlepas dari segala kekuatan di bagian lain.
Lantas, apa hubungannya dengan energi nuklir?
Ditengah ancaman perubahan iklim yang makin nyata, ditambah dengan
tingkat polusi yang kian membahayakan, seruan untuk beranjak dari energi fosil
semakin santer terdengar. Namun, terlepas dari fakta teknis dan historisnya,
banyak negara yang enggan untuk beralih ke energi nuklir. Kenapa? Karena energi
nuklir dianggap memiliki tumit Achilles: Keselamatan reaktor nuklir.
Sebagaimana kita ketahui, pasca kecelakaan PLTN Chernobyl Unit 4,
ekspansi energi nuklir dunia terhambat. Amerika Serikat yang memiliki jumlah
PLTN terbanyak di dunia tidak lagi membangun PLTN baru selama 30 tahun, sebelum
PLTN Watts Bar 2 disambungkan ke jaringan listrik pada tahun 2016. Italia melakukan
referendum untuk berhenti menggunakan energi nuklir dan menyatakan bahwa PLTN
ilegal di negara tersebut. Sebelum kecelakaan PLTN Chernobyl, sejumlah 409 PLTN
telah dibangun dan beroperasi. Namun, pasca kecelakaan, hanya 194 PLTN yang
tersambung ke jaringan listrik selama tiga dekade yang sama.
Kondisi tidak lebih baik ketika PLTN Fukushima Daiichi mengalami
kecelakaan pada tahun 2011, tidak lama setelah Jepang dihantam oleh gempa dan
tsunami Tohoku. Progres pembangunan PLTN di seluruh dunia distop sementara selagi
dilakukan evaluasi besar-besaran terhadap sistem keselamatannya. Jerman, yang
sudah dilanda wabah gerakan anti-nuklir kronis, terpaksa menyerah pada tekanan
Partai Hijau dan mendeklarasikan bahwa mereka akan phase-out energi
nuklir paling lambat pada tahun 2022, walau pada akhirnya baru pada akhir 2023
PLTN terakhir di Jerman ditutup. Swiss awalnya agak tertekan dengan pengaruh
Jerman, sebelum referendum kemudian memutuskan untuk tetap menggunakan energi
nuklir. Belgia pun ditekan Jerman dan ‘terpaksa’ menutup PLTN pada tahun 2025,
kalau tidak ada perubahan rencana. Demikian pula Spanyol, walau terdapat
penentangan dari public.
Jika kedua kecelakaan tersebut dipelajari, maka sebenarnya efek
ketakutan pasca kecelakaan PLTN ini bisa dikatakan mengherankan. Seolah-olah
semua rekam jejak keselamatan PLTN yang luar biasa menjadi tidak ada artinya. Keselamatan
reaktor nuklir seakan menjadi tumit Achilles bagi energi nuklir; terjadi
kecelakaan sekali, dan akibatnya fatal untuk seluruh industri nuklir.
Bagaimana mungkin, kecelakaan PLTN Chernobyl yang hanya mungkin terjadi
dalam kondisi ekstrem, jauh diluar kondisi operasional normal, dijadikan benchmark
dari level keselamatan reaktor nuklir? Bagaimana mungkin, kecelakaan yang
hanya mungkin menimpa reaktor tipe RBMK, yang tidak pernah ada diluar bekas
negara Uni Soviet, dianggap dapat terjadi di reaktor tipe lain? Bahkan seandainya
supervisor dan operator Chernobyl Unit 4 mengindahkan peringatan yang dikeluarkan
oleh sistem reaktor, dengan sistem keselamatan sedemikian buruknya, kecelakaan
itu tidak akan pernah terjadi.
Kecelakaan PLTN Chernobyl pun “hanya” menyebabkan kematian sekitar 30
orang. Ada beragam estimasi tentang “kematian tertunda” akibat efek stokastik
radiasi nuklir, entah itu 4.000 orang atau 16.000 orang, tapi tidak pernah
tampak buktinya hingga sekarang dan oleh UNSCEAR dianggap angin lalu. Tapi
katakanlah memang ada 16.000 kematian tambahan, itu masih jauh lebih rendah
daripada 8,7 juga kematian prematur tiap tahun akibat pembakaran energi fosil
di seluruh dunia.
Angka 16.000 itu sangat disputable dan dibagi 30 tahun lebih. Sementara
8,7 juta kematian prematur itu tiap tahun. Coba renungkan.
Tidak seperti PLTN Chernobyl, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi sama
sekali tidak menyebabkan korban jiwa. Walau sama-sama merupakan kecelakaan
dengan INES Level 7, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi “hanya” melepaskan
material radioaktif volatil ke lingkungan, itupun dalam level yang tidak cukup
tinggi untuk membahayakan penduduk setempat. Ironisnya, kecelakaan yang tidak
merenggut satupun nyawa manusia ini jauh lebih dibombastisasi daripada tsunami
Tohoku yang menyebabkan korban jiwa hingga 19.000 orang.
Bayangkan memfokuskan pemberitaan pada ‘kebocoran radioaktif’ yang tidak
membunuh siapapun dan hampir melupakan 19.000 jiwa yang terenggut akibat
tsunami dan gempa. Ini bermoral, kah?
Memang terjadi kontaminasi radioaktif di sekitar Prefektur Fukushima,
tetapi tidak dalam level membahayakan manusia. Material radioaktif yang
terlepas ke lautan Pasifik pun tidak lebih banyak daripada material lepasan uji
ledak senjata nuklir di era Perang DIngin. Ikan dan biota laut lainnya di laut
sekitar Fukushima tetap hidup dalam damai, dan tetap aman dimakan. Bahkan
sekalipun seluruh air tritium di penampungan limbah cair Fukushima Daiichi
dibuang sekaligus ke laut dalam satu tahun, biota laut tetap tidak akan
terkontaminasi material radioaktif apapun.
Ditengah akses informasi yang jauh lebih luas dibandingkan 25 tahun
sebelumnya, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi memicu gelombang ketakutan yang
tidak kalah besar dibandingkan kecelakaan PLTN Chernobyl. Tiap diskusi dan
pembicaraan mengenai nuklir, sedikit-sedikit dilontarkan kata “Fukushima!”
Bahkan pembicaraan tentang energi nuklir seolah menjadi tabu di berbagai forum
ilmiah. Sedikit sekali pertemuan ilmiah tentang energi yang membahas nuklir.
Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi terjadi karena kelalaian TEPCO selaku
operator dalam mendesain tata letak PLTN. Dinding laut yang seharusnya setinggi
10 meter, dipangkas menjadi 5 meter. Mesin Diesel untuk pendinginan pasca-padam
ditaruh di basement yang mudah terendam air. Kelalaian ini terbukti
fatal, karena ketika tsunami Tohoku sukses melewati dinding laut, mesin Diesel
pun terendam, dan sisanya sudah tahu sendiri.
Menilik dua faktor utama ini, sebenarnya layakkah negara-negara yang
tidak memiliki risiko tsunami sebesar Jepang untuk mati-matian memperbaiki
sistem keselamatan untuk mencegah skenario yang tidak akan terjadi pada mereka?
Logiskah kecelakaan minus korban jiwa dan minim dampak radiasi ini menjadi
alasan untuk meninggalkan energi nuklir?
Respon berlebihan industri nuklir dalam menyikapi kecelakaan PLTN
Fukushima Daiichi ini bisa jadi justru merupakan bumerang bagi industri itu
sendiri; karena seolah mereka mengonfirmasi bahwa keselamatan reaktor nuklir
memang tumit Achilles dari energi nuklir, sehingga wajib dilindungi dengan cara
apapun.
Di sinilah kita seringkali bersikap tidak adil. Kecelakaan pembangkit yang
level terparahnya tidak mungkin menyebabkan bencana massal yang membunuh
sepertiga Eropa selayaknya Black Death sudah dianggap cukup menjadi
legitimasi bahwa energi ini berbahaya, risk-over-benefit. Padahal, kalau
mau dikomparasi, energi nuklir tetaplah yang paling selamat dibandingkan moda
energi lain.
Dari data kematian akibat sumber energi, dan didapatkan bahwa nuklir
hanya menyebabkan 0,04 kematian per TWh energi dibangkitkan. Itu angkanya juga
masih pakai data WHO yang ditambah 4.000 kematian tambahan (sangat
dipertanyakan). Bandingkan dengan batubara yang menyebabkan 244 kematian per TWh.
Bahkan energi bayu dan surya masing-masing menyebabkan 0,15 dan 0,1 kematian
per TWh, masih lebih tinggi dari nuklir! Sementara, Kharecha dan Hansen (2013),
mengkalkulasi bahwa secara historis, energi nuklir sukses mencegah 1,84 juta
kematian akibat polusi energi fosil selama 50 tahunan sejarah operasionalnya.
Jika dampak radiasi yang ditakutkan publik, maka faktanya hingga saat
ini dampak radiasi dari kecelakaan PLTN Chernobyl tidak tampak, dan tingkat
ketidakpastian statistiknya terlalu tinggi. Yang ada, hewan dan tumbuhan liar berproliferasi
dengan damai di zona eksklusi Chernobyl, tanpa gangguan genetik dan bahkan
serigala di sana jadi lebih resisten kanker. Sementara, para pakar radiasi dan
kesehatan dunia yang kredibel tidak ada perbedaan pendapat bahwa kecelakaan
PLTN Fukushima Daiichi tidak akan menyebabkan dampak kesehatan pada masyarakat
sekitar, apalagi dunia.
Energi nuklir menyelamatkan lebih banyak jiwa daripada merenggutnya.
Mengerikan sekali jika sebuah kecelakaan dengan dampak riil tidak begitu
besar menghilangkan kepercayaan pada seluruh industri. Jika orang-orang tetap
mau naik pesawat walau sudah berulang kali terjadi kecelakaan fatal dengan
ratusan korban jiwa, kenapa orang tidak mau menggunakan PLTN hanya karena
pernah terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa jauh lebih sedikit?
Sesungguhnya keselamatan reaktor nuklir bukanlah tumit Achilles bagi
energi nuklir. Jikalau ada, tumit Achilles itu adalah misinformasi terhadap
keselamatan reaktor nuklir itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar