Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Sebagaimana kita sudah pahami bersama, radiasi nuklir seringkali menjadi
momok bagi masyarakat umum. Sebagaimana fenomena di dunia sains lainnya seperti
vaksin dan GMO, ketakutan terhadap radiasi pada dasarnya disebabkan pemahaman
yang kurang dan edukasi yang belum sampai (ditambah propaganda kalangan kontra).
Sebagai pengecualian, ketakutan terhadap radiasi nuklir diperparah dengan
regulasi keselamatan nuklir yang mengasumsikan “tidak ada dosis radiasi yang
selamat.” Seolah-olah kena radiasi gamma sedikit saja langsung, “Oh tidak, saya
akan kena kanker 40 tahun lagi!” Padahal sehari-hari makan gorengan (yang notabene
lebih karsinogenik daripada radiasi nuklir) tidak kira-kira.
Sementara, data-data riil menunjukkan bahwa klaim seperti itu keliru.
Termasuk data di Mamuju, Sulawesi Barat.
Kenapa Mamuju? Ada apa?
Selain Bangka Belitung, yang punya pabrik timah dan produk sampingannya
adalah pasir monasit yang mengandung uranium dan thorium, Mamuju merupakan
daerah yang memiliki radiasi latar tinggi. Kenapa? Ya karena tanahnya mengandung
uranium dan thorium juga. Artinya, penduduk Mamuju menerima dosis radiasi
tahunan lebih tinggi dibandingkan sebagian besar daerah lain di Indonesia. Kalau
misalkan klaim “tidak ada dosis radiasi yang selamat” itu benar, maka harusnya penduduk
Mamuju lebih banyak mengalami mutasi genetik akibat radiasi, kan?
Sebagai perspektif, penduduk dunia rata-rata menerima dosis radiasi 2,4
mSv/tahun dari berbagai jenis sumber paparan. Sementara, di Mamuju, dosis radiasi
yang diterima mencapai rata-rata 6,15 mSv/tahun, bahkan tertinggi hingga 18,62
mSv/tahun. Sebagai komparasi, penduduk sekitar Belarusia, Ukraina, dan Rusia
yang terdampak jatuhan radioaktif dari kecelakaan Chernobyl menerima dosis
tambahan kurang dari 2,5 mSv dalam waktu 19 tahun pasca kecelakaan. Jadi,
manusia Mamuju hidup dengan dosis radiasi lebih tinggi daripada manusia
Chernobyl.
Apa implikasinya? Kalau mau bicara risiko, maka penduduk Mamuju lebih
berisiko terkena dampak negatif radiasi dibandingkan penduduk negara sekitar
Chernobyl. Namun, apa benar begitu?
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari BATAN menunjukkan
bahwa radiasi latar di Mamuju tidak secara signifikan memengaruhi kualitas
hidup masyarakat. Misalkan pada penelitian Alatas (2012). Penelitian tersebut
menganalisis respon sitogenik pada penduduk Mamuju, khususnya aberasi kromosom
yang merupakan indikasi kerusakan DNA oleh paparan radiasi pengion.
Sampel darah dari 30 orang penduduk Desa Botteng, Mamuju, dianalisis
untuk dicek kerusakan pada kromosomnya. Hasilnya, tidak ditemukan adanya
aberasi kromosom pada penduduk yang dicek darahnya. Padahal, dosis radiasi
setempat mencapai 6,51 mSv/tahun. Jauh lebih tinggi daripada rerata dosis
radiasi alam yang diterima penduduk dunia dan lebih tinggi pula dari nilai
batas dosis (NBD) eksternal yang ditetapkan oleh Bapeten bagi masyarakat umum.
Penelitian berikutnya pada tahun 2016 di desa yang sama menggunakan
indeks binukleus untuk menganalisis abnormalitas pada limfosit darah penduduk.
Hasilnya, nilai indeks binukleus penduduk Desa Botteng relatif sama dengan
nilai pada daerah kontrol (23,58 ± 9,60 untuk Desa Botteng dan 23,47 ± 6,24 untuk kontrol). Namun, para peneliti mengakui bahwa sampel yang
diambil terlalu sedikit, hanya 13 sampel untuk Desa Botteng maupun kontrol,
sehingga perlu dievaluasi lagi.
Tahun
berikutnya, dipublikasikan penelitian tentang penggunaan γ-H2AX sebagai
biomarker untuk double strand break (DSB) pada DNA. DSB merupakan
indikator kerusakan DNA lain akibat paparan radiasi pengion. Pengujian pada
sampel darah 45 sukarelawan yang tinggal di berbagai desa di Mamuju (37 subjek
uji, 8 kontrol) menunjukkan bahwa foci γ-H2AX pada subjek sedikit lebih tinggi
daripada kontrol, yang mengindikasikan frekuensi DSB DNA lebih tinggi. Namun,
secara statistik, perbedaan itu tidak signifikan. Sehingga, bisa dikatakan
relatif tidak ada perbedaan berarti antara subjek penelitian dan kontrol.
Penelitian
lain dilakukan menggunakan parameter analisis indeks mitosis dan indeks
pembelahan nuklir (maksudnya inti atom dalam sel, bukan reaksi fisi nuklir). Indeks
ini terkait dengan proliferasi limfosit pada darah. Penelitian ini dilakukan di
Desa Takandeang dan melibatkan 60 sampel (35 uji, 25 kontrol). Hasilnya, indeks
mitosis rata-rata penduduk Desa Takandeang, baik manual maupun otomatis, serta
indeks pembelahan nuklir, menunjukkan perbedaan statistik yang tidak
signifikan. Dengan demikian, paparan radiasi lebih tinggi tidak memberikan
dampak yang cukup berarti pada penduduk Desa Takandeang.
Penelitian terbaru
yang terbit pada tahun 2020 menggunakan parameter analisis yang sama tetapi mengambil
sampel dari tempat berbeda, yakni Desa Salletto dan Ahu, Mamuju. Sebanyak 43
sampel darah dari penduduk kedua desa tersebut dibandingkan dengan kelompok
kontrol sebanyak 31 sampel. Hasilnya mirip dengan penelitian Ramadhani (2017),
bahwa walaupun terdapat perbedaan indeks, tetapi tidak cukup signifikan secara
statistik. Paparan radiasi latar lebih tinggi tidak terbukti menyebabkan masalah
pada genetika penduduk Mamuju.
Terkejut?
Tidak usah.
Manusia memang
memiliki mekanisme perbaikan biologis. Selama threshold perbaikan
biologis tersebut tidak terlampaui, tubuh manusia masih bisa memulihkan diri.
Maka, tidak logis jika dikatakan “tidak ada dosis radiasi yang selamat,”
sekalipun itu untuk kepentingan proteksi radiasi. Mengklaim bahwa “tidak ada
dosis radiasi yang selamat” sama sekali tidak membantu meningkatkan
perlindungan terhadap potensi bahaya radiasi dalam dosis tinggi. Justru, klaim
itu menyebabkan persepsi dan ketakutan keliru di tengah masyarakat. Publik jadi
menganggap bahwa radiasi itu pasti selalu berbahaya, padahal tidak.
Mamuju,
Ramsar, Kerala, Guarapari, dan berbagai daerah lain di planet bumi menjadi
bukti sahih bahwa radiasi latar dosis tinggi tidak membahayakan masyarakat.
Yang membahayakan adalah mitos-mitos bahwa radiasi nuklir itu membahayakan
dalam dosis apapun. Mitos itulah yang sangat menghambat pemanfaatan energi
nuklir, karena orang sudah takut duluan dan akhirnya menuntut standar
keselamatan yang tidak kira-kira. Padahal masih banyak hal yang mungkin memperpendek
umur manusia ketimbang radiasi nuklir, seperti menghirup udara Jabodetabek
tanpa masker. Tidak sekalian saja regulasi kebersihan udara diatur super ketat?
0 komentar:
Posting Komentar