Minggu, 07 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 28: Radiasi Mamuju Membahayakan? Tidak.

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Sebagaimana kita sudah pahami bersama, radiasi nuklir seringkali menjadi momok bagi masyarakat umum. Sebagaimana fenomena di dunia sains lainnya seperti vaksin dan GMO, ketakutan terhadap radiasi pada dasarnya disebabkan pemahaman yang kurang dan edukasi yang belum sampai (ditambah propaganda kalangan kontra). Sebagai pengecualian, ketakutan terhadap radiasi nuklir diperparah dengan regulasi keselamatan nuklir yang mengasumsikan “tidak ada dosis radiasi yang selamat.” Seolah-olah kena radiasi gamma sedikit saja langsung, “Oh tidak, saya akan kena kanker 40 tahun lagi!” Padahal sehari-hari makan gorengan (yang notabene lebih karsinogenik daripada radiasi nuklir) tidak kira-kira.

Sementara, data-data riil menunjukkan bahwa klaim seperti itu keliru. Termasuk data di Mamuju, Sulawesi Barat.

Kenapa Mamuju? Ada apa?

Selain Bangka Belitung, yang punya pabrik timah dan produk sampingannya adalah pasir monasit yang mengandung uranium dan thorium, Mamuju merupakan daerah yang memiliki radiasi latar tinggi. Kenapa? Ya karena tanahnya mengandung uranium dan thorium juga. Artinya, penduduk Mamuju menerima dosis radiasi tahunan lebih tinggi dibandingkan sebagian besar daerah lain di Indonesia. Kalau misalkan klaim “tidak ada dosis radiasi yang selamat” itu benar, maka harusnya penduduk Mamuju lebih banyak mengalami mutasi genetik akibat radiasi, kan?

Sebagai perspektif, penduduk dunia rata-rata menerima dosis radiasi 2,4 mSv/tahun dari berbagai jenis sumber paparan. Sementara, di Mamuju, dosis radiasi yang diterima mencapai rata-rata 6,15 mSv/tahun, bahkan tertinggi hingga 18,62 mSv/tahun. Sebagai komparasi, penduduk sekitar Belarusia, Ukraina, dan Rusia yang terdampak jatuhan radioaktif dari kecelakaan Chernobyl menerima dosis tambahan kurang dari 2,5 mSv dalam waktu 19 tahun pasca kecelakaan. Jadi, manusia Mamuju hidup dengan dosis radiasi lebih tinggi daripada manusia Chernobyl.

Apa implikasinya? Kalau mau bicara risiko, maka penduduk Mamuju lebih berisiko terkena dampak negatif radiasi dibandingkan penduduk negara sekitar Chernobyl. Namun, apa benar begitu?

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari BATAN menunjukkan bahwa radiasi latar di Mamuju tidak secara signifikan memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Misalkan pada penelitian Alatas (2012). Penelitian tersebut menganalisis respon sitogenik pada penduduk Mamuju, khususnya aberasi kromosom yang merupakan indikasi kerusakan DNA oleh paparan radiasi pengion.

Sampel darah dari 30 orang penduduk Desa Botteng, Mamuju, dianalisis untuk dicek kerusakan pada kromosomnya. Hasilnya, tidak ditemukan adanya aberasi kromosom pada penduduk yang dicek darahnya. Padahal, dosis radiasi setempat mencapai 6,51 mSv/tahun. Jauh lebih tinggi daripada rerata dosis radiasi alam yang diterima penduduk dunia dan lebih tinggi pula dari nilai batas dosis (NBD) eksternal yang ditetapkan oleh Bapeten bagi masyarakat umum.

Penelitian berikutnya pada tahun 2016 di desa yang sama menggunakan indeks binukleus untuk menganalisis abnormalitas pada limfosit darah penduduk. Hasilnya, nilai indeks binukleus penduduk Desa Botteng relatif sama dengan nilai pada daerah kontrol (23,58 ± 9,60 untuk Desa Botteng dan 23,47 ± 6,24 untuk kontrol). Namun, para peneliti mengakui bahwa sampel yang diambil terlalu sedikit, hanya 13 sampel untuk Desa Botteng maupun kontrol, sehingga perlu dievaluasi lagi.

Tahun berikutnya, dipublikasikan penelitian tentang penggunaan γ-H2AX sebagai biomarker untuk double strand break (DSB) pada DNA. DSB merupakan indikator kerusakan DNA lain akibat paparan radiasi pengion. Pengujian pada sampel darah 45 sukarelawan yang tinggal di berbagai desa di Mamuju (37 subjek uji, 8 kontrol) menunjukkan bahwa foci γ-H2AX pada subjek sedikit lebih tinggi daripada kontrol, yang mengindikasikan frekuensi DSB DNA lebih tinggi. Namun, secara statistik, perbedaan itu tidak signifikan. Sehingga, bisa dikatakan relatif tidak ada perbedaan berarti antara subjek penelitian dan kontrol.

Penelitian lain dilakukan menggunakan parameter analisis indeks mitosis dan indeks pembelahan nuklir (maksudnya inti atom dalam sel, bukan reaksi fisi nuklir). Indeks ini terkait dengan proliferasi limfosit pada darah. Penelitian ini dilakukan di Desa Takandeang dan melibatkan 60 sampel (35 uji, 25 kontrol). Hasilnya, indeks mitosis rata-rata penduduk Desa Takandeang, baik manual maupun otomatis, serta indeks pembelahan nuklir, menunjukkan perbedaan statistik yang tidak signifikan. Dengan demikian, paparan radiasi lebih tinggi tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada penduduk Desa Takandeang.

Penelitian terbaru yang terbit pada tahun 2020 menggunakan parameter analisis yang sama tetapi mengambil sampel dari tempat berbeda, yakni Desa Salletto dan Ahu, Mamuju. Sebanyak 43 sampel darah dari penduduk kedua desa tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol sebanyak 31 sampel. Hasilnya mirip dengan penelitian Ramadhani (2017), bahwa walaupun terdapat perbedaan indeks, tetapi tidak cukup signifikan secara statistik. Paparan radiasi latar lebih tinggi tidak terbukti menyebabkan masalah pada genetika penduduk Mamuju.

Terkejut? Tidak usah.

Manusia memang memiliki mekanisme perbaikan biologis. Selama threshold perbaikan biologis tersebut tidak terlampaui, tubuh manusia masih bisa memulihkan diri. Maka, tidak logis jika dikatakan “tidak ada dosis radiasi yang selamat,” sekalipun itu untuk kepentingan proteksi radiasi. Mengklaim bahwa “tidak ada dosis radiasi yang selamat” sama sekali tidak membantu meningkatkan perlindungan terhadap potensi bahaya radiasi dalam dosis tinggi. Justru, klaim itu menyebabkan persepsi dan ketakutan keliru di tengah masyarakat. Publik jadi menganggap bahwa radiasi itu pasti selalu berbahaya, padahal tidak.

Mamuju, Ramsar, Kerala, Guarapari, dan berbagai daerah lain di planet bumi menjadi bukti sahih bahwa radiasi latar dosis tinggi tidak membahayakan masyarakat. Yang membahayakan adalah mitos-mitos bahwa radiasi nuklir itu membahayakan dalam dosis apapun. Mitos itulah yang sangat menghambat pemanfaatan energi nuklir, karena orang sudah takut duluan dan akhirnya menuntut standar keselamatan yang tidak kira-kira. Padahal masih banyak hal yang mungkin memperpendek umur manusia ketimbang radiasi nuklir, seperti menghirup udara Jabodetabek tanpa masker. Tidak sekalian saja regulasi kebersihan udara diatur super ketat?

0 komentar:

Posting Komentar