Sabtu, 06 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 27: Radiasi Nuklir vs Rokok, Lebih Bahaya Mana?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Tidak lama sebelum pandemi Covid-19 menghantam dunia, membuat berbagai negara lockdown dan menghentikan banyak sekali aktivitas kehidupan manusia, di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, ditemukan material radioaktif “nyasar” di sebuah petak tanah di depan Blok J. Entah sejak kapan material radioaktif itu ada di sana dan bagaimana persisnya bisa nyasar, yang jelas muncul histeria nasional soal bahaya radiasi dari material radioaktif itu. LSM Neo-Malthusian berkedok lingkungan pun sampai menyerang sistem pengelolaan limbah radioaktif Indonesia, walau argumennya ngawur semua dan lebih gampang dibantah daripada membantah delusi kaum bumi datar.

Walau banyak yang khawatir terkait kontaminasi dan bahayanya kemana-mana—keduanya tidak terbukti—kelihatannya warga agak-agak belum bisa membandingkan antara risiko satu dengan risiko lain. Memang, sih, radiasi bisa berbahaya kalau tidak ditangani dengan baik. Tapi ada juga satu hal yang dikonsumsi banyak orang dan mereka tidak peduli soal bahayanya: rokok.

Radiasi nuklir yang nyasar di Batan Indah itu bentuknya radiasi gamma, bersumber dari caesium-137. Orang takutnya karena daya tembus dan daya jangkaunya tinggi, meski kemampuannya menendang elektron dari orbitnya paling rendah. Walau begitu, kalau terpapar terlalu banyak, risiko kanker sampai kematian bisa mengincar.

Radiasi gamma memang dapat menyebabkan dampak negatif pada tubuh manusia. Namun, dampak tersebut baru tampak pada dosis radiasi tinggi. Sebagaimana dianalisis oleh Allison (2009), terdapat threshold dari dosis radiasi serentak, yakni sebesar 100 mSv. Artinya, jika dalam satu waktu singkat, dalam orde menit atau jam, seseorang terpapar radiasi nuklir dengan dosis 100 mSv, maka akan terjadi kenaikan potensi kanker yang mungkin (bold, italic, underline) baru tampak beberapa puluh tahun ke depan. Itupun kalau kankernya benar-benar muncul. Atau orangnya masih hidup.

Dosis radiasi serentak minimal yang dapat menyebabkan kematian adalah sekitar 4.000 mSv. Terpapar radiasi dalam jumlah sebesar ini, kematian dapat terjadi dalam beberapa minggu, jika tidak ditangani sebagaimana mestinya. Kalau 10.000 mSv? Jangan lupa talqin dulu.

Bagaimana dengan dosis radiasi yang diterima dalam rentang waktu tertentu? Allison (2009) mengungkapkan angka 100 mSv/bulan menjadi batas konservatif dari paparan radiasi jangka panjang. Angka ini jauh lebih tinggi dari ketentuan regulasi nuklir, misalkan 20 mSv/tahun untuk pekerja radiasi dan 1 mSv/tahun untuk masyarakat umum. Angka dalam regulasi ini sama sekali tidak berarti bahwa ketika manusia menerima dosis radiasi lebih tinggi dari batasan, lalu pasti terkena dampak kesehatan. Sama sekali tidak bermakna seperti itu. Batasan itu dibuat hanya sebagai pembatas untuk tidak perlu bermain-main dengan sumber radiasi kalau tidak perlu.

Berdasarkan informasi dari BATAN per 18 Februari 2020, tingkat paparan radiasi dari material radioaktif nyasar itu hanya tinggal 7 µSv/jam. Angka ini kurang dari sepersepuluh ribu dosis yang dapat menyebabkan kenaikan potensi kanker. Kalau dikonversi ke tahun, angkanya jadi 61 mSv/tahun. Angka ini lebih tinggi daripada batasan regulasi nuklir, tetapi masih jauh lebih rendah daripada limit yang disebutkan tadi.

Kalau sekarang, sih, sudah selesai dekontaminasi. Jadi mau tidur di atas petak tanah itu selama setahun penuh juga tidak akan kena dampak radiasinya. Paling dipertanyakan kewarasannya oleh orang-orang yang lewat.

Beberapa pihak mungkin mengatakan bahwa “tidak ada dosis radiasi yang selamat.” Artinya, serendah apapun radiasi nuklir, akan ada potensi menyebabkan kanker. Namun, argumentasi ini tidak beralasan, tidak memiliki justifikasi secara ilmiah. Pasalnya, argumentasi ini dilandaskan pada model linear no-threshold (LNT), yang tidak pernah terbukti dan dipenuhi kecacatan historis, teoretis, maupun faktual.

Lagipula, penduduk di Kerala, India, hidup dengan radiasi latar hingga mencapai 70 mSv/tahun dan tidak ada kenaikan insidensi kanker. Malah, kasus insidensi kanker di Kerala hanya sepertiga dari kasus Australia. Kalau klaim “tidak ada dosis radiasi yang selamat” itu benar, harusnya penduduk Kerala sudah banyak menderita kanker. Namun faktanya tidak demikian. Demikian juga di Mamuju.

Singkatnya, sangat sulit bagi manusia untuk terkena dampak kesehatan dari radiasi nuklir. Mengingat, dampak radiasi nuklir dosis rendah bisa dikatakan tidak ada, sementara untuk mendapatkan paparan radiasi dosis tinggi sangat sulit untuk ditemukan kondisinya. Risiko seseorang terkena masalah kesehatan akibat radiasi nuklir itu sangat rendah, termasuk dalam kasus Perumahan Batan Indah.

Daripada radiasi nuklir, seseorang lebih mungkin terkena kanker karena merokok. Sementara jumlah kematian karena efek radiasi dosis tinggi hanya sekitar 30 orang, itupun dari kecelakaan PLTN Chernobyl, merokok menyebabkan setidaknya 5 juta kematian tiap tahun dan dapat naik hingga 8 juta orang tiap tahunnya pada 2030. Rata-rata, perokok meninggal 10 tahun lebih awal daripada bukan perokok.

Dampak kesehatan utama dari rokok adalah kanker paru, dan berbagai penelitian telah membuktikan bahwa merokok menyebabkan kanker paru. Apakah semua perokok dapat terkena kanker paru-paru? Tidak juga, tetapi kenaikan risikonya tinggi. Penelitian di Eropa menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko terkena kanker paru berkisar 6,6-15,7%. Sementara, di Kanada, risikonya bisa mencapai 17,2%.

Kecil?

Coba bandingkan dengan bukan perokok yang risiko kanker parunya hanya 0,2-0,6%. Itu berapa puluh kali lipat kenaikan risikonya?

Bahkan, risiko kanker dapat naik ketika faktor radon dimasukkan dalam pertimbangan. Radon merupakan gas radioaktif yang merupakan hasil peluruhan dari uranium. Radon berada di alam dan dapat terakumulasi di rumah-rumah, terhirup oleh manusia. Walau tidak menyebabkan risiko kanker signifikan pada bukan perokok, kandungan radon sebesar 100 ppm meningkatkan risiko kanker pada perokok hingga 2%. Artinya, perokok lebih sensitif terhadap paparan radiasi dari radon, dan imbasnya lebih mungkin terkena kanker paru.

Untuk lebih menabur garam pada luka, rokok juga mengandung substansi radioaktif, dalam bentuk polonium-210. Sebagaimana radon, polonium-210 juga merupakan hasil peluruhan dari uranium. Merokok dua pak sehari selama setahun memberi dosis setara dengan 300 kali paparan sinar-X di dada. Sehingga, merokok sama saja dengan memasukkan bahan radioaktif dengan sukarela ke paru-paru.

Dari sini, dapat dilihat bahwa bahaya yang disebabkan oleh merokok jauh lebih nyata dan mematikan daripada radiasi nuklir. Sementara penggunaan material radioaktif diatur dengan ketat oleh regulasi, rokok beredar bebas tanpa aturan khusus, bahkan anak kecil pun bisa mengonsumsinya.

Rokok merupakan ancaman kesehatan yang jauh lebih besar terhadap kesehatan manusia daripada radiasi nuklir, tapi diregulasi jauh lebih longgar. Why? Apakah karena peraturan yang ada tidak berbasis pembuktian ilmiah untuk hal-hal seperti ini?

Ringkasnya jangan sampai keliru dalam menilai risiko. Seseorang lebih mungkin mati karena merokok daripada karena radiasi nuklir. Tidak perlu takut terhadap radiasi kalau asap rokok masih ditelan bulat-bulat tanpa ragu, karena radiasi jauh lebih tidak mematikan ketimbang karsinogen di dalam asap rokok.

0 komentar:

Posting Komentar