Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Energi nuklir
sudah terbukti memiliki banyak kegunaan. Potensi energinya yang mahadahsyat
bisa digunakan untuk membangkitkan energi secara efisien, murah, selamat, andal,
dan berkelanjutan. Selain listrik, bisa juga digunakan untuk keperluan proses
termal baik temperatur tinggi maupun rendah, walau untuk temperatur tinggi
harus menunggu Reaktor Generasi IV dulu. Selain energi, radiasi nuklir juga bermanfaat
untuk berbagai macam keperluan di bidang medis, industri, pertanian, dan lainnya.
Dengan segala kemanfaatannya
ini, apakah Indonesia memiliki program nuklir? Baik di sektor energi maupun
non-energi?
Untuk sektor
energi, sayang sekali, Indonesia belum memanfaatkannya. Mayoritas pembangkitan
energi di Indonesia masih menggunakan energi fosil, khususnya batubara dan gas
alam. Pemilihan batubara agak bisa dipahami karena cadangan batubara Indonesia
cukup besar. Sayangnya, batubara melepaskan emisi CO2 dan polutan
lain dalam jumlah besar ke udara, yang mana CO2 adalah penyebab pemanasan
global dan perubahan iklim, sementara polutan lain menghasilkan polusi udara
ambien yang menyebabkan berbagai penyakit kardiovaskuler.
Ide untuk
menggunakan PLTN di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama, setidaknya tahun
1970-an. Namun, program itu tidak pernah terealisasi hingga akhir masa Orde
Baru. Pada tahun 1990-an, wacana pembangunan PLTN diajukan di Semenanjung
Muria, yang mana lokasi tapaknya sudah dipelajari dan dinyatakan layak. Indonesia
kemudian dihantam krisis moneter 1998, mengacaukan semua rencana. Sekitar tahun
2007-an, rencana pembangunan PLTN Muria dimunculkan lagi, sebelum kemudian
penentangan warga sekitar yang dikompori oleh LSM anti-nuklir dan dibekingi
fatwa sesat “PLTN Muria Haram” kembali membatalkan rencana ini untuk kesekian
kalinya.
Apakah mayoritas
orang Indonesia anti-PLTN? Tidak juga. Survei yang dilakukan oleh BATAN pada
tahun 2016 menunjukkan bahwa 77,53% masyarakat mendukung PLTN. Bahkan di
Kalimantan Barat, penerimaan pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap
PLTN mencapai 93,67%. Jadi, sebenarnya hanya sedikit masyarakat yang tidak mau
ada PLTN. Hanya saja, untuk alasan tertentu, pemerintah tidak pernah kelihatan serius
mendukung program PLTN.
Bukan berarti
pengembangan konsep PLTN tidak pernah ada di Indonesia. BATAN pernah
mengembangkan desain konsep Reaktor Berpendingin Gas tipe VHTR, dengan daya 200
MWt dan temperatur luaran 950 °C. Pada tahun
2014-2019, BATAN mengembangkan program Reaktor Daya Eksperimental (RDE), yang juga
berbasis Reaktor Berpendingin Gas, HTGR, dengan daya 10 MWt dan temperatur luaran
700 °C. Reaktor ini tujuannya untuk
non-komersial, semata untuk menunjukkan bahwa SDM Indonesia mampu mendesain
reaktor daya nuklir sendiri. Memang RDE basisnya diambil dari HTR-10 yang sudah
beroperasi di Cina, tetapi ada beberapa modifikasi yang dilakukan untuk
optimasi desain.
Program RDE dilanjutkan
dalam bentuk Pembangkit Listrik dan Uap untuk Industri (PeLUIt), awalnya dengan
daya 150 MWt, lalu untuk purwarupa, dipilih daya kecil 40 MWt. Desain awal yang
masih mengadopsi HTR-10 kemudian dikembangkan lagi untuk dioptimalkan desainnya
dan ditingkatkan keekonomiannya, dengan mengubah geometri teras reaktor dan
menggunakan daur bahan bakar once through then out (OTTO).
Prodi Teknik
Nuklir di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga terlibat dalam riset teknologi
PLTN, meski tidak seintens di BATAN. Desain yang dikembangkan pertama kali
adalah MSR, dengan nama Passive Compact Molten Salt Reactor (PCMSR), yang
merupakan Reaktor Berpendingin Garam dengan temperatur luaran mencapai 1200 °C pada
desain awal, yang kemudian diturunkan menjadi 900 °C pada desain lanjutannya. Selain
untuk produksi listrik dan kalor temperatur tinggi, PCMSR juga bisa digunakan
untuk produksi radioisotop medis. Selain PCMSR, baru-baru ini dikembangkan juga
Gama Microreactor, yang merupakan konsep desain PLTN Mikro dengan daya 13 MWt/5
MWe. Reaktor ini berbasis pada Reaktor Berpendingin Logam, dengan bahan bakar
berbentuk serbuk dan sistem transfer panas menggunakan pipa kalor (heat pipe).
Di beberapa
universitas lain, riset tentang reaktor daya nuklir juga dilakukan, tetapi
tidak secara khusus mengembangkan desain tertentu.
Sejak munculnya
isu Net Zero Emission, wacana penggunaan energi nuklir di Indonesia
semakin menguat, setelah sebelumnya dipinggirkan seperti remah-remah rengginang
di dalam kaleng Khong Guan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017. Wacana
utama yang berdengung adalah penggunaan SMR untuk daerah-daerah luar Jawa,
seperti Kalimantan Barat. Calon tapak PLTN di Pantai Gosong, Bengkayang,
Kalimantan Barat, sedang diuji kelayakannya. Perusahaan PLTN SMR dari Amerika
Serikat, NuScale, sedang menjajak upaya kerjasama pengkajian kelayakan pembangunan
unit VOYAGR desain NuScale di Kalimantan Barat. Desain reaktor NuScale, yang
berbasis PWR, sudah terlisensi di US NRC, regulator nuklir Amerika Serikat.
Perusahaan rintisan
lain, ThorCon Power, mengajukan sesuatu yang lebih ambisius: membangun industri
PLTN di Indonesia, bukan hanya PLTN. Jadi dalam jangka panjang, pembangunan
PLTN mayoritas dilakukan di dalam negeri. ThorCon menawarkan TMSR-500, yang
berbasis pada teknologi MSR, dengan daya 500 MWe. Tapi karena MSR belum ada
yang komersial, mereka mengajukan dulu pembangunan non-fission test bed untuk
menguji aspek keselamatan reaktornya tanpa reaksi fisi nuklir, baru berlanjut
ke unit purwarupa dan kemudian unit komersial. PLTN TMSR-500 sedianya akan
dibangun di atas kapal tongkang, yang secara praktis menjadikannya sebagai PLTN
terapung. ThorCon menargetkan tahun 2032 PLTN TMSR-500 mereka sudah bisa beroperasi
di Indonesia. Target ini belum tentu mustahil, walau patut diakui sangat
ambisius.
Tidak cukup sampai
di sana, wacana PLTN Mikro pun mulai menggeliat. Ultra Safe Nuclear Corporation
(USNC), perusahaan rintisan lain, mengajukan kerjasama riset dan potensi
penerapan PLTN Mikro di Indonesia, dengan tujuan utama untuk de-Diesel-isasi. Menghapuskan
PLTD dari bumi Indonesia dan menggantinya dengan PLTN Mikro. Micro Modular
Reactor (MMR) yang ditawarkan USNC menerapkan teknologi HTGR, dengan tipe
bahan bakar prismatik dengan daya antara 5-15 MWe, dengan temperatur luaran 630
°C dan mampu beroperasi hingga 20 tahun tanpa mengganti bahan bakar. MMR tidak
perlu air untuk pendinginan reaktor, jadi sepertinya ditaruh di tengah hutan pun
tidak masalah.
Untuk PLTN besar,
malah belum ada tanda-tandanya. Dulu, BATAN sempat ada MoU dengan Korean Hydro
and Nuclear Power (KHNP) untuk studi pembangunan dua unit PLTN OPR-1000 di
Indonesia, tapi MoU itu tidak berlanjut. Rusia berulang kali menawarkan
teknologi VVER mereka ke Indonesia, tetapi respon pemerintah masih sedingin
salju di Siberia. Sementara, vendor lain belum ada pendekatan khusus ke sini.
Jadi, Indonesia
memang belum menggunakan energi nuklir hingga saat ini. BATAN (sekarang dilebur
ke BRIN) dan Teknik Nuklir UGM masih mengembangkan desain PLTN yang sekiranya cocok
untuk diaplikasikan di Indonesia. Perjalanan masih panjang, dan butuh dukungan
politik dan anggaran yang memadai dari negara agar pengembangan desain ini bisa
benar-benar diwujudkan. Karena kalau ditinjau, potensi penerapannya cukup
tinggi. Semoga saja dalam waktu dekat ada ketegasan dukungan supaya negeri ini
bisa segera menggunakan energi nuklir.
Kalau sektor energi
nuklir masih belum diterapkan di Indonesia, lantas bagaimana dengan sektor
non-energi?
0 komentar:
Posting Komentar