Kamis, 04 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 25: Apa Indonesia Punya PLTN?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Energi nuklir sudah terbukti memiliki banyak kegunaan. Potensi energinya yang mahadahsyat bisa digunakan untuk membangkitkan energi secara efisien, murah, selamat, andal, dan berkelanjutan. Selain listrik, bisa juga digunakan untuk keperluan proses termal baik temperatur tinggi maupun rendah, walau untuk temperatur tinggi harus menunggu Reaktor Generasi IV dulu. Selain energi, radiasi nuklir juga bermanfaat untuk berbagai macam keperluan di bidang medis, industri, pertanian, dan lainnya.

Dengan segala kemanfaatannya ini, apakah Indonesia memiliki program nuklir? Baik di sektor energi maupun non-energi?

Untuk sektor energi, sayang sekali, Indonesia belum memanfaatkannya. Mayoritas pembangkitan energi di Indonesia masih menggunakan energi fosil, khususnya batubara dan gas alam. Pemilihan batubara agak bisa dipahami karena cadangan batubara Indonesia cukup besar. Sayangnya, batubara melepaskan emisi CO2 dan polutan lain dalam jumlah besar ke udara, yang mana CO2 adalah penyebab pemanasan global dan perubahan iklim, sementara polutan lain menghasilkan polusi udara ambien yang menyebabkan berbagai penyakit kardiovaskuler.

Ide untuk menggunakan PLTN di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama, setidaknya tahun 1970-an. Namun, program itu tidak pernah terealisasi hingga akhir masa Orde Baru. Pada tahun 1990-an, wacana pembangunan PLTN diajukan di Semenanjung Muria, yang mana lokasi tapaknya sudah dipelajari dan dinyatakan layak. Indonesia kemudian dihantam krisis moneter 1998, mengacaukan semua rencana. Sekitar tahun 2007-an, rencana pembangunan PLTN Muria dimunculkan lagi, sebelum kemudian penentangan warga sekitar yang dikompori oleh LSM anti-nuklir dan dibekingi fatwa sesat “PLTN Muria Haram” kembali membatalkan rencana ini untuk kesekian kalinya.

Apakah mayoritas orang Indonesia anti-PLTN? Tidak juga. Survei yang dilakukan oleh BATAN pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 77,53% masyarakat mendukung PLTN. Bahkan di Kalimantan Barat, penerimaan pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap PLTN mencapai 93,67%. Jadi, sebenarnya hanya sedikit masyarakat yang tidak mau ada PLTN. Hanya saja, untuk alasan tertentu, pemerintah tidak pernah kelihatan serius mendukung program PLTN.

Bukan berarti pengembangan konsep PLTN tidak pernah ada di Indonesia. BATAN pernah mengembangkan desain konsep Reaktor Berpendingin Gas tipe VHTR, dengan daya 200 MWt dan temperatur luaran 950 °C. Pada tahun 2014-2019, BATAN mengembangkan program Reaktor Daya Eksperimental (RDE), yang juga berbasis Reaktor Berpendingin Gas, HTGR, dengan daya 10 MWt dan temperatur luaran 700 °C. Reaktor ini tujuannya untuk non-komersial, semata untuk menunjukkan bahwa SDM Indonesia mampu mendesain reaktor daya nuklir sendiri. Memang RDE basisnya diambil dari HTR-10 yang sudah beroperasi di Cina, tetapi ada beberapa modifikasi yang dilakukan untuk optimasi desain.

Program RDE dilanjutkan dalam bentuk Pembangkit Listrik dan Uap untuk Industri (PeLUIt), awalnya dengan daya 150 MWt, lalu untuk purwarupa, dipilih daya kecil 40 MWt. Desain awal yang masih mengadopsi HTR-10 kemudian dikembangkan lagi untuk dioptimalkan desainnya dan ditingkatkan keekonomiannya, dengan mengubah geometri teras reaktor dan menggunakan daur bahan bakar once through then out (OTTO).

Prodi Teknik Nuklir di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga terlibat dalam riset teknologi PLTN, meski tidak seintens di BATAN. Desain yang dikembangkan pertama kali adalah MSR, dengan nama Passive Compact Molten Salt Reactor (PCMSR), yang merupakan Reaktor Berpendingin Garam dengan temperatur luaran mencapai 1200 °C pada desain awal, yang kemudian diturunkan menjadi 900 °C pada desain lanjutannya. Selain untuk produksi listrik dan kalor temperatur tinggi, PCMSR juga bisa digunakan untuk produksi radioisotop medis. Selain PCMSR, baru-baru ini dikembangkan juga Gama Microreactor, yang merupakan konsep desain PLTN Mikro dengan daya 13 MWt/5 MWe. Reaktor ini berbasis pada Reaktor Berpendingin Logam, dengan bahan bakar berbentuk serbuk dan sistem transfer panas menggunakan pipa kalor (heat pipe).

Di beberapa universitas lain, riset tentang reaktor daya nuklir juga dilakukan, tetapi tidak secara khusus mengembangkan desain tertentu.

Sejak munculnya isu Net Zero Emission, wacana penggunaan energi nuklir di Indonesia semakin menguat, setelah sebelumnya dipinggirkan seperti remah-remah rengginang di dalam kaleng Khong Guan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017. Wacana utama yang berdengung adalah penggunaan SMR untuk daerah-daerah luar Jawa, seperti Kalimantan Barat. Calon tapak PLTN di Pantai Gosong, Bengkayang, Kalimantan Barat, sedang diuji kelayakannya. Perusahaan PLTN SMR dari Amerika Serikat, NuScale, sedang menjajak upaya kerjasama pengkajian kelayakan pembangunan unit VOYAGR desain NuScale di Kalimantan Barat. Desain reaktor NuScale, yang berbasis PWR, sudah terlisensi di US NRC, regulator nuklir Amerika Serikat.

Perusahaan rintisan lain, ThorCon Power, mengajukan sesuatu yang lebih ambisius: membangun industri PLTN di Indonesia, bukan hanya PLTN. Jadi dalam jangka panjang, pembangunan PLTN mayoritas dilakukan di dalam negeri. ThorCon menawarkan TMSR-500, yang berbasis pada teknologi MSR, dengan daya 500 MWe. Tapi karena MSR belum ada yang komersial, mereka mengajukan dulu pembangunan non-fission test bed untuk menguji aspek keselamatan reaktornya tanpa reaksi fisi nuklir, baru berlanjut ke unit purwarupa dan kemudian unit komersial. PLTN TMSR-500 sedianya akan dibangun di atas kapal tongkang, yang secara praktis menjadikannya sebagai PLTN terapung. ThorCon menargetkan tahun 2032 PLTN TMSR-500 mereka sudah bisa beroperasi di Indonesia. Target ini belum tentu mustahil, walau patut diakui sangat ambisius.

Tidak cukup sampai di sana, wacana PLTN Mikro pun mulai menggeliat. Ultra Safe Nuclear Corporation (USNC), perusahaan rintisan lain, mengajukan kerjasama riset dan potensi penerapan PLTN Mikro di Indonesia, dengan tujuan utama untuk de-Diesel-isasi. Menghapuskan PLTD dari bumi Indonesia dan menggantinya dengan PLTN Mikro. Micro Modular Reactor (MMR) yang ditawarkan USNC menerapkan teknologi HTGR, dengan tipe bahan bakar prismatik dengan daya antara 5-15 MWe, dengan temperatur luaran 630 °C dan mampu beroperasi hingga 20 tahun tanpa mengganti bahan bakar. MMR tidak perlu air untuk pendinginan reaktor, jadi sepertinya ditaruh di tengah hutan pun tidak masalah.

Untuk PLTN besar, malah belum ada tanda-tandanya. Dulu, BATAN sempat ada MoU dengan Korean Hydro and Nuclear Power (KHNP) untuk studi pembangunan dua unit PLTN OPR-1000 di Indonesia, tapi MoU itu tidak berlanjut. Rusia berulang kali menawarkan teknologi VVER mereka ke Indonesia, tetapi respon pemerintah masih sedingin salju di Siberia. Sementara, vendor lain belum ada pendekatan khusus ke sini.

Jadi, Indonesia memang belum menggunakan energi nuklir hingga saat ini. BATAN (sekarang dilebur ke BRIN) dan Teknik Nuklir UGM masih mengembangkan desain PLTN yang sekiranya cocok untuk diaplikasikan di Indonesia. Perjalanan masih panjang, dan butuh dukungan politik dan anggaran yang memadai dari negara agar pengembangan desain ini bisa benar-benar diwujudkan. Karena kalau ditinjau, potensi penerapannya cukup tinggi. Semoga saja dalam waktu dekat ada ketegasan dukungan supaya negeri ini bisa segera menggunakan energi nuklir.

Kalau sektor energi nuklir masih belum diterapkan di Indonesia, lantas bagaimana dengan sektor non-energi?

0 komentar:

Posting Komentar