Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Secara praktis,
99% PLTN dibangun di atas tanah. Statik, tidak bergerak. Sama seperti pembangkit
termal lainnya. Ada juga yang dipasang di atas kapal, untuk keperluan yang
lebih mobile. PLTN terapung akan sangat berguna untuk wilayah-wilayah
yang membutuhkan listrik bersih dan andal, tetapi kesulitan untuk mendapatkan lokasi
tapak pembangunan PLTN, yang perizinannya saja bisa makan bertahun-tahun dengan
kondisi regulasi saat ini.
Mengingat betapa
dahsyatnya lepasan energi nuklir, dan betapa sedikitnya bahan bakar yang dibutuhkan
untuk menghasilkan energi begitu besar, mungkin sebagian orang akan berpikir,
bagaimana kalau energi nuklir tidak cuma untuk dipakai di PLTN? Apakah bisa
dipakai di mobil? Pesawat terbang? Kereta api? Wahana luar angkasa? Roket? Kan,
luar biasa, tuh, kalau bisa dipakai untuk berbagai hal?
Ya, kedengarannya
menyenangkan sekali. Sayangnya, realita tidak selalu sesuai harapan.
Apakah PLTN bisa
dipasang di mobil? Jawaban singkatnya, tidak bisa.
Jawaban agak panjang,
sistem PLTN itu pembangkit termal, bukan sejenis internal combustion engine (ICE).
Tidak ada bahan bakar yang direaksikan dengan udara untuk kemudian menghasilkan
panas dan menggerakkan mesin. Jadi uranium tidak bisa digunakan untuk
menggantikan bensin/solar.
Kalau taruh
reaktor nuklir kecil di dalam kap mesin bisa, tidak? Jawabannya juga tidak. Sistem
reaktor nuklir terlalu rumit untuk ditaruh di kap mesin Avanza, apalagi Sigra. Plus,
butuh perisai radiasi cukup tebal dan berat untuk melindungi pengguna dari
bombardir radiasi gamma yang bisa membuat sopir dan penumpang bertemu malaikat Izrail
sebelum sempat berjalan dari rumah di Cibinong sampai ke Tol Jagorawi. Untuk
segala tujuan praktis, perisai radiasi ini (plus sistem reaktornya) akan
membuat mobil jadi super berat dan super besar. Dengan ukuran mobil sekarang
saja jalanan sudah macet dan bikin orang-orang tua di jalan. Apalagi kalau diperbesar
lagi mobilnya.
Plus, reaktor
nuklir tidak bisa diurus oleh bengkel pinggir jalan. Kalau misal ada masalah
dalam sistem konversi energinya, tidak semua orang boleh diizinkan untuk membongkar
kap mesin dan mengecek isinya. Apalagi mamang bengkel yang cuma tahu nuklir itu
dari bakso nuklir. Coba bongkar-bongkar seenaknya, tanpa prosedur keselamatan
yang baik, itu material radioaktif akan tersebar kemana-mana dan bikin kekacauan
nasional.
Menaruh reaktor
nuklir di dalam mobil adalah ide buruk dan tidak seharusnya dipertimbangkan
sama sekali. Apalagi motor. Don’t even think about it.
Paling memungkinkan
adalah mobil (dan tentu saja sepeda motor) tetap menggunakan sistem ICE, tetapi
bahan bakarnya diganti jadi bensin/solar sintetis zero emission yang
diproduksi menggunakan energi nuklir. Alternatifnya adalah mobil hydrogen
fuel cell (HFC) yang mana hidrogennya diproduksi menggunakan reaktor nuklir
temperatur tinggi. Bisa juga mobil listrik, yang mana listriknya disuplai dari
PLTN.
Kalau tidak bisa
di mobil, apakah bisa untuk pesawat terbang? Kan, dimensinya lebih besar?
Tidak semudah
itu, Ferguso.
Pesawat terbang memiliki
limitasi dari segi beban maksimum yang mampu diangkat agar bisa tinggal landas.
Masalahnya, lagi-lagi, adalah dari segi perisai radiasi dan konversi energi. Mesin
turbojet langsung membakar avtur untuk menggerakkan mesin. Reaktor nuklir harus
mengonversi energi agar panas yang dihasilkan bisa digunakan untuk menggerakkan
mesin jet, kemungkinan menggunakan turbin gas. Pesawat badan lebar yang biasa dipakai
untuk penerbangan jarak jauh membutuhkan sekitar 130-220 MW energi untuk bisa
lepas landas, dibagi menjadi empat reaktor, berarti butuh daya kira-kira 32,5-55
MW per reaktor. Dimensi reaktor, perisai radiasi, dan sistem konversi energi
yang dibutuhkan cukup… besar. Ditambah lagi soal dimensi pesawat, aerodinamika,
material, kesetimbangan berat, ribet.
Jangan lupa,
kalau terjadi kecelakaan pesawat yang membuatnya sampai jatuh dan hancur,
dekontaminasi area yang terpapar bahan bakar nuklir akan sangat menyulitkan. Bahkan
korban jiwa dari kecelakaanya bisa jadi terlupakan, karena semua orang akan
fokus pada kontaminasi radioaktifnya. What a disgrace.
Amerika Serikat
pernah membuat program aircraft reactor experiment (ARE), yang sedianya
akan digunakan di pesawat supersonik untuk keperluan militer. Sudah pernah
diuji dan reaktornya, sih, oke. Meski ada masalah lumayan di aspek korosi. Hanya
saja, setelah dipertimbangkan terus, ide ini dihentikan pengembangannya, dan ARE
dikembangkan jadi MSR.
Jadi, tidak,
sebaiknya pesawat terbang tidak usah pakai reaktor nuklir. Bukan tidak mungkin
sama sekali, tapi risikonya lebih tinggi daripada manfaatnya. Kalau mau pakai
nuklir, pakai saja avtur sintetis yang diproduksi dari energi nuklir. Lebih masuk
akal.
Kereta api? Sama
saja. Bukannya tidak pernah ada ide untuk itu, menggerakkan lokomotif
menggunakan kereta api sudah pernah diajukan di AS, Soviet, Jerman, dan Inggris
sejak 1950-an. Tetapi, masalah perisai radiasi, kekhawatiran akan keselamatan,
dan lainnya membuat tidak ada program lokomotif kereta bertenaga nuklir yang
terealisasikan. Belum lagi beban ke rel, batas kecepatan, dan sebagainya.
Tapi,
dibandingkan ide menaruh reaktor nuklir di mobil dan pesawat terbang, lokomotif
bertenaga nuklir masih agak lebih masuk akal. Apakah akan terwujud sebelum
dunia ini kiamat? Tidak tahu. Tidak jelas juga apakah ide ini masih akan
relevan dalam beberapa puluh tahun ke depan, ketika kereta cepat tenaga listrik
dan levitasi magnet sudah lebih efisien dalam memindahkan manusia dari satu stasiun
ke stasiun lain.
Untuk wahana
luar angkasa, maka sampai saat ini sudah banyak menggunakan energi nuklir,
walau dalam bentuk RTG. Jadi ada isotop bernama plutonium-238, karakternya
melepaskan panas dari peluruhan alfa. Panas ini dikonversi menggunakan generator
termoelektrik menjadi listrik, yang cukup untuk menggerakkan wahana di Mars
selama beberapa kilometer tanpa peduli siang atau malam. Bisa juga untuk mendayai
probe yang dikirim ke ruang angkasa nun jauh di sana. Foto-foto planet
dan objek langit jauh dikirim menggunakan sinyal yang mana listrik untuk
menghasilkan sinyalnya bersumber dari RTG bertenaga nuklir.
Cuma, memang
tidak banyak keperluan luar angkasa ini.
Kesimpulannya, agak
sulit untuk mengharapkan energi nuklir bisa digunakan langsung di wahana lain
seperti mobil, sepeda motor, pesawat terbang, dan kereta. Kalau secara tidak
langsung, peluangnya sangat besar. Karakteristik unik energi nuklir agak menyulitkan
untuk membuatnya bisa dipakai langsung di berbagai wahana transportasi. Setiap moda
pembangkitan energi ada plus minusnya, dan minusnya energi nuklir ada di sini.
Setidaknya, kekurangan
ini masih bisa dikompensasi dengan satu dan lain jalan, yakni dengan proses
termal temperatur tinggi untuk sintetis bahan bakar. Jadi masih bisa berperan walau
tidak secara langsung.
0 komentar:
Posting Komentar