Rabu, 03 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 24: Apakah PLTN Bisa Dipasang di Wahana Transportasi?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Secara praktis, 99% PLTN dibangun di atas tanah. Statik, tidak bergerak. Sama seperti pembangkit termal lainnya. Ada juga yang dipasang di atas kapal, untuk keperluan yang lebih mobile. PLTN terapung akan sangat berguna untuk wilayah-wilayah yang membutuhkan listrik bersih dan andal, tetapi kesulitan untuk mendapatkan lokasi tapak pembangunan PLTN, yang perizinannya saja bisa makan bertahun-tahun dengan kondisi regulasi saat ini.

Mengingat betapa dahsyatnya lepasan energi nuklir, dan betapa sedikitnya bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi begitu besar, mungkin sebagian orang akan berpikir, bagaimana kalau energi nuklir tidak cuma untuk dipakai di PLTN? Apakah bisa dipakai di mobil? Pesawat terbang? Kereta api? Wahana luar angkasa? Roket? Kan, luar biasa, tuh, kalau bisa dipakai untuk berbagai hal?

Ya, kedengarannya menyenangkan sekali. Sayangnya, realita tidak selalu sesuai harapan.

Apakah PLTN bisa dipasang di mobil? Jawaban singkatnya, tidak bisa.

Jawaban agak panjang, sistem PLTN itu pembangkit termal, bukan sejenis internal combustion engine (ICE). Tidak ada bahan bakar yang direaksikan dengan udara untuk kemudian menghasilkan panas dan menggerakkan mesin. Jadi uranium tidak bisa digunakan untuk menggantikan bensin/solar.

Kalau taruh reaktor nuklir kecil di dalam kap mesin bisa, tidak? Jawabannya juga tidak. Sistem reaktor nuklir terlalu rumit untuk ditaruh di kap mesin Avanza, apalagi Sigra. Plus, butuh perisai radiasi cukup tebal dan berat untuk melindungi pengguna dari bombardir radiasi gamma yang bisa membuat sopir dan penumpang bertemu malaikat Izrail sebelum sempat berjalan dari rumah di Cibinong sampai ke Tol Jagorawi. Untuk segala tujuan praktis, perisai radiasi ini (plus sistem reaktornya) akan membuat mobil jadi super berat dan super besar. Dengan ukuran mobil sekarang saja jalanan sudah macet dan bikin orang-orang tua di jalan. Apalagi kalau diperbesar lagi mobilnya.

Plus, reaktor nuklir tidak bisa diurus oleh bengkel pinggir jalan. Kalau misal ada masalah dalam sistem konversi energinya, tidak semua orang boleh diizinkan untuk membongkar kap mesin dan mengecek isinya. Apalagi mamang bengkel yang cuma tahu nuklir itu dari bakso nuklir. Coba bongkar-bongkar seenaknya, tanpa prosedur keselamatan yang baik, itu material radioaktif akan tersebar kemana-mana dan bikin kekacauan nasional.

Menaruh reaktor nuklir di dalam mobil adalah ide buruk dan tidak seharusnya dipertimbangkan sama sekali. Apalagi motor. Don’t even think about it.

Paling memungkinkan adalah mobil (dan tentu saja sepeda motor) tetap menggunakan sistem ICE, tetapi bahan bakarnya diganti jadi bensin/solar sintetis zero emission yang diproduksi menggunakan energi nuklir. Alternatifnya adalah mobil hydrogen fuel cell (HFC) yang mana hidrogennya diproduksi menggunakan reaktor nuklir temperatur tinggi. Bisa juga mobil listrik, yang mana listriknya disuplai dari PLTN.

Kalau tidak bisa di mobil, apakah bisa untuk pesawat terbang? Kan, dimensinya lebih besar?

Tidak semudah itu, Ferguso.

Pesawat terbang memiliki limitasi dari segi beban maksimum yang mampu diangkat agar bisa tinggal landas. Masalahnya, lagi-lagi, adalah dari segi perisai radiasi dan konversi energi. Mesin turbojet langsung membakar avtur untuk menggerakkan mesin. Reaktor nuklir harus mengonversi energi agar panas yang dihasilkan bisa digunakan untuk menggerakkan mesin jet, kemungkinan menggunakan turbin gas. Pesawat badan lebar yang biasa dipakai untuk penerbangan jarak jauh membutuhkan sekitar 130-220 MW energi untuk bisa lepas landas, dibagi menjadi empat reaktor, berarti butuh daya kira-kira 32,5-55 MW per reaktor. Dimensi reaktor, perisai radiasi, dan sistem konversi energi yang dibutuhkan cukup… besar. Ditambah lagi soal dimensi pesawat, aerodinamika, material, kesetimbangan berat, ribet.

Jangan lupa, kalau terjadi kecelakaan pesawat yang membuatnya sampai jatuh dan hancur, dekontaminasi area yang terpapar bahan bakar nuklir akan sangat menyulitkan. Bahkan korban jiwa dari kecelakaanya bisa jadi terlupakan, karena semua orang akan fokus pada kontaminasi radioaktifnya. What a disgrace.

Amerika Serikat pernah membuat program aircraft reactor experiment (ARE), yang sedianya akan digunakan di pesawat supersonik untuk keperluan militer. Sudah pernah diuji dan reaktornya, sih, oke. Meski ada masalah lumayan di aspek korosi. Hanya saja, setelah dipertimbangkan terus, ide ini dihentikan pengembangannya, dan ARE dikembangkan jadi MSR.

Jadi, tidak, sebaiknya pesawat terbang tidak usah pakai reaktor nuklir. Bukan tidak mungkin sama sekali, tapi risikonya lebih tinggi daripada manfaatnya. Kalau mau pakai nuklir, pakai saja avtur sintetis yang diproduksi dari energi nuklir. Lebih masuk akal.

Kereta api? Sama saja. Bukannya tidak pernah ada ide untuk itu, menggerakkan lokomotif menggunakan kereta api sudah pernah diajukan di AS, Soviet, Jerman, dan Inggris sejak 1950-an. Tetapi, masalah perisai radiasi, kekhawatiran akan keselamatan, dan lainnya membuat tidak ada program lokomotif kereta bertenaga nuklir yang terealisasikan. Belum lagi beban ke rel, batas kecepatan, dan sebagainya.

Tapi, dibandingkan ide menaruh reaktor nuklir di mobil dan pesawat terbang, lokomotif bertenaga nuklir masih agak lebih masuk akal. Apakah akan terwujud sebelum dunia ini kiamat? Tidak tahu. Tidak jelas juga apakah ide ini masih akan relevan dalam beberapa puluh tahun ke depan, ketika kereta cepat tenaga listrik dan levitasi magnet sudah lebih efisien dalam memindahkan manusia dari satu stasiun ke stasiun lain.

Untuk wahana luar angkasa, maka sampai saat ini sudah banyak menggunakan energi nuklir, walau dalam bentuk RTG. Jadi ada isotop bernama plutonium-238, karakternya melepaskan panas dari peluruhan alfa. Panas ini dikonversi menggunakan generator termoelektrik menjadi listrik, yang cukup untuk menggerakkan wahana di Mars selama beberapa kilometer tanpa peduli siang atau malam. Bisa juga untuk mendayai probe yang dikirim ke ruang angkasa nun jauh di sana. Foto-foto planet dan objek langit jauh dikirim menggunakan sinyal yang mana listrik untuk menghasilkan sinyalnya bersumber dari RTG bertenaga nuklir.

Cuma, memang tidak banyak keperluan luar angkasa ini.

Kesimpulannya, agak sulit untuk mengharapkan energi nuklir bisa digunakan langsung di wahana lain seperti mobil, sepeda motor, pesawat terbang, dan kereta. Kalau secara tidak langsung, peluangnya sangat besar. Karakteristik unik energi nuklir agak menyulitkan untuk membuatnya bisa dipakai langsung di berbagai wahana transportasi. Setiap moda pembangkitan energi ada plus minusnya, dan minusnya energi nuklir ada di sini.

Setidaknya, kekurangan ini masih bisa dikompensasi dengan satu dan lain jalan, yakni dengan proses termal temperatur tinggi untuk sintetis bahan bakar. Jadi masih bisa berperan walau tidak secara langsung.

0 komentar:

Posting Komentar