Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Sebelumnya, kita
sudah tahu bahwa Indonesia saat ini tidak (baca: belum) menggunakan energi
nuklir, untuk alasan tertentu yang sebagian orang mungkin sudah sama-sama tahu.
Walau demikian, riset terkait energi nuklir masih terus berjalan dan peluang
negara ini untuk masuk ke era nuklir semakin lama semakin besar. Khususnya setelah
retorika soal NZE semakin menggema.
Selain sektor
energi, nuklir juga dipakai untuk sektor non-energi, wabil khusus dalam aspek
radiasi. Kalau energi belum digunakan, bagaimana dengan non-energi? Apa sudah digunakan?
Fakta bahwa Indonesia
memiliki tiga reaktor riset cukup menunjukkan bahwa aplikasi nuklir untuk sektor
non-energi sudah dilakukan di negeri ini. Sebelum kemana-mana, mari berkenalan
dulu dengan ketiga reaktor nuklir yang ada di Indonesia.
Reaktor nuklir
yang pertama dibangun di Indonesia adalah TRIGA Mark II yang berlokasi di
Tamansari, Bandung, persis di sebelah kampus ITB. Reaktor nuklir ini mulai
beroperasi pada tahun 1965, setahun sebelum Supersemar yang keberadaan naskah
aslinya masih jadi misteri. Sebagaimana namanya, reaktor riset ini menggunakan
tipe TRIGA, yang didesain oleh General Atomic. Reaktor nuklir ini awalnya
beroperasi dengan daya 250 kW, tetapi kemudian dua kali dinaikkan dayanya;
pertama menjadi 1 MW pada tahun 1971, dan kedua menjadi 2 MW pada tahun 2000.
Reaktor TRIGA
Bandung utamanya digunakan untuk penelitian yang memanfaatkan radiasi,
pelatihan, pendidikan, dan produksi radioisotop. Hanya saja, belakangan waktu
operasinya tidak bisa terlalu panjang, karena stok bahan bakar yang menipis dan
produsen bahan bakarnya sudah tidak produksi lagi. Hingga tahun 2020, ada
wacana untuk mengganti teras reaktor TRIGA dari bahan bakar tipe pelet menjadi
tipe pelat, tapi hingga sekarang belum ada kelanjutannya.
Reaktor nuklir
kedua yang dibangun adalah Kartini (singkatan dari Karya Teknisi Indonesia) di
Babarsari, Yogyakarta. Posisinya saat ini tepat di sebelah kampus Politeknik
Nuklir (dulu Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN). Reaktor ini juga
menggunakan tipe TRIGA, dengan daya lebih kecil, yakni 100 kW. Reaktor Kartini
digunakan utamanya untuk pendidikan dan penelitian. Mahasiswa Teknik Nuklir UGM
melaksanakan praktikum Fisika Reaktor Nuklir di Reaktor Kartini. Selain
praktikum mahasiswa domestik, Reaktor Kartini juga digunakan untuk pembelajaran
reaktor melalui internet, atau internet reactor laboratory (IRL) yang
dikembangkan semasa BATAN. Tujuannya agar mahasiswa dari kampus nun jauh di
sana bisa ikut belajar terkait reaktor nuklir melalui fasilitas ini.
Salah satu
penelitian yang sedianya akan diterapkan di Reaktor Kartini adalah penerapan metode
BNCT untuk terapi kanker, yang mana Reaktor Kartini akan menyediakan sumber
netronnya. Di sisi lain, pernah pula dikembangkan konsep subcritical
assembly for molybdenum production (SAMOP), yakni perangkat subkritis yang
memanfaatkan netron dari Reaktor Kartini untuk produksi radioisotop molybdenum-99.
Kedua pengembangan teknologi tersebut saat ini belum jelas kelanjutannya pasca peleburan
BATAN ke BRIN.
Reaktor nuklir
ketiga yang dibangun di Indonesia adalah Reaktor Serba Guna – G. A. Siwabessy
(RSG-GAS). Reaktor ini merupakan reaktor riset terbesar di Asia Tenggara,
dengan daya 30 MW. Lokasinya terletak di Kawasan Nuklir Serpong, Tangerang
Selatan. Berbeda dengan TRIGA Bandung dan Kartini, RSG-GAS menggunakan tipe
MTR, yang utamanya ditujukan untuk fasilitas uji ketahanan material nuklir
terhadap radiasi. Kemampuan ini krusial karena Kawasan Nuklir Serpong aslinya memang
ditujukan sebagai laboratorium pendukung teknologi PLTN, yang berarti uji
material nuklir untuk PLTN juga seharusnya dilakukan di sini. Mengingat daya
reaktor yang besar, RSG-GAS bisa digunakan untuk produksi radioisotop dan
radiofarmaka, serta aplikasi radiasi lain menggunakan neutron beam.
RSG-GAS ini unik
karena menggunakan bahan bakar tipe pelat alih-alih pelet. Bahan bakar ini dikembangkan
dan diproduksi sendiri oleh BATAN, lalu kemudian melalui BUMN PT Inuki. RSG-GAS
merupakan salah satu reaktor riset pertama dan beralih dari uranium pengayaan
tinggi ke uranium pengayaan rendah.
Mengingat fluks
netron yang sangat tinggi, RSG-GAS sering digunakan untuk produksi radioisotop molybdenum-99,
dengan iradiasi target uranium di dalam teras reaktor. Selain itu, RSG-GAS juga
dapat digunakan untuk iradiasi iridium-192, yodium-131, dan barangkali
kobalt-60. Yang terakhir ini belum pernah dicoba, tapi secara teoretis
memungkinkan. Iridium-192 banyak digunakan di industri untuk uji tak merusak
dan deteksi cacat pada struktur bangunan, sementara yodium-131 digunakan untuk
terapi kanker gondok. RSG-GAS juga pernah digunakan untuk iradiasi batu topaz. Batuan
topaz, ketika ditambang, warnanya masih bening. Namun, setelah diiradiasi di
dalam reaktor nuklir, warnanya berubah menjadi biru tua.
Semua itu
merupakan produk nuklir non-energi berbasis reaktor. Yang tidak berbasis
reaktor ada, tidak?
Ada, salah satunya
adalah iradiator gamma. Di Tangerang Selatan, BATAN membangun Iradiator Gamma Merah
Putih (IGMP) di Kawasan Puspiptek. Iradiator gamma ini digunakan untuk iradiasi
berbagai produk hasil pertanian, olahan makanan, hingga sterilisasi alat
kesehatan. Sumber radiasinya adalah kobalt-60, yang notabene memiliki energi
gamma tinggi (1,15 MeV), sehingga cukup powerful untuk membasmi 99,99999%
kuman dan virus berbahaya
Untuk terapi
kanker, selain molybdenum-99 dan yodium-131, BATAN juga mengembangkan radiofarmaka
samarium-153 EDTMP lexidronam, yang fungsinya untuk pereda nyeri akibat kanker
yang menjalar ke tulang. Daripada pakai morfin, harus disuntik tiap berapa jam
sekali, pakai saja samarium-153. Sekali suntik, 30-40 hari bebas rasa sakit. Dosis
radiasi rendah dan tidak memicu kanker baru.
Apakah ada pemanfaatan
di sektor pertanian? Ada, dalam bentuk varietas bibit unggul. BATAN dulu melakukan
pemuliaan tanaman pada padi, kedelai, dan sorgum. Padi nuklir memiliki berbagai
keunggulan dari segi tahan hama wereng coklat, umur panen lebih pendek, volume
produksi lebih banyak, dan tekstur nasi lebih pulen.
Tentu saja banyak
industri pengguna jasa iradiasi nuklir lain di Indonesia, dan digunakan baik
sadar maupun tidak. Di Rumah Sakit, penggunaan radiasi nuklir sudah cukup luas,
biasanya untuk pencitraan organ dalam tubuh, diagnosis penyakit, dan tentu saja
terapi kanker. Yang belum terlalu luas dan perlu dioptimalkan mungkin dari
aspek produksi radioisotop, radiofarmaka, serta pemuliaan tanaman melalui
iradiasi benih.
Ringkasnya,
untuk sektor non-energi, khususnya radiasi, teknologi nuklir sudah banyak
dimanfaatkan di Indonesia, walau masih bisa untuk dioptimalkan lebih jauh. Tiga
reaktor nuklir riset di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai
dari pendidikan hingga produksi radioisotop dan uji material nuklir. Supaya
manfaat dari teknologi nuklir non-energi ini bisa dinikmati lebih luas, perlu
dukungan besar dari pemerintah untuk mengoptimalkan riset, pemanfaatan
teknologi, hingga distribusi hasil produksi teknologinya agar lebih banyak orang
bisa menikmati hasilnya. Saat ini tidak semua orang bisa makan nasi dari beras
nuklir, kan?
0 komentar:
Posting Komentar