Jumat, 05 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 26: Apa Indonesia Menggunakan Radiasi Nuklir?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Sebelumnya, kita sudah tahu bahwa Indonesia saat ini tidak (baca: belum) menggunakan energi nuklir, untuk alasan tertentu yang sebagian orang mungkin sudah sama-sama tahu. Walau demikian, riset terkait energi nuklir masih terus berjalan dan peluang negara ini untuk masuk ke era nuklir semakin lama semakin besar. Khususnya setelah retorika soal NZE semakin menggema.

Selain sektor energi, nuklir juga dipakai untuk sektor non-energi, wabil khusus dalam aspek radiasi. Kalau energi belum digunakan, bagaimana dengan non-energi? Apa sudah digunakan?

Fakta bahwa Indonesia memiliki tiga reaktor riset cukup menunjukkan bahwa aplikasi nuklir untuk sektor non-energi sudah dilakukan di negeri ini. Sebelum kemana-mana, mari berkenalan dulu dengan ketiga reaktor nuklir yang ada di Indonesia.

Reaktor nuklir yang pertama dibangun di Indonesia adalah TRIGA Mark II yang berlokasi di Tamansari, Bandung, persis di sebelah kampus ITB. Reaktor nuklir ini mulai beroperasi pada tahun 1965, setahun sebelum Supersemar yang keberadaan naskah aslinya masih jadi misteri. Sebagaimana namanya, reaktor riset ini menggunakan tipe TRIGA, yang didesain oleh General Atomic. Reaktor nuklir ini awalnya beroperasi dengan daya 250 kW, tetapi kemudian dua kali dinaikkan dayanya; pertama menjadi 1 MW pada tahun 1971, dan kedua menjadi 2 MW pada tahun 2000.

Reaktor TRIGA Bandung utamanya digunakan untuk penelitian yang memanfaatkan radiasi, pelatihan, pendidikan, dan produksi radioisotop. Hanya saja, belakangan waktu operasinya tidak bisa terlalu panjang, karena stok bahan bakar yang menipis dan produsen bahan bakarnya sudah tidak produksi lagi. Hingga tahun 2020, ada wacana untuk mengganti teras reaktor TRIGA dari bahan bakar tipe pelet menjadi tipe pelat, tapi hingga sekarang belum ada kelanjutannya.

Reaktor nuklir kedua yang dibangun adalah Kartini (singkatan dari Karya Teknisi Indonesia) di Babarsari, Yogyakarta. Posisinya saat ini tepat di sebelah kampus Politeknik Nuklir (dulu Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN). Reaktor ini juga menggunakan tipe TRIGA, dengan daya lebih kecil, yakni 100 kW. Reaktor Kartini digunakan utamanya untuk pendidikan dan penelitian. Mahasiswa Teknik Nuklir UGM melaksanakan praktikum Fisika Reaktor Nuklir di Reaktor Kartini. Selain praktikum mahasiswa domestik, Reaktor Kartini juga digunakan untuk pembelajaran reaktor melalui internet, atau internet reactor laboratory (IRL) yang dikembangkan semasa BATAN. Tujuannya agar mahasiswa dari kampus nun jauh di sana bisa ikut belajar terkait reaktor nuklir melalui fasilitas ini.

Salah satu penelitian yang sedianya akan diterapkan di Reaktor Kartini adalah penerapan metode BNCT untuk terapi kanker, yang mana Reaktor Kartini akan menyediakan sumber netronnya. Di sisi lain, pernah pula dikembangkan konsep subcritical assembly for molybdenum production (SAMOP), yakni perangkat subkritis yang memanfaatkan netron dari Reaktor Kartini untuk produksi radioisotop molybdenum-99. Kedua pengembangan teknologi tersebut saat ini belum jelas kelanjutannya pasca peleburan BATAN ke BRIN.

Reaktor nuklir ketiga yang dibangun di Indonesia adalah Reaktor Serba Guna – G. A. Siwabessy (RSG-GAS). Reaktor ini merupakan reaktor riset terbesar di Asia Tenggara, dengan daya 30 MW. Lokasinya terletak di Kawasan Nuklir Serpong, Tangerang Selatan. Berbeda dengan TRIGA Bandung dan Kartini, RSG-GAS menggunakan tipe MTR, yang utamanya ditujukan untuk fasilitas uji ketahanan material nuklir terhadap radiasi. Kemampuan ini krusial karena Kawasan Nuklir Serpong aslinya memang ditujukan sebagai laboratorium pendukung teknologi PLTN, yang berarti uji material nuklir untuk PLTN juga seharusnya dilakukan di sini. Mengingat daya reaktor yang besar, RSG-GAS bisa digunakan untuk produksi radioisotop dan radiofarmaka, serta aplikasi radiasi lain menggunakan neutron beam.

RSG-GAS ini unik karena menggunakan bahan bakar tipe pelat alih-alih pelet. Bahan bakar ini dikembangkan dan diproduksi sendiri oleh BATAN, lalu kemudian melalui BUMN PT Inuki. RSG-GAS merupakan salah satu reaktor riset pertama dan beralih dari uranium pengayaan tinggi ke uranium pengayaan rendah.

Mengingat fluks netron yang sangat tinggi, RSG-GAS sering digunakan untuk produksi radioisotop molybdenum-99, dengan iradiasi target uranium di dalam teras reaktor. Selain itu, RSG-GAS juga dapat digunakan untuk iradiasi iridium-192, yodium-131, dan barangkali kobalt-60. Yang terakhir ini belum pernah dicoba, tapi secara teoretis memungkinkan. Iridium-192 banyak digunakan di industri untuk uji tak merusak dan deteksi cacat pada struktur bangunan, sementara yodium-131 digunakan untuk terapi kanker gondok. RSG-GAS juga pernah digunakan untuk iradiasi batu topaz. Batuan topaz, ketika ditambang, warnanya masih bening. Namun, setelah diiradiasi di dalam reaktor nuklir, warnanya berubah menjadi biru tua.

Semua itu merupakan produk nuklir non-energi berbasis reaktor. Yang tidak berbasis reaktor ada, tidak?

Ada, salah satunya adalah iradiator gamma. Di Tangerang Selatan, BATAN membangun Iradiator Gamma Merah Putih (IGMP) di Kawasan Puspiptek. Iradiator gamma ini digunakan untuk iradiasi berbagai produk hasil pertanian, olahan makanan, hingga sterilisasi alat kesehatan. Sumber radiasinya adalah kobalt-60, yang notabene memiliki energi gamma tinggi (1,15 MeV), sehingga cukup powerful untuk membasmi 99,99999% kuman dan virus berbahaya

Untuk terapi kanker, selain molybdenum-99 dan yodium-131, BATAN juga mengembangkan radiofarmaka samarium-153 EDTMP lexidronam, yang fungsinya untuk pereda nyeri akibat kanker yang menjalar ke tulang. Daripada pakai morfin, harus disuntik tiap berapa jam sekali, pakai saja samarium-153. Sekali suntik, 30-40 hari bebas rasa sakit. Dosis radiasi rendah dan tidak memicu kanker baru.

Apakah ada pemanfaatan di sektor pertanian? Ada, dalam bentuk varietas bibit unggul. BATAN dulu melakukan pemuliaan tanaman pada padi, kedelai, dan sorgum. Padi nuklir memiliki berbagai keunggulan dari segi tahan hama wereng coklat, umur panen lebih pendek, volume produksi lebih banyak, dan tekstur nasi lebih pulen.

Tentu saja banyak industri pengguna jasa iradiasi nuklir lain di Indonesia, dan digunakan baik sadar maupun tidak. Di Rumah Sakit, penggunaan radiasi nuklir sudah cukup luas, biasanya untuk pencitraan organ dalam tubuh, diagnosis penyakit, dan tentu saja terapi kanker. Yang belum terlalu luas dan perlu dioptimalkan mungkin dari aspek produksi radioisotop, radiofarmaka, serta pemuliaan tanaman melalui iradiasi benih.

Ringkasnya, untuk sektor non-energi, khususnya radiasi, teknologi nuklir sudah banyak dimanfaatkan di Indonesia, walau masih bisa untuk dioptimalkan lebih jauh. Tiga reaktor nuklir riset di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari pendidikan hingga produksi radioisotop dan uji material nuklir. Supaya manfaat dari teknologi nuklir non-energi ini bisa dinikmati lebih luas, perlu dukungan besar dari pemerintah untuk mengoptimalkan riset, pemanfaatan teknologi, hingga distribusi hasil produksi teknologinya agar lebih banyak orang bisa menikmati hasilnya. Saat ini tidak semua orang bisa makan nasi dari beras nuklir, kan?

0 komentar:

Posting Komentar