Selasa, 02 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 23: Apa Itu PLTN Terapung?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Sejauh ini, kita memahami PLTN itu dibangun di atas tanah. Lahan sekitar 1 km2 dikosongkan, lalu dibangun PLTN di atasnya. Dibuat zonasi untuk mencegah ada ancaman keselamatan maupun keamanan terhadap PLTN. Tidak ada yang boleh masuk ke dalam PLTN kecuali dengan izin. Dengan kata lain, business as usual, tidak ada bedanya dengan instalasi pembangkit listrik lain.

Di sisi lain, beberapa negara seperti Indonesia agak rawan gempa bumi. Meski tidak berarti PLTN tidak bisa dibangun, karena itu adalah masalah struktur bangunan, tetapi kadang isu ini agak menyulitkan untuk mencari lokasi tapak yang pas. Selain itu, kontur negara kepulauan juga kadang agak menyulitkan untuk membangun PLTN di pulau-pulau kecil.

Dalam kondisi seperti ini, apakah PLTN bisa dibangun di atas kapal? Supaya tidak perlu repot-repot membangunnya di atas lahan tanah ketika kondisi tidak memungkinkan?

Menariknya, Reaktor Berpendingin Air tipe PWR itu pada awalnya memang didesain untuk dibangun di atas kapal. Tepatnya untuk propulsi kapal selam. Lalu faktanya, saat ini sudah banyak PLTN yang dipasang di atas berbagai jenis kapal, khususnya kapal selam dan kapal induk.

Militer Amerika Serikat dan Prancis memiliki kapal induk bertenaga nuklir. Kapal induk seperti ini bisa dioperasikan selama 30-an tahun tanpa perlu mengisi ulang bahan bakar dan memiliki jangkauan di laut practically unlimited, terbatas hanya dari cadangan makanan. Demikian pula kapal selam nuklir, yang dimiliki oleh AS, Prancis, Rusia, Cina, hingga India.

Rusia memiliki sederetan kapal pemecah es untuk membuka jalur laut di Samudera Arktik, agar kapal pembawa batubara dan migas bisa lewat jalur utara bumi. Kapal pemecah es ini merupakan kapal bertenaga nuklir yang digunakan untuk keperluan sipil, yang menunjukkan bahwa PLTN bisa dipasang di atas kapal. Instalasi ini kita sebut sebagai PLTN terapung.

Ada beberapa jenis PLTN terapung, tapi di sini kita hanya akan membahas soal offshore nuclear power plant (ONPP). Jadi PLTN ini dipasang komplit semuanya di atas kapal, mulai dari reaktor nuklir hingga sistem konversi energinya. Unit reaktornya bisa 1, 2, 4, terserah desainernya. Listrik yang dibangkitkan dari PLTN ini bisa digunakan untuk menggerakkan kapal dari tempat pembangunan ke tempat tujuan, lalu setelah sampai, diparkir di dermaga (atau beberapa km dari garis pantai, tergantung maunya seperti apa) dan mengalirkan listrik ke jaringan listrik di lokasi tujuan.

Ada beberapa keunggulan dari penggunaan PLTN terapung untuk wilayah kepulauan. Pertama, karena dipasang di atas kapal, maka kendala-kendala tentang pembebasan lahan praktis tidak ada. Cuma butuh sambungan ke jaringan listrik saja. Isu patahan tektonik yang menjadi perhatian dalam pembangunan PLTN pun secara otomatis lenyap. Gempa tidak lagi menjadi persoalan.

Kedua, PLTN terapung bisa menjangkau kawasan-kawasan kepulauan kecil dan wilayah yang sulit dijangkau melalui darat seperti beberapa kawasan di Papua. Karena PLTN terapung sudah dibangun dan terpasang di kapal sejak sebelum pemberangkatan, tidak ada pembangunan yang perlu dilakukan di kepulauan kecil dan wilayah yang sulit terjangkau tersebut selain fasilitas sambungan jaringan listrik. Jauh lebih memudahkan daripada harus membangun pembangkit di lokasi.

Tidak hanya itu, kebutuhan bahan bakar nuklir sedikit dan siklus operasinya panjang, sekitar 24-36 bulan. Jadi, bahan bakar untuk 10-20 tahun operasi dapat dimuat di dalam kapal. Atau, untuk alasan keamanan, baru dikirim ke lokasi menjelang akhir siklus bahan bakarnya. Sehingga, suplai bahan bakar sama sekali bukan masalah bagi PLTN terapung, tidak seperti PLTU atau PLTG.

Ketiga, PLTN terapung umumnya memiliki daya kecil, antara 40-120 MWe. Itu cukup untuk daerah-daerah kepulauan yang notabene kebutuhan listriknya tidak sebanyak di Jawa. Membangun PLTN darat dengan daya lebih dari 250 MWe jelas sebuah pemborosan yang tidak perlu, jadi PLTN terapung memiliki skala rentang daya lebih pas.

Keempat, lebih selamat dari tsunami. Sifat gelombang tsunami adalah baru mulai meninggi ketika mencapai air dangkal, tapi di air yang lebih dalam nyaris tidak terasa. Karena panjang gelombang tsunami di permukaan laut dalam sangat panjang, amplitudonya jadi kecil. Sehingga, PLTN terapung yang doknya berada di permukaan laut dalam tidak akan terpengaruh oleh gelombang tsunami.

Secara teoretis, eksistensi PLTN terapung ada kemungkinan bisa membantu dalam peringatan dini tsunami. Sistem instrumentasi pendeteksi dini tsunami bisa dipasang di PLTN terapung. Karena tidak ada masyarakat yang bisa begitu saja naik ke atas kapal pengangkut PLTN ini, vandalisme dan pencurian terhadap komponen sistem peringatan dini tsunami bisa dikatakan tidak akan terjadi. Tapi ini butuh konfirmasi dari pakar di bidangnya.

Kelima, PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air laut. Hal ini penting untuk wilayah-wilayah yang sering kekurangan air bersih, misalkan di daerah Nusa Tenggara. Selain membangkitkan listrik, panas buangan dari PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air laut, menghasilkan air bersih yang layak digunakan untuk keperluan sehari-hari masyarakat.

Ke depannya, selain desalinasi air laut, PLTN terapung berpotensi juga memproduksi bahan bakar sintetis. Jadi, PLTN terapung digunakan untuk hidrolisis air dan memisahkan CO2 dari air laut. Hidrogen dan CO2 yang dihasilkan kemudian disintetis untuk menghasilkan bahan bakar mirip bensin untuk keperluan transportasi. Keunggulan dari bahan bakar sintetis ini adalah netral emisi CO2 dan tidak ada kontamintasi pengotor.

Keenam, level keselamatan tinggi. Kontras dengan asumsi sebagian orang ketika pertama mendengar PLTN terapung, tingkat keselamatannya tidak berkurang, malah mungkin lebih baik. Setidaknya, dari segi termohidrolik. Karena posisinya berada di atas permukaan laut, PLTN terapung memiliki akses pendingin yang secara praktis tidak terbatas. Air laut menjadi heat sink alami bagi reaktor nuklirnya. Ketika misalnya terjadi overheating, pendinginan reaktor dapat dilakukan tanpa harus khawatir kekurangan suplai pendingin eksternal seperti di Fukushima Daiichi.

Bagaimana kalau terjadi sebuah skenario tidak diinginkan yang menyebabkan kapalnya tenggelam? Bahan bakar nuklir akan tetap tersegel di dalam reaktor. Lalu, air laut secara otomatis akan mendinginkan reaktor sehingga pelelehan bahan bakar dapat dicegah (kecuali Reaktor Berpedingin Garam, maka bahan bakarnya akan memadat, yang juga berita bagus). Ketiadaan pelelehan menyebabkan pelepasan radioaktivitas akan sangat minim, kalau bukan tidak ada. Air laut tidak akan terkontaminasi material radioaktif dari reaktor nuklir yang tenggelam.

Rusia dan Cina tengah mengembangkan PLTN terapung tipe ONPP. Akademik Lomonosov, kapal bertenaga nuklir desain Rusia, adalah PLTN terapung pertama di dunia. Saat ini, Akademik Lomonosov telah beroperasi di Pevek, Rusia. Akademik Lomonosov memiliki dua unit PLTN tipe PWR berdaya total 70 MWe, dengan fungsi lain untuk menyediakan pemanasan ruang dan desalinasi air laut.

Namanya teknologi, pasti ada saja kekurangannya. Karena tidak ada perimeter seperti di PLTN darat, sistem proteksi fisik PLTN terapung harus lebih diperhatikan. Masalah proteksi fisik sebaiknya juga dikoordinasikan dengan militer, kalau di Indonesia dengan TNI AL. Perawatan pun mengharuskan si kapal dibawa kembali ke pabrikannya, walau memang jadwal perawatannya tidak sering. Masalah keselamatan radiasi juga mesti disosialisasikan dengan baik pada nelayan-nelayan yang melaut di sekitar sana, jika ada. Tujuannya supaya resistensi masyarakat sekitar terhadap PLTN terapung bisa diminimalisir dan tidak mudah diprovokasi oleh kalangan anti-nuklir, jadi tidak mudah ditipu oleh LSM anti-nuklir seolah-olah PLTN terapung membuat ikan-ikan jadi radioaktif or something.

Ringkasnya, PLTN memang bisa dipasang di atas PLTN dan bisa untuk keperluan komersial. Sudah ada pengalaman puluhan tahun dari kapal militer dan sipil yang menggunakan energi nuklir. Bahkan belakangan ini wacana untuk menggunakan energi nuklir untuk menggerakkan kapal kargo mulai banyak bermunculan, sebagai pengganti mesin Diesel yang kotor dan polutif. Jadi, potensi energi nuklir untuk diterapkan di kapal sebagai PLTN terapung, baik untuk listrik maupun propulsi kapal, sangat terbuka lebar. Kapan bisa diterapkan? Tidak tahu, tergantung regulasi internasional yang seringkali rewel secara tidak perlu. 

0 komentar:

Posting Komentar