Soal Asia Timur...
Cina dan Korea Selatan sudah terjun ke
teknologi Molten Salt Reactor (MSR), sementara Jepang masih belum kemana-mana.
Dulu, ada riset soal MSR-FUJI. Masalahnya,
teknologi ini kurang populer karena pemerintah Jepang lebih fokus pada
teknologi SFR dan HTGR. Sampai sekarang pun, setidaknya apa yang dikatakan oleh
sensei, pemerintah Jepang masih agak memandang sebelah mata soal teknologi MSR,
sehingga sulit mendapatkan anggaran dari 文部科学省
(baca: monbu-kagaku-sho) untuk riset.
MSR-FUJI sendiri berbasis pada thermal molten
salt reactor (TMSR) dengan daur bahan bakar thorium. Bedanya dengan molten salt
breeder reactor (MSBR) yang dikembangkan oleh Oak Ridge National Laboratory
(ORNL), MSR-FUJI didesain dengan berbagai fungsi, skala daya, dan daur bahan
bakar. Untuk FUJI-233U, bahan bakarnya menggunakan U-233 dan thorium, seperti
MSBR, tetapi dengan densitas daya super rendah supaya fluens netron cukup untuk
mencegah deformasi grafit selama 30 tahun operasional. Jadi untuk ukuran teras
reaktor yang besar dan bahan bahan bakar segambreng di dalam teras, daya
reaktornya kecil (250-350 MWt). Tidak ada sistem online reprocessing komplit
seperti yang direncanakan di MSBR, dan rasio pembiakan cuma 1,01. Jadi bahan
bakar U-233 diproduksi terpisah menggunakan sistem akselerator, sesuatu yang
pengembangnya sebut sebagai THORIMS-NES... wait, bukan. AMSB. めっちゃ めんどくさい。。。
Tidak jelas bagaimana nasib MSR-FUJI saat ini,
mengingat thorium sendiri bukan ide yang populer di Jepang. Khususnya karena
mereka sedang fokus pada... SFR dan HTGR. Plus daur bahan bakar nuklir,
back-end, dekomisioning Fukushima Daiichi, restart PLTN yang sedang idle, etc.
Perkara Cina dan Korea Selatan, karena Korea
Selatan masih baru, jadinya mereka masih meraba-raba konsep apa yang ingin
mereka kembangkan. Saat ini tampaknya masih cenderung ke Molten Chloride Fast
Reactor (MCFR), tetapi dengan konsep reprosesing yang agak berbeda dan
kelihatan masih kurang paham apa yang mereka kerjakan sendiri. Riset masih
terpusat di KAIST, belum jelas apa sudah ada di KAERI.
Pada dasarnya, yang sedang ingin dikembangkan oleh KAIST adalah sejenis MCFR untuk nuclear marine propulsion, lalu small modular reactor (SMR) umur panjang, dan break-even MCFR tanpa sistem reprosesing kompleks. Untuk ide terakhir rasa-rasanya masih masuk akal karena ekonomi netron MCFR memang mendukung untuk itu. Masalahnya adalah ide untuk nuclear marine propulsion dan SMR. Antara konsep yang menggunakan MCFR dengan spektrum netron cepat dengan penggunaan reflektor/moderator berilium oksida (BeO) yang memoderasi netron secara ekstrem tampaknya agak... kurang sinkron. Tampak bahwa mereka ingin membuat teras reaktor menjadi sejenis long-lived core, yang pada dasarnya didukung oleh bahan bakar MSR yang sangat resisten terhadap deformasi akibat radiasi, but it's kinda strange, still...
Realita bahwa mereka tidak mau menggunakan
online refuelling dan cenderung mendesain sebagai long-lived core memang secara
teknis realistis saja, tetapi agak mengurangi keunggulan dari MSR itu sendiri.
(a bit ironic that I use the same approach for
my research, but that is for a legitimate reason: space constraint)
Sementara, Cina sudah membangun purwarupa MSR
di Gurun Gobi dan menunjukkan proses pembiakan U-233 dari thorium bisa dilakukan
di MSR. Saat ini mereka fokus ke TMSR dengan spektrum termal dan pakai thorium.
Kenapa? Karena Cina punya lebih banyak thorium daripada uranium. Riset
difokuskan oleh SINAP, menggunakan data unclassified yang dirilis oleh ORNL dan
kemudian dikembangkan sendiri versi mereka. Beberapa riset terakhir sedang
mengembangkan konsep moderator grafit baru untuk memperpanjang usia pakainya,
supaya tidak perlu cepat-cepat ganti. Meski tampaknya kalau lihat hitungan
ThorCon, mengganti moderator itu masih sangat terjangkau. Ya tidak masalah,
sih, terserah mereka...
Secara umum, Cina masih unggul dalam riset MSR
dibandingkan Korea Selatan apalagi Jepang. Cina sudah bangun purwarupa, dan
ide-ide mereka cukup inovatif dan applicable. Korea Selatan masih cenderung
kebingungan dengan konsep yang mereka kembangkan, mencoba melempar banyak dadu
sembari berharap ada satu yang menunjukkan angka 6. Sementara, Jepang paling
tertinggal. Memang, di Science Tokyo saya lagi mengerjakan desain MCFR, tetapi
masih jadi solo player. Belum ada tim. Anggaran dari pemerintah Jepang pun
nyaris nihil. Jadi tampaknya masih akan lama sebelum ada konsep MCFR yang bisa
dikeluarkan secara komplit oleh Jepang.
Namun, jika industri semisal CRIEPI, Mitsubishi Heavy Industries, dan Hitachi mau terlibat, sepertinya proses Jepang menuju MSR bisa diakselerasi. Sekarang tinggal masalah meyakinkan mereka saja, dan tentu saja itu bukan urusan saya. Itu urusan sensei.
0 komentar:
Posting Komentar