Jumat, 19 September 2025

Kisah Kapal Yang Tenggelam

Alkisah, pada suatu masa, ada sejumlah kapal yang berlayar di lautan dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kapal-kapal ini tidak beroperasi optimal, tentu saja, karena negara pemilik kapal ini tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menjamin operasional dan perawatan fasilitas secara memadai. Walau begitu, semua masih bisa berlayar untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan segala keterbatasan mereka.

Namun, pemimpin negara itu tampaknya tidak punya kesabaran dan kesadaran terhadap masalah yang dialami oleh kapal-kapal ini. Jadi dia, secara kontroversial, atas bisikan tetua yang berdiri di belakangnya, memutuskan untuk menggabung sejumlah kapal itu menjadi satu beserta awak-awaknya. Mayoritas nahkoda kapal dipecat, dan satu nahkoda yang dekat dengan tetua diangkat menjadi nahkoda kapal baru tersebut.

Harapannya? Operasional kapal jadi lebih efisien dan luarannya bisa lebih terlihat.

Realitanya? Bencana. Kapal-kapal dengan komponen yang tidak sinkron satu sama lain itu diamalgamasi bagian-bagiannya untuk menjadi satu kapal induk dengan basis satu kapal tertentu yang nahkoda aslinya dekat dengan tetua negara. Beberapa komponen yang krusial untuk kapal-kapal tertentu ditinggalkan. Awak kapal dijejalkan semua dalam satu kapal induk tersebut, yang ruangan dan fasilitasnya tidak memadai untuk menampung mereka semua.

Untuk menambah buruk persoalan, awak kapal ditambah dari kapal-kapal lain yang tidak digabung, dan itu menghilangkan salah satu fungsi dari kapal-kapal tersebut.

Dalam proses amalgamasi kapal menjadi kapal baru ini, nahkoda baru mengatakan bahwa pada masa transisi pasti akan ada ketidaknyamanan dan berjanji akan membereskan semuanya dalam sekian tahun. Namun, sekian tahun lebih dua tahun berlalu dan kapal baru itu lebih terlihat seperti kapal obesitas yang interior maupun eksteriornya terkesan ditempel secara asal-asalan dari komponen kapal-kapal lain. Awak kapal mempertanyakan dan mengkritisi tentang bentuk kapal yang berantakan, fungsinya yang tidak jelas, dan penataan fasilitasnya yang berantakan, tapi awak-awak kapal yang berani bersuara malah dikurung di sebelah ruang mesin.

Nahkoda kapal dan tetua negara yang diangkat menjadi tamu kehormatan di kapal menganggap kapal zombie tersebut jauh lebih efisien dan dapat menghasilkan luaran yang bagus untuk negara. Padahal, jalannya lambat (5 knot per jam), kemudinya oleng dan tidak pernah sinkron, navigasinya tidak bekerja, dan awak kapal banyak yang kebingungan dengan penempatan tugasnya dan apa yang harus mereka kerjakan.

Karena kapalnya terlalu berat dibandingkan tonase maksimum, kapal ini perlahan-lahan mulai tenggelam. Para awak kapal terus memperingatkan nahkoda, tetapi semuanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Justru nahkoda menempatkan agen-agennya sebagai intel untuk mendengarkan bisik-bisik di kalangan awak kapal, dengan tujuan untuk melaporkannya ke nahkoda dan menjadi legitimasi untuk mengurung mereka di sebelah ruang mesin. Efeknya, awak kapal tidak berani lagi memperingatkan nahkoda, dan sudah pasrah dengan kondisi yang ada.

Tidak perlu menunggu sekian tahun, kapal itu pun tenggelam, beserta ilusi sang nahkoda, tetua, dan pemimpin negara yang berekspektasi bahwa penggabungan ini akan membuat kinerja kapal lebih efektif dan efisien, serta membawa negara menjadi lebih maju (entah apapun maksudnya itu).

Pepatah Jepang mengatakan, ”安物買いの銭失い。” Artinya kurang lebih, "Kehilangan uang lebih banyak karena membeli yang murah." Walau pepatah itu sudah ada sejak Zaman Edo, tampaknya, masih ada benarnya hingga sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar