Jumat, 21 Juli 2017

Chester Bennington, Another Victim of Toxic Success

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Kemarin Chris Cornell, sekarang Chester Bennington. Mereka kaya, sukses, terkenal, tapi tidak bahagia. Ujung-ujungnya depresi lalu bunuh diri.

Selaku pendengar setia Linkin Park dari SD (courtesy to my ol’ sis, yang saban hari memutar kaset album Hybrid Theory dan Meteora), saya cukup mengetahui apa yang dialami Bennington sejak kecil. Pelecehan seksual, penyalahgunaan obat-obatan, hingga kecanduan alkohol. Lagu-lagu Linkin Park banyak membahas soal permasalahan Bennington itu. Contoh, salah satu track Linkin Park favorit saya dari album MeteoraEasier to Run, sangat relatable dengan masa lalu Bennington.

Setelah sekian tahun, pasca Linkin Park mengeluarkan album studio ketujuhnya, Bennington akhirnya menyerah dan mengikuti mentornya, Cornell. Waktu teman facebook memosting pranala berita soal kematian Bennington, sejujurnya saya terkejut. Saya jadi teringat firasat aneh yang muncul ketika mengetahui judul album terbaru (dan terakhirnya) itu, One More Light. Seolah itu jadi album perpisahan Linkin Park. I thought it was nothing, back then.

Mari lupakan soal sentimen firasat itu, karena tidak penting-penting amat. Yang jadi masalah adalah apa yang menimpa Bennington sendiri: bunuh diri.

Kasus ini (dan jutaan lainnya) setidaknya mengajarkan kita dua hal. Pertama, ukuran kebahagiaan bukanlah kekayaan maupun kesuksesan. Apa yang kurang dari Bennington? Salah satu vokalis paling bertalenta di industri musik rock, anggota dari band yang terkenal di seluruh penjuru dunia dengan penjualan album puluhan juta kopi. Tapi nyatanya, dia masih merasa depresi juga. Kesuksesan Linkin Park, kekayaan jutaan Dollar Amerika Serikat, serta berbagai penghargaan dan pengakuan tidak bisa menghilangkannya.

Menurut Dr. Paul Pearsall, sebagaimana dikutip dalam buku The Model, fenomena seperti itu disebut sebagai Toxic Success. Kesuksesan beracun. Dia sukses, tapi dia tidak bahagia. Punya banyak uang, tapi tidak pernah senang dengan dirinya sendiri. Terkenal, tapi stress. Ini yang banyak menimpa orang-orang kaya.Harta dan popularitasnya tidak membawa kebaikan pada hidupnya. Kekayaan tidak menjamin orang jadi bahagia.

Sebaliknya, kemiskinan belum tentu membuat orang sengsara. Buktinya, indeks kebahagiaan warga Yogyakarta adalah yang paling tinggi di Indonesia, walau ketimpangan ekonominya justru yang paling buruk. Barangkali ini ada kaitannya dengan kultur Yogyakarta yang relatif nrimo, bersyukur, dan senang hidup hemat.

Kedua, tatanan hidup kapitalisme adalah tatanan hidup berbasis materi, alias materialisme. Kenikmatan tertinggi adalah dengan kepemilikan materi berlimpah. Orang bisa dikatakan bahagia kalau memiliki materi berlimpah. Tapi diri mereka kosong. Jiwanya gusar, gelisah. Seperti tidak tahu arah hidup. Ini tidak bisa dipungkiri, karena kapitalisme sendiri dibangun atas dasar sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Naluri dasar manusia adalah naluri beragama. Bisa dipahami bahwa memisahkannya dari tatanan kehidupan justru akan membawa permasalahan. Manusia dibentuk jadi seperti anak ayam yang kehilangan induk. Hidup tidak tenang, stres, depresi, akhirnya jatuh ke hal-hal terlarang (obat-obatan, alkohol). Believe me, it's a daily affair in the Western world.

Kasus depresi yang berujung pada bunuh diri bukan hal yang aneh di dunia Barat dan yang mengikuti Barat. Sampai-sampai di Amerika Serikat banyak sekali lembaga konsultasi untuk menangani penderita depresi yang memiliki tendensi bunuh diri. Tahun 2014, terdapat 42.773 kasus bunuh diri di Amerika Serikat. Itu setara dengan sekitar 117 kasus per hari atau 4,88 orang per jam! Sekitar 13 dari 100 ribu orang mati karena bunuh diri.

Kapitalisme gagal membentuk tatanan hidup yang membahagiakan. Kesenangan materiil dianggap sebagai kebahagiaan, padahal bukan itu kebahagiaan sesungguhnya. Kalau itu bentuk kebahagiaan, maka tidak mungkin orang kaya dan terkenal akan depresi dan memilih untuk bunuh diri. Nyatanya, mulai dari Elvis Presley, Whitney Houston, Robin Williams, Chris Cornell, sampai Chester Bennington, depresi yang dialami membuat mereka memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jimmy “The Rev” Sullivan barangkali tidak berniat bunuh diri, tapi penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol membuatnya menemui ajal. Pertanyaannya, untuk apa The Rev menyalahgunakan obat-obatan? Untuk memberikan rasa tenang. Artinya apa? Dia depresi. Mentalnya tertekan. Kapitalisme tidak bisa mengatasi hal-hal seperti ini, karena secara falsafah justru kapitalisme inilah sumber masalahnya.

Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang lurus. Mereka yang meyakininya dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, tidak akan seperti anak ayam kehilangan induk. Mereka tahu apa itu bahagia, dan mereka akan punya tujuan hidup. Mereka akan mampu membuka simpul ‘uqdatul kubra, yakni dari mana mereka berasal, untuk apa mereka hidup di dunia ini, dan mau ke mana setelah mati?

Mereka akan paham bahwa mereka berasal dari Allah, hidup mereka adalah untuk beribadah pada Allah, dan setelah mati akan kembali menghadap Allah. Terbukanya simpul-simpul ini membuat manusia memiliki arah hidup yang jelas, membuka lebar-lebar pintu kebahagiaan hakiki. Mengenal Islam dengan kaffah akan membawa manusia dalam kebahagiaan yang tidak bisa ditemukan dengan mengikuti jalan hidup kapitalisme.

Ah, andai Bennington mengenal Islam. Mungkin nasibnya tidak akan seperti ini. Tapi dia sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, meninggalkan Linkin Park dengan lubang besar yang entah bisa diisi atau tidak. Nothing we can do about that. Sekarang masalah justru pada kita, kaum muslimin. Masihkah kita mau mempertahankan tatanan peradaban kapitalisme yang tidak bisa membawa kebahagiaan ini?

0 komentar:

Posting Komentar