Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto
Ketika para fisikawan berusaha memodelkan atom itu seperti apa, maka sebenarnya tidak ada yang pernah tahu benda seperti apa atom itu. Mereka hanya mengira-ngira, atom itu bentuknya macam apa, sih? Karena itu, pada masanya, model atom tidak pernah sama. Selalu berkembang.
John Dalton pada awalnya hanya menyatakan bahwa segala materi itu tersusun dari atom. Tiap atom dari elemen/unsur yang sama memiliki ukuran, berat, dan sifat lain yang sama. Selain itu, atom tidak bisa dipecah-pecah lagi menjadi lebih kecil. Namun, teori Dalton ini dikoreksi oleh Joseph John Thomson, yang menemukan elektron, partikel lebih kecil dari atom, ketika bekerja dengan sinar katoda. Model atom Dalton pun berkembang menjadi model atom puding plum, dengan tambahan elektron.
Ernest Rutherford kemudian menemukan kelemahan dari model atom Thomson, berdasarkan pengamatan terhadap radiasi alfa yang dipancarkan radium. Rutherford kemudian mengusulkan model atom dengan muatan positif konsentrik di inti (nucleus) atom alih-alih terdistribusi merata di dalam volume atom. Namun, model ini juga belum cukup menjelaskan atom dengan baik, Niels Bohr membuat model baru bahwa elektron mengelilingi inti atom pada orbit tertentu dengan momentum sudut dan energi tetap, dan jaraknya dari inti atom proporsional dengan tingkat energinya.
Teori atom pun kemudian terus berkembang ketika Rutherford dan murid-muridnya menemukan partikel subatomik yang kemudian disebut proton, disusul kemudian James Chadwick menemukan neutron. Demikian seterusnya sampai model atom dikembangkan sampai didapatkan model atom seperti saat ini, dengan adanya quark sebagai penyusun elemen hadron (proton dan neutron) serta gluon sebagai pengikat quark.
Sudah sempurna? Mungkin tidak. Tapi dalam berbagai hal cukup untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisika terkait atom.
Pertanyaannya, apakah para ilmuwan itu pernah mengamati atom dan partikel subatomik secara langsung?
Tentu saja tidak. Karena bahkan Dalton sendiri menyatakan bahwa atom itu invisible, tidak terlihat.
Para fisikawan dan kimiawan pada masa itu mengembangkan teori atom berdasarkan fenomena ikutan yang mereka amati. Bahasa sederhananya, mengamati ‘jejak’ dari perilaku atom. Walau tidak bisa melihatnya, mereka percaya atom itu ada. Model atom modern berhasil ditemukan tanpa ada satupun manusia melihat atom, apalagi partikel subatomik. Tapi model itu berhasil menjelaskan bagaimana fenomena-fenomena fisika pada atom dan inti atom terjadi.
Tidak perlu benar-benar melihat sesuatu secara fisik untuk mengetahui sesuatu itu ada. Dari ‘jejak’ yang ditinggalkannya pun dapat dipahami bahwa ada sesuatu yang menciptakan ‘jejak’ tersebut. Termasuk eksistensi Tuhan.
Sebagian orang menolak eksistensi Tuhan karena mereka tidak bisa menginderanya. Dianggap tidak masuk akal, imajinasi manusia belaka, sebatas usaha manusia untuk menjelaskan fenomena yang tidak bisa dipahaminya. Hal terakhir, menurut mereka, tidak lagi relevan karena sekarang sudah ada sains. Tidak perlu Tuhan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di alam semesta, cukup dengan sains saja. Karena sains bisa diindera, Tuhan tidak.
Padahal, adanya Tuhan bisa dipahami dari apa yang telah Dia ciptakan; manusia, alam semesta, kehidupan. Sederhananya, tidak mungkin manusia, alam semesta, dan kehidupan muncul dengan sendirinya, atau menciptakan dirinya sendiri. Pasti ada sesuatu yang menciptakan. Tidak perlu sains untuk memahami hal seperti ini, cukup rasio.
Sebagaimana perilaku pantulan pantulan radiasi alfa lebih dari 90° merupakan tanda adanya konsentrasi partikel bermuatan positif pada inti atom, dan ionisasi materi dari tembakan radiasi merupakan tanda adanya partikel bermuatan netral, maka adanya manusia, alam semesta, dan kehidupan sendiri sudah menjadi tanda adanya Pencipta. Mengatakan bahwa alam semesta tidak bermula, atau bermula dengan sendirinya, merupakan bentuk pemerkosaan akal sehat, karena tidak ada dari keduanya yang bisa diterima akal.
Sesederhana itu memahami adanya Tuhan. Tidak perlu sains. Karena sains tidak didesain untuk menjawab siapa yang menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sains sejak awal dikembangkan sebagai model untuk memprediksi bagaimana alam semesta, manusia, dan kehidupan bekerja. Itu saja, tidak lebih.
Menggunakan sains sebagai penghakiman apakah Tuhan itu ada atau tidak merupakan pelanggaran terhadap prinsip saintifik itu sendiri.
Tuhan Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan, Allah SWT, memang tidak bisa diindera. Allah sendiri tidak sama dengan ciptaanNya. Berada pada dimensi yang berbeda dengan ciptaanNya, tidak terikat pada apa yang diciptakanNya. Sebagaimana firmanNya.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS Asy Syura’: 11)
Lagipula, kalau Tuhan memiliki kesamaan dengan ciptaanNya, maka entitas itu tidak layak disebut Tuhan.
Walau tidak bisa diindera oleh manusia, akal manusia mampu menjangkau bahwa Allah itu ada, dan Allah lah yang menciptakan semua yang ada di alam semesta ini. Kalau mengakui keberadaan atom sebagai konstituen dari materi saja bisa, bahkan partikel subatomik semacam quark dan hadron dipercaya ada walau tidak bisa diindera, dan eksistensinya hanya dipahami melalui pengukuran dan pemodelan, kenapa ketidakbisaan manusia untuk mengindera Allah secara fisik dijadikan alasan untuk menolak eksistensiNya? Padahal ada banyak sekali hal terindera untuk direnungi yang menjadi indikasi bahwa semua itu ada yang menciptakan?
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS Al Ghasyiyah: 17-20)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Maa syaa Alloh. Good. 081336231160 @ Advokat Kesehatan Umat
BalasHapus