Jumat, 14 Mei 2021

Limitasi Fisika Energi Terbarukan

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Mahasiswa S2 Teknik Fisika UGM)

Apakah limitasi energi terbarukan untuk menjadi tulang punggung energi itu limitasi secara fisika atau secara rekayasa (engineering)?

Well, keduanya ada efek masing-masing. Tapi yang fatal menurut saya ada di limitasi fisika.
Dari segi fisika, panel surya dan turbin angin terbentur Shockley-Queisser Limit dan Betz Limit. Shockley-Queisser Limit itu batasan efisiensi panel surya maksimum pada sistem p-n junction tunggal. Limitasinya sekitar 33,7%. Artinya, dari 100% cahaya matahari yang menimpa panel surya, hanya sepertiganya yang bisa dikonversi menjadi listrik menggunakan efek fotolistrik. Jika ada panel surya berukuran 1x1 m, maka listrik yang bisa dihasilkan hanya 337 W, *maksimal*. Tidak bisa lebih.
Faktanya, panel surya yang komersial bisa dikatakan efisiensinya hanya sekitar 10-20%. Panel surya Cina biasanya punya efisiensi rendah, sementara yang mahalan dikit efisiensinya bisa lebih tinggi. Jadi angka 33,7% itu memang teoretis. Realisasinya justru lebih rendah dari itu.
Apakah Shockley-Queisser Limit bisa diakali dengan menggunakan sistem p-n junction berganda? Theoretically bisa. Tapi masalahnya begini. Ketika digunakan p-n junction berganda, kenaikan efisiensinya tidak bisa dua kali lipat begitu saja. Misal pakai dua p-n junction, limit Shockley-Queisser tidak serta merta naik jadi 67,4%. Lebih rendah dari itu. Ibarat kata, membuat tumpukan dua panel surya dengan biaya ganda, tapi efisiensi tidak sampai dua kali lipat. Secara ekonomis, sistem seperti ini tidak efisien.
Bagi panel surya, Shockley-Queisser Limit adalah limitasi fisika, sementara lebih ekonomisnya manufaktur panel surya dengan p-n junction tunggal adalah limitasi engineering. Kombinasi keduanya meniscayakan panel surya akan memiliki efisiensi yang rendah.
Betz Limit merupakan limitasi efisiensi konversi kinetik-elektrik pada turbin angin. Albert Betz, fisikawan Jerman, merumuskan pada tahun 1919 bahwa efisiensi maksimum secara teoretis untuk turbin angin adalah 59,3%. Jadi, jika angin membawa energi kinetik sebesar 100 W, yang bisa dikonversi menjadi energi listrik hanya 59,3 W.
Faktanya, seperti kasus panel surya, tidak ada turbin angin yang bisa mencapai Betz Limit. Efisiensi kinetik-elektrik turbin angin hanya berkisar 35-45%, itupun bergantung pada kecepatan angin. Semakin rendah kecepatan angin, semakin turun efisiensi turbin angin.
Bisakah menaikkan efisiensi turbin angin sampai mendekati Betz Limit? Lagi-lagi, theoretically, bisa. Tapi melewatinya? Tidak bisa. Karena yang menetapkan limitasi itu bukan si Albert Betz. Dia hanya menemukan saja. Hukum alam lah yang menetapkan limitasinya.
Limit fisis di atas membuat energi surya dan bayu yang sejak awal bersifat dilute, kepadatan energi mentahnya rendah, memiliki efisiensi sistem total yang lebih rendah. Tidak peduli seberapa hebat manusia melakukan rekayasa sistem, engineering, manusia tetap tidak bisa melawan hukum fisika. Fakta bahwa efisiensi sistem energi surya dan bayu rendah, membuat kepadatan energi lebih rendah lagi, sehingga untuk menghasilkan energi yang cukup besar untuk peradaban manusia, butuh material mentah yang sangat luar biasa besar dan lahan sangat luar biasa luas.
Plus baterai untuk mengompensasi rendahnya keandalan sistem, yang kebutuhan materialnya melebihi cadangan bahan baku yang tersedia.
Limitasi fisika pada energi terbarukan bukan sesuatu yang bisa diakali dengan mudah dan murah oleh engineering, seandainya memang bisa (yang faktanya tidak). Niat untuk beralih pada energi bersih untuk mitigasi climate change, tapi berharap pada energi terbarukan, hanya mengalihkan satu bencana ke bencana lain. Dari bencana iklim menjadi bencana lingkungan. Dari potensi chaos karena iklim yang berubah menjadi potensi chaos akibat perebutan sumber daya mineral.
Sebuah kebodohan yang tidak terperi.

0 komentar:

Posting Komentar