Sabtu, 15 Mei 2021

Tentang “Revolusi Energi” a la Pak DI

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Mahasiswa S2 Teknik Fisika UGM)

Ketika melihat Pak Dahlan Iskan (DI) merilis tulisan soal revolusi energi, saya kira saya akan menemukan perspektif baru yang unik or something. Selesai baca, saya cuma bisa menghela napas setelah menemukan idenya sangat pragmatis.

Yah, Pak DI kan pengusaha. Di Indonesia, yang notabene ekonomi bergerak atas dasar jual-beli komoditas alih-alih berbasis ilmu pengetahuan, tidak aneh kalau pengusaha besar sekalipun bersikap super pragmatis dan miskin visi. Meski dalihnya untuk masa depan yang lebih baik, saya tidak melihat argumennya secara keseluruhan sebagai argumen yang visioner.

Ehm. TL;DR, jadi intinya, Pak DI menginginkan Indonesia menggunakan batubara habis-habisan sampai habis, sembari menunggu harga baterai cukup murah untuk beralih pada energi surya. Kira-kira begitu. Apakah ide ini visioner atau kontroversial?

Well, argumen senada sebenarnya sudah saya dengar dari Pak Tumiran tahun 2018 lalu, waktu itu beliau masih di Dewan Energi Nasional. Meski waktu itu, Pak Tumiran lebih menekankan pada fakta bahwa Indonesia butuh energi. Baru setelah kebutuhan energi terpenuhi sesuai target, emisi pelan-pelan diturunkan.

Jadi, ini bukan argumen baru buat saya.

Tentu saja, Indonesia tidak akan berhenti menggunakan batubara dalam waktu dekat. Bahkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), batubara masih diekspektasikan memenuhi 25% kebutuhan energi nasional pada 2050, dengan luaran energi sebesar 255,9 MTOE. Sebagai catatan, proyeksi RUEN tahun 2025, batubara menyediakan energi sebesar 119,8 MTOE.

Antara tahun 2025 sampai 2050, pemanfaatan batubara naik lebih dari 2x lipat.

Outlook energi BPPT malah lebih pesimis daripada RUEN. Bauran batubara malah naik terus. Dengan skenario kenaikan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sekalipun, batubara diekspektasikan masih menyuplai 33,6% energi final pada 2050.

Kalau tahu begini, maka apa sebenarnya hal baru yang disampaikan Pak DI? Ada ide itu atau tidak, toh konsumsi batubara memang diekspektasikan akan naik terus sampai 2050. Plus, tahun 2050 itu masih kira-kira 29 tahun dari sekarang. Bukan 15 tahun lagi.

Kenapa kok susah sekali meninggalkan batubara? Selain masalah oligarki di atas sana yang tidak perlu kita bahas lagi, secara teknis memang patut diakui cukup sulit. Batubara tersedia dalam jumlah cukup besar dan harganya cukup murah. Teknologi pembangkitnya pun tidak terlampau rumit. Bahkan fly ash dan bottom ash yang dihasilkan pun masih diincar industri. Bagaimana tidak menggiurkan?

Tentu ini semua kalau kita mengabaikan dampak lingkungan yang disebabkannya, mulai dari emisi gas rumah kaca (GRK) sampai polutan mikro (SOX, NOX, PM2.5 dan PM10) yang dihasilkannya.

Ah, tapi negeri kita memang tidak terkenal begitu peduli soal lingkungan. So what?

Apakah kita bisa membuat batubara lebih ramah lingkungan? Well, batubara itu bahan organik. Pembakarannya akan melepaskan GRK dan polutan lain yang terkandung di dalamnya. Nothing you can do about that. Sistem scrubber bisa menyaring banyak polutan, tapi tidak semua. Sistem CO2 capture tidak pernah komersial sampai sekarang untuk alasan yang cukup jelas: It’s simply bloody, utterly, completely useless.

Cara terbaik untuk membuat batubara ramah lingkungan adalah dengan melakukan gasifikasi dan pencairan batubara. Mengonversi batubara menjadi gas sintetik atau bahan bakar cair. Itupun masih menyisakan isu lingkungan dari segi emisi GRK yang masih cukup tinggi. Secara biaya pun investasi yang dibutuhkan tinggi sekali. Sekalipun semua ini teratas, ketika gas sintetik atau batubara tercairkan dibakar, tetap ada emisi CO2 dan mungkin pengotor yang terlepas ke atmosfer.

Dengan kata lain, “cara terbaik” inipun masih tanda tanya.

Hadapi saja, murah dan ramah lingkungan itu tidak bisa dan mustahil bisa berada dalam satu kalimat pada batubara. Kalau mau murah, lingkungan dikorbankan. Kalau mau ramah lingkungan, siap-siap dengan harga mahal. Sesederhana itu.

Tapi ini hanya sebentar. Mundur sedikit untuk ancang-ancang melompat ke depan nan jauh. Nanti bisa menggungguli negara maju untuk go green.”

Mundur sedikit seperti apa?

Mempertanyakan validitas pernyataan ini sebenarnya sederhana saja. Tengok Jerman dengan megaproyek Energiewende-nya. Menghapus energi nuklir sepenuhnya pada 2022, dan bergantung sepenuhnya pada energi terbarukan, alias panel surya dan turbin angin. Kalau menggunakan nalar “mundur sedikit” ini, maka Jerman sudah melakukannya sejak 2009.

Apa hasilnya?

Walau penetrasi panel surya dan turbin angin sudah cukup tinggi (dengan biaya super mahal, tentu saja), emisi karbon Jerman masih relatif tinggi. Hanya tertolong dengan fakta bahwa mereka terkoneksi dengan jaringan listrik Uni Eropa, yang artinya mereka bisa impor listrik dari Prancis, Swedia, dan Swiss, yang mana ketiganya memiliki jaringan listrik super bersih sebagai hasil dari memanfaatkan energi nuklir.

Kalau tidak ada jaringan listrik Eropa, emisi listrik Jerman masih akan sangat tinggi. Karena mereka tidak punya tempat untuk membuang energi terbarukan ketika produksi terlalu tinggi. Itu membuat mereka entah melakukan curtailing, yang akan sangat boros anggaran, atau bergantung pada pembangkit fosil yang mudah ramp-up macam gas atau batubara termodifikasi, yang membuat emisi jauh lebih sulit dikendalikan. Jadi buah simalakama akhirnya.

Tentu saja, Jerman tidak perlu “mundur sedikit” seperti Indonesia karena konsumsi energi mereka sudah jauh lebih tinggi. Modalnya sudah sangat memadai untuk merevolusi sistem energi mereka. Ekonomi sangat kokoh, industri kuat, konsumsi energi tinggi, kurang apa coba?

Eh, menurunkan emisi sesuai target tahun 2020 saja gagal. Emisi listrik masih 6x lebih tinggi dari Prancis, yang tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk proyek sejenis Energiewende.

Ide bahwa sebuah negara bisa menopang sistem energinya hanya dengan energi terbarukan dan baterai saja sesungguhnya tidak lebih dari pipedream yang tidak didukung hukum fisika bahkan learning curve dalam dunia engineering industri. Baterai tidak pernah cukup padat energi untuk bisa diintegrasikan dalam jaringan listrik. Overbuild yang diperlukan pada panel surya untuk menanggulangi round-trip-efficiency baterai dan fluktuasi musiman bisa sangat besar dan sama sekali tidak ekonomis.

Memikirkan berbagai skenario kebutuhan overbuild dan kapasitas energy storage untuk panel surya saja sudah bikin pusing.

Harga baterai serta panel surya memang terus turun, tapi tidak mungkin sampai mendekati gratis. The economics doesn’t work that way. Satu-satunya alasan kenapa harga panel surya dan baterai terus turun adalah karena produksi skala besar, bukan kemajuan teknologi secara signifikan.

Lagipula, kalau memang teknologi baterai bisa cukup maju sampai layak diintegrasikan dalam jaringan listrik skala besar, maka energi bersih yang paling terbantu dengan itu bukanlah energi surya atau bayu. Tapi energi nuklir dan panas bumi. Energi bersih yang bersifat base load, bukan variable load.

Suplai listrik nasional sudah bisa dipenuhi tanpa masalah besar dengan pembangkit base load. Kenapa pula harus membuatnya bermasalah dengan bergantung pada pembangkit variable load macam energi surya? If it ain’t broken, don’t fix it.

Seandainya saja energi surya dan baterai diganti dengan energi nuklir dan molten salt thermal storage, mungkin argumen Pak DI lebih bisa dimaklumi.

Untuk menjadi negara maju, Indonesia memang butuh energi dalam jumlah besar. Tapi beralih pada panel surya plus baterai justru mengkhianati tujuan tersebut. Sudah maju, kok mau mundur lagi?

Terakhir, soal kompor listrik untuk rumah tangga. Well, sebenarnya antara mau pakai kompor listrik atau kompor gas, ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi kalau kita bicara dari segi energy cost dan polusi, maka sebenarnya agak lucu kalau mau beralih ke kompor listrik.

Saya pernah coba kalkulasi cepat soal perbandingan biaya energi dan emisi CO2 dari kompor listrik dan gas (LPG dan gas bumi). Hasilnya begini,

Kompor listrik (induction stove, efisiensi 84%, tarif listrik Rp 1444,7/kWh)

-          Biaya kalor: Rp. 1719,88/kWh

-          Emisi CO2: 964,28 g CO2 eq/kWh

Kompor gas LPG (efisiensi 40%, harga gas 3 kg Rp 23000)

-          Biaya kalor: Rp. 1391/kWh

-          Emisi CO2: 546 g CO2 eq/kWh

Kompor gas bumi (efisiensi 40%, harga gas bumi Rp 2618/m3)

-          Biaya kalor: Rp. 636,8/kWh

-          Emisi CO2: 499 g CO2 eq/kWh

Tertangkap maksudnya?

Kalau dibandingkan dengan LPG non-subsidi, sih, memang kompor listrik lebih murah. Tapi, kan, masyarakat selama ini banyak yang menikmati LPG subsidi. Artinya, entah subsidi dihilangkan atau konversi ke kompor listrik, tetap saja mereka harus membayar lebih mahal untuk energi yang diperoleh.

Kan listrik bisa dibuat lebih murah kalau batubara dipakai semua? Well, ini mesti ada perhitungan yang cukup detail. Kalau tidak ada hitung-hitungan, saya tidak menganggap klaim itu layak dipertimbangkan.

Lagipula, tukang gorengan, tukang bakso, tukang nasi goreng dll tidak bisa menggunakan kompor listrik untuk masak. Mana enak makan nasi goreng abang-abang yang dimasak menggunakan kompor listrik. Memikirkannya saja sudah bikin tidak nyaman.

Cina sekalipun tidak ngoyo pakai kompor listrik. Amerika Serikat, yang notabene super boros energi, juga tidak memaksakan diri semua atau mayoritas harus pakai kompor listrik. Karena masalah masak itu masalah selera.

Kalau listrik tidak selalu cocok dan lebih mahal (serta polutif) sementara LPG bikin kacau ekonomi negara, lantas harus pakai apa?

Coba cek lagi ke atas. Apa opsi ketiga yang saya tulis?

Gas alam. Metana. Kadang disebut gas bumi.

Biaya kalor dan emisi CO2 gas alam paling rendah dibandingkan kompor listrik dan LPG. Bukankah ini yang seharusnya lebih didorong? Menggunakan gas alam alih-alih kompor listrik?

Memang gas alam tidak sepraktis LPG untuk penyimpanannya. Butuh bejana tekan untuk mengompres gas alam sehingga bisa ditransportasikan ke mana-mana. Biaya tabungnya sudah pasti lebih mahal. Ini bisa diakali dengan menggunakan sistem kontrak pembelian gas dari tabung berbasis volume. Jadi tabung gas alam terkompres (compressed natural gas/CNG) diantar ke pengguna untuk digunakan seperti tabung gas LPG. Tapi karena tabung CNG pasti jauh lebih besar dan berat, isinya juga jauh lebih banyak (20-50 kg per tabung), pembayarannya tinggal dihitung dari seberapa banyak gas yang dikonsumsi. Kalau sebulan cuma terpakai 10 kg, ya bayar 10 kg saja.

Alternatif lain adalah jaringan gas alam, sebagaimana sudah digunakan di sebagian daerah dan sangat banyak digunakan di Amerika Serikat. Pipa gas dipasang ke rumah-rumah, sehingga gas bisa dialirkan kapan saja tanpa harus takut kehabisan gas ketika masak Indomie tengah malam. Mungkin tidak semua daerah bisa pakai sistem ini, makanya sistem CNG masih tetap diperlukan. Tapi ketika lokasi memungkinkan, harusnya jaringan gas alam digencarkan.

Menggunakan gas alam jauh lebih bijak secara ekonomi dan lingkungan ketimbang kompor listrik. Plus tidak mengorbankan teknik memasak dan rasa makanan.

Lalu, apa kesimpulan dari tulisan sepanjang ini?

Saya serahkan ke pembaca saja. Apakah setelah membaca argumentasi ini, tulisan soal revolusi energi ala Pak DI itu memang benar revolusioner atau justru salah arah dan tidak realistis. Karena beda antara pemikiran seorang pengusaha dengan seorang ilmuwan. Ketika pengusaha seringkali terlalu optimis terhadap sesuatu yang dianggap sebagai breakthrough, terobosan, para ilmuwan cenderung bersikap lebih hati-hati terkait sikap optimis maupun pesimis.

Biasanya.

0 komentar:

Posting Komentar