Ketika melihat Pak Dahlan Iskan (DI) merilis tulisan soal revolusi
energi, saya kira saya akan menemukan perspektif baru yang unik or something. Selesai
baca, saya cuma bisa menghela napas setelah menemukan idenya sangat pragmatis.
Yah, Pak DI kan pengusaha. Di Indonesia, yang notabene ekonomi bergerak atas
dasar jual-beli komoditas alih-alih berbasis ilmu pengetahuan, tidak aneh kalau
pengusaha besar sekalipun bersikap super pragmatis dan miskin visi. Meski dalihnya
untuk masa depan yang lebih baik, saya tidak melihat argumennya secara keseluruhan
sebagai argumen yang visioner.
Ehm. TL;DR, jadi intinya, Pak DI menginginkan Indonesia menggunakan batubara
habis-habisan sampai habis, sembari menunggu harga baterai cukup murah untuk
beralih pada energi surya. Kira-kira begitu. Apakah ide ini visioner atau
kontroversial?
Well, argumen senada
sebenarnya sudah saya dengar dari Pak Tumiran tahun 2018 lalu, waktu itu beliau
masih di Dewan Energi Nasional. Meski waktu itu, Pak Tumiran lebih menekankan
pada fakta bahwa Indonesia butuh energi. Baru setelah kebutuhan energi
terpenuhi sesuai target, emisi pelan-pelan diturunkan.
Jadi, ini bukan argumen baru buat saya.
Tentu saja, Indonesia tidak akan berhenti menggunakan batubara dalam
waktu dekat. Bahkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN), batubara masih diekspektasikan memenuhi 25% kebutuhan energi
nasional pada 2050, dengan luaran energi sebesar 255,9 MTOE. Sebagai catatan, proyeksi
RUEN tahun 2025, batubara menyediakan energi sebesar 119,8 MTOE.
Antara tahun 2025 sampai 2050, pemanfaatan batubara naik lebih dari 2x
lipat.
Outlook energi BPPT malah
lebih pesimis daripada RUEN. Bauran batubara malah naik terus. Dengan skenario
kenaikan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sekalipun, batubara diekspektasikan
masih menyuplai 33,6% energi final pada 2050.
Kalau tahu begini, maka apa sebenarnya hal baru yang disampaikan Pak DI? Ada
ide itu atau tidak, toh konsumsi batubara memang diekspektasikan akan naik
terus sampai 2050. Plus, tahun 2050 itu masih kira-kira 29 tahun dari sekarang.
Bukan 15 tahun lagi.
Kenapa kok susah sekali meninggalkan batubara? Selain masalah oligarki
di atas sana yang tidak perlu kita bahas lagi, secara teknis memang patut
diakui cukup sulit. Batubara tersedia dalam jumlah cukup besar dan harganya
cukup murah. Teknologi pembangkitnya pun tidak terlampau rumit. Bahkan fly ash
dan bottom ash yang dihasilkan pun masih diincar industri. Bagaimana tidak
menggiurkan?
Tentu ini semua kalau kita mengabaikan dampak lingkungan yang
disebabkannya, mulai dari emisi gas rumah kaca (GRK) sampai polutan mikro (SOX,
NOX, PM2.5 dan PM10) yang dihasilkannya.
Ah, tapi negeri kita memang tidak terkenal begitu peduli soal
lingkungan. So what?
Apakah kita bisa membuat batubara lebih ramah lingkungan? Well, batubara
itu bahan organik. Pembakarannya akan melepaskan GRK dan polutan lain yang
terkandung di dalamnya. Nothing you can do about that. Sistem scrubber
bisa menyaring banyak polutan, tapi tidak semua. Sistem CO2 capture
tidak pernah komersial sampai sekarang untuk alasan yang cukup jelas: It’s
simply bloody, utterly, completely useless.
Cara terbaik untuk membuat batubara ramah lingkungan adalah dengan melakukan
gasifikasi dan pencairan batubara. Mengonversi batubara menjadi gas sintetik
atau bahan bakar cair. Itupun masih menyisakan isu lingkungan dari segi emisi GRK
yang masih cukup tinggi. Secara biaya pun investasi yang dibutuhkan tinggi
sekali. Sekalipun semua ini teratas, ketika gas sintetik atau batubara tercairkan
dibakar, tetap ada emisi CO2 dan mungkin pengotor yang terlepas ke
atmosfer.
Dengan kata lain, “cara terbaik” inipun masih tanda tanya.
Hadapi saja, murah dan ramah lingkungan itu tidak bisa dan mustahil bisa
berada dalam satu kalimat pada batubara. Kalau mau murah, lingkungan
dikorbankan. Kalau mau ramah lingkungan, siap-siap dengan harga mahal. Sesederhana
itu.
“Tapi ini hanya sebentar. Mundur sedikit untuk ancang-ancang melompat
ke depan nan jauh. Nanti bisa menggungguli negara maju untuk go green.”
Mundur sedikit seperti apa?
Mempertanyakan validitas pernyataan ini sebenarnya sederhana saja. Tengok
Jerman dengan megaproyek Energiewende-nya. Menghapus energi nuklir sepenuhnya
pada 2022, dan bergantung sepenuhnya pada energi terbarukan, alias panel surya
dan turbin angin. Kalau menggunakan nalar “mundur sedikit” ini, maka Jerman sudah
melakukannya sejak 2009.
Apa hasilnya?
Walau penetrasi panel surya dan turbin angin sudah cukup tinggi (dengan
biaya super mahal, tentu saja), emisi karbon Jerman masih relatif tinggi. Hanya
tertolong dengan fakta bahwa mereka terkoneksi dengan jaringan listrik Uni
Eropa, yang artinya mereka bisa impor listrik dari Prancis, Swedia, dan Swiss,
yang mana ketiganya memiliki jaringan listrik super bersih sebagai hasil dari
memanfaatkan energi nuklir.
Kalau tidak ada jaringan listrik Eropa, emisi listrik Jerman masih akan
sangat tinggi. Karena mereka tidak punya tempat untuk membuang energi
terbarukan ketika produksi terlalu tinggi. Itu membuat mereka entah melakukan curtailing,
yang akan sangat boros anggaran, atau bergantung pada pembangkit fosil yang
mudah ramp-up macam gas atau batubara termodifikasi, yang membuat emisi jauh
lebih sulit dikendalikan. Jadi buah simalakama akhirnya.
Tentu saja, Jerman tidak perlu “mundur sedikit” seperti Indonesia karena
konsumsi energi mereka sudah jauh lebih tinggi. Modalnya sudah sangat memadai
untuk merevolusi sistem energi mereka. Ekonomi sangat kokoh, industri kuat,
konsumsi energi tinggi, kurang apa coba?
Eh, menurunkan emisi sesuai target tahun 2020 saja gagal. Emisi listrik
masih 6x lebih tinggi dari Prancis, yang tidak pernah mengeluarkan uang sepeser
pun untuk proyek sejenis Energiewende.
Ide bahwa sebuah negara bisa menopang sistem energinya hanya dengan
energi terbarukan dan baterai saja sesungguhnya tidak lebih dari pipedream
yang tidak didukung hukum fisika bahkan learning curve dalam dunia engineering
industri. Baterai tidak pernah cukup padat energi untuk bisa diintegrasikan
dalam jaringan listrik. Overbuild yang diperlukan pada panel surya untuk
menanggulangi round-trip-efficiency baterai dan fluktuasi musiman bisa
sangat besar dan sama sekali tidak ekonomis.
Memikirkan berbagai skenario kebutuhan overbuild dan kapasitas energy
storage untuk panel surya saja sudah bikin pusing.
Harga baterai serta panel surya memang terus turun, tapi tidak mungkin sampai
mendekati gratis. The economics doesn’t work that way. Satu-satunya
alasan kenapa harga panel surya dan baterai terus turun adalah karena produksi
skala besar, bukan kemajuan teknologi secara signifikan.
Lagipula, kalau memang teknologi baterai bisa cukup maju sampai layak
diintegrasikan dalam jaringan listrik skala besar, maka energi bersih yang
paling terbantu dengan itu bukanlah energi surya atau bayu. Tapi energi nuklir
dan panas bumi. Energi bersih yang bersifat base load, bukan variable
load.
Suplai listrik nasional sudah bisa dipenuhi tanpa masalah besar dengan
pembangkit base load. Kenapa pula harus membuatnya bermasalah dengan bergantung
pada pembangkit variable load macam energi surya? If it ain’t broken,
don’t fix it.
Seandainya saja energi surya dan baterai diganti dengan energi nuklir
dan molten salt thermal storage, mungkin argumen Pak DI lebih bisa dimaklumi.
Untuk menjadi negara maju, Indonesia memang butuh energi dalam jumlah
besar. Tapi beralih pada panel surya plus baterai justru mengkhianati tujuan
tersebut. Sudah maju, kok mau mundur lagi?
Terakhir, soal kompor listrik untuk rumah tangga. Well,
sebenarnya antara mau pakai kompor listrik atau kompor gas, ada kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Tapi kalau kita bicara dari segi energy cost
dan polusi, maka sebenarnya agak lucu kalau mau beralih ke kompor listrik.
Saya pernah coba kalkulasi cepat soal perbandingan biaya energi dan
emisi CO2 dari kompor listrik dan gas (LPG dan gas bumi). Hasilnya begini,
Kompor listrik (induction stove, efisiensi 84%, tarif listrik Rp
1444,7/kWh)
-
Biaya
kalor: Rp. 1719,88/kWh
-
Emisi CO2:
964,28 g CO2 eq/kWh
Kompor gas LPG (efisiensi 40%, harga gas 3 kg Rp 23000)
-
Biaya
kalor: Rp. 1391/kWh
-
Emisi CO2:
546 g CO2 eq/kWh
Kompor gas bumi (efisiensi 40%, harga gas bumi Rp 2618/m3)
-
Biaya
kalor: Rp. 636,8/kWh
-
Emisi CO2:
499 g CO2 eq/kWh
Tertangkap maksudnya?
Kalau dibandingkan dengan LPG non-subsidi, sih, memang kompor listrik lebih
murah. Tapi, kan, masyarakat selama ini banyak yang menikmati LPG subsidi. Artinya,
entah subsidi dihilangkan atau konversi ke kompor listrik, tetap saja mereka
harus membayar lebih mahal untuk energi yang diperoleh.
Kan listrik bisa dibuat lebih murah kalau batubara dipakai semua? Well,
ini mesti ada perhitungan yang cukup detail. Kalau tidak ada hitung-hitungan,
saya tidak menganggap klaim itu layak dipertimbangkan.
Lagipula, tukang gorengan, tukang bakso, tukang nasi goreng dll tidak
bisa menggunakan kompor listrik untuk masak. Mana enak makan nasi goreng
abang-abang yang dimasak menggunakan kompor listrik. Memikirkannya saja sudah bikin
tidak nyaman.
Cina sekalipun tidak ngoyo pakai kompor listrik. Amerika Serikat, yang
notabene super boros energi, juga tidak memaksakan diri semua atau mayoritas harus
pakai kompor listrik. Karena masalah masak itu masalah selera.
Kalau listrik tidak selalu cocok dan lebih mahal (serta polutif) sementara
LPG bikin kacau ekonomi negara, lantas harus pakai apa?
Coba cek lagi ke atas. Apa opsi ketiga yang saya tulis?
Gas alam. Metana. Kadang disebut gas bumi.
Biaya kalor dan emisi CO2 gas alam paling rendah dibandingkan
kompor listrik dan LPG. Bukankah ini yang seharusnya lebih didorong? Menggunakan
gas alam alih-alih kompor listrik?
Memang gas alam tidak sepraktis LPG untuk penyimpanannya. Butuh bejana
tekan untuk mengompres gas alam sehingga bisa ditransportasikan ke mana-mana. Biaya
tabungnya sudah pasti lebih mahal. Ini bisa diakali dengan menggunakan sistem
kontrak pembelian gas dari tabung berbasis volume. Jadi tabung gas alam
terkompres (compressed natural gas/CNG) diantar ke pengguna untuk
digunakan seperti tabung gas LPG. Tapi karena tabung CNG pasti jauh lebih besar
dan berat, isinya juga jauh lebih banyak (20-50 kg per tabung), pembayarannya
tinggal dihitung dari seberapa banyak gas yang dikonsumsi. Kalau sebulan cuma terpakai
10 kg, ya bayar 10 kg saja.
Alternatif lain adalah jaringan gas alam, sebagaimana sudah digunakan di
sebagian daerah dan sangat banyak digunakan di Amerika Serikat. Pipa gas
dipasang ke rumah-rumah, sehingga gas bisa dialirkan kapan saja tanpa harus
takut kehabisan gas ketika masak Indomie tengah malam. Mungkin tidak semua daerah
bisa pakai sistem ini, makanya sistem CNG masih tetap diperlukan. Tapi ketika
lokasi memungkinkan, harusnya jaringan gas alam digencarkan.
Menggunakan gas alam jauh lebih bijak secara ekonomi dan lingkungan
ketimbang kompor listrik. Plus tidak mengorbankan teknik memasak dan rasa
makanan.
Lalu, apa kesimpulan dari tulisan sepanjang ini?
Saya serahkan ke pembaca saja. Apakah setelah membaca argumentasi ini, tulisan
soal revolusi energi ala Pak DI itu memang benar revolusioner atau justru salah
arah dan tidak realistis. Karena beda antara pemikiran seorang pengusaha dengan
seorang ilmuwan. Ketika pengusaha seringkali terlalu optimis terhadap sesuatu
yang dianggap sebagai breakthrough, terobosan, para ilmuwan cenderung bersikap
lebih hati-hati terkait sikap optimis maupun pesimis.
Biasanya.
0 komentar:
Posting Komentar