Hampir lupa punya blog untuk dikelola.
Saking banyaknya urusan bulan-bulan kemarin, banyak sekali kerjaan, kurangnya waktu, dan banyaknya tekanan dari pihak-pihak inkompeten yang disuruh ngurusi riset, ternyata berpengaruh juga terhadap cepatnya seseorang mengalami burnout. Sampai gak ingat untuk rutin ngisi blog mingguan. Sudah diusir dari laboratorium, diusir dari tempat kerja, diusir juga dari rumah dinas. What a bunch of incompetent bas--
Anyway,
Karena sedang hilang orientasi, saya jadi suka mindless scrolling di berbagai website. Nah, suatu ketika, saya lihat postingan di linkedin soal apa yang harus dilakukan di tempat kerja. Salah satunya terkait "work the bare minimum" atau sejenis itu. Kenapa? Karena kalau terlalu produktif, "apresiasi" yang diberikan adalah diberi lebih banyak pekerjaan, bukan dibebani lebih sedikit pekerjaan. Itu yang saya simpulkan sebagai "the curse of high performer." Kutukan pegawai berkinerja tinggi.
Ketika kerjaan selesai lebih cepat, diberi tambahan kerjaan. Ketika target terlampaui, dikasih target lebih tinggi. Ketika bisa membantu dalam satu hal, disuruh bantuin dalam hal lain. Dan sebagainya. Ah, jadi ingat teman kantor yang dipanggil oleh berbagai kelompok riset berbeda untuk mengerjakan hal-hal teknis-administratif terkait penerbitan karya tulis ilmiah (KTI) karena yang sudah senior pada inkompeten dan terlalu malas untuk belajar submit KTI sendiri. Termasuk ngurusi kerjaan remeh-temeh macam jemput tamu LN dari hotel ke tempat seminar. Sampai-sampai kerjaan risetnya tahun itu jadi gak tersentuh.
Apa-apaan.
Mengingat masalah high performer ini, jadi ingat target luaran satker. Karena saya yang handle urusan rekap luaran ilmiah satker, saya merhatikan pola yang terbentuk dari segi jumlah dan nilai luaran tersebut. Yang di bawah ini untuk tahun 2023.
Tahun ini lebih gila lagi. Sampai bulan Mei saja, selisih antara peringkat 1 dan peringkat 15 sudah 129 poin. Akhir tahun mungkin tidak akan sebesar ini selisihnya, tapi tetap saja...
Itu juga belum memperhitungkan selisih dengan peringkat terbawah dan yang sampai bulan ini gak ada luaran sama sekali. Setidaknya masih ada 27 orang yang luarannya tahun ini masih kosong. Yah, memang baru tengah tahun, sih... Masih cukup waktu, semisal memang NIAT menghasilkan luaran ilmiah sebagai pertanggung jawaban terhadap fungsionalnya dan pembayar gajinya. Tapi semisal mau tetap jadi deadwood beban APBN, ya mbuhlah, mumet.
Setidaknya, pola di atas menunjukkan adanya jurang performa yang sangat besar antara satu SDM Iptek dengan SDM Iptek lain. Mungkin sebagian akan bilang, "Ya kan riset gak cukup setahun!" bla bla bla. Ya, kalau bicara di aspek pertanian atau peternakan, masih masuk akal. Tapi satker ini mayoritas main di komputasi, cuma tiga Kelris saja yang main di alat eksperimen. Kalau masih susah juga menghasilkan luaran, hopeless sekali Anda ini...
Anyway,
Jurang performa ini menunjukkan ada yang memang high performing, ada yang low performing. Ada yang overwhelming, ada yang underwhelming. Sialnya, yang high performing (biasanya karena publikasi KTI banyak) seringkali dibebani sebagai exit liquidity, alias jadi sekoci penyelamat untuk membebaskan para deadwood dari beban KKM yang dianggap terlalu berat. Jadi antara kepakaran dan publikasi KTI yang dihasilkan gak nyambung.
Pada akhirnya, ketimpangan produktivitas ini mengisyaratkan bahwa kinerja satker ditopang oleh minoritas pegawai. Sebagian kecil pegawai memanggul beban lebih besar dan kontribusi lebih banyak dalam memenuhi target luaran satker.
Contoh, per saat ini, ada 30 jurnal internasional yang penulis pertamanya orang sini. Kalau 15 peringkat teratas gak berkontribusi, maka sisanya tinggal 12 jurnal internasional. Hilang 3/5. Kalau 5 teratas gak mau kontribusi, sisanya tinggal 20. Hilang 1/3. Jadi, 5 dari 122 orang memanggul 1/3 luaran KTI di jurnal internasional.
Timpang.
Saya jadi ingat efek pelebaran Doppler dalam fisika reaktor nuklir.
Dalam reaksi fisi berantai di reaktor nuklir, tampang lintang tangkapan netron bahan fisil di zona resonansi akan mengalami efek pelebaran Doppler ketika bahan bakar mengalami pemanasan. Biasanya, tampang lintang tangkapan dan fisi memiliki puncak-puncak yang sangat lancip (lihat garis hitam), ada yang tinggi sekali dan ada yang rendah. Sementara, ketika terjadi pelebaran Doppler (garis merah putus-putus), luas area di bawah garis melebar, di mana puncak tampang lintang menurun dan lembah tampang lintang naik. Ketimpangan antara puncak tampang lintang dengan lembah tampang lintang berkurang. Pada kondisi ini, bahan bakar akan mengeluarkan umpan balik reaktivitas negatif; laju reaksi fisi dan tangkapan berkurang, sehingga reaktivitas bahan bakar seiring dengan kenaikan temperatur reaktor. Hal ini yang menjamin keselamatan reaktor nuklir, membuat temperatur bahan bakar menjadi self-regulated.
Efek pelebaran Doppler ini, setelah saya pikir-pikir, tampaknya penting dalam keberlanjutan kinerja suatu Pusat Riset. Menjamin kestabilan, Jadi gak ada kelompok minoritas yang harus jadi pemikul kinerja mayoritas dari Pusat Riset. Karena kalau misalkan kelompok minoritas tersebut mendadak hilang (karena tugas belajar atau pensiun, misalkan), yang lain akan kelabakan untuk menutupi lubang yang ditinggalkan mereka. Apalagi kalau target Pusat Riset semakin banyak, akibat Kutukan Kinerja Tinggi. Mau bagaimana memenuhinya?
Dari sini, saya berpikir bahwa mentalitas bahwa "yang produktif harus dibebani kerja lebih banyak" itu mesti dibasmi. Dihilangkan sama sekali, jangan sampai ada sisanya. Kalau sudah produktif di satu hal, jangan dikasih beban kerja lagi. Berdayakan lah yang gak produktif, yang gak jelas kerjanya apa selain ngabisin APBN secara sia-sia. Beri tuntutan kinerja lebih tinggi pada yang selama ini gak produktif dan kurangi beban kinerja bagi yang selama ini produktif. Supaya apa? Supaya ketimpangan berkurang, dan kinerja Pusat Riset bisa dijaga kestabilannya. Sehingga, ketika misalkan kelompok minoritas tulang punggung kemudian ada yang pergi tugas belajar atau dimutasi atau pensiun, yang lain masih cukup berkinerja untuk bisa membantu menutupi kekosongan tersebut.
Tapi bagaimana kalau yang selama ini gak produktif kemudian gak mau ketika dituntut luaran lebih?
Beri ancaman sanksi saja. Kasih kinerja jelek, gitu. Supaya tunkin turun 30-50%.
(Semisal dalam sebuah skenario mustahil saya jadi Kepala Pusat, selain kasih kinerja jelek, saya juga akan lempar Surat Peringatan 1. Tapi untuk alasan itu pula, rasanya mustahil saya jadi Kepala Pusat)
Ringkasnya?
Pertama, para high performer ini harusnya dikurang-kurangi bebannya. Jangan dikasih tanggung jawab terlalu banyak mentang-mentang produktif/berguna, apalagi jadi exit liquidity.
Kedua, kurangi ketimpangan performa antar pegawai agar kinerja Pusat Riset lebih stabil dan selamat dari kondisi "kecelakaan."
Apakah hal ini bisa terwujud? Gak tahu, Kepala Pusat saja bukan. Gak pegang kebijakan. Tapi secara teoretis, saya akan memegang prinsip ini kuat-kuat. Bahwa Pusat Riset perlu menerapkan efek Doppler untuk menjaga kestabilan performa dalam jangka panjang.
Sudah, itu saja pembaruan kali ini. Berikutnya kembali ke omnishambolic reality ketika tuntutan kinerja luar biadab tapi dukungan super minim.
0 komentar:
Posting Komentar